Jurnaba
Jurnaba
No Result
View All Result
Jurnaba
Home Cecurhatan

Mesin Kombi dan Analisis Sederhana Masa Depan Dunia Pertanian

Ruri Fahrudin Hasyim by Ruri Fahrudin Hasyim
13/02/2020
in Cecurhatan, Kultura
Mesin Kombi dan Analisis Sederhana Masa Depan Dunia Pertanian
Bagikan ke FacebookBagikan ke TwitterBagikan Ke WA

Seperti patah hati ataupun putus cinta, kekuatan produksi baru akan diikuti hadirnya pacar baru relasi baru pula. Sehingga buruh tani tak ada lagi. 

Kombi. Nama aslinya adalah Combine Harvester, menjadi alat pemanen padi yang lagi nge-trend hari ini. Entah siapa yang mengawali nyeluk Kombi, barangkali lebih renyah diucapkan dan mudah diingat.

Seiring transformasi pengetahuan di kalangan petani, popularitas Kombi terbawa lewat getuk tular seperti cerita Angling Darmo. Dari mulut ke mulut, lalu menjalar ke warkop-warkop, hingga kebawa nanti pada waktu yasinan, tahlilan, dan arisan.

Tentu saja, penting penulis sampaikan untuk bahan evaluasi bagi perusahaan Kombi ini, yang menurut Bernstein, ia masuk industri kapital input pertanian, agar kedepan bila menamai mesin terbarunya lagi jangan keminggris.

Bagi kawasan pinggir benggawan solo, Kombi menjadi teknologi yang paling mutakhir. Kekuatan produksi baru merupakan anti tesis dari perkembangan sebelumnya, jarene Mbah Marx.

Artinya, daya inovasi Kombi ini berangkat dari alat-alat panen yang sudah digunakan.

Dulu, masyarakat memakai alat tradisional berupa Papan Gebyok, lalu digantikan Erek Padi dengan tenaga kaki (kerjanya dinamai ngedos),  tenaga kaki tadi mula-mula digantikan mesin, yang kemudian dinamai Grentek.

Barang tentu Kombi dinilai lebih terjangkau, karena menghemat tenaga kerja, waktu, dan biaya. Kita bisa bandingkan efesiensi antara Kombi dan Grentek dalam sebuah proses panen.

Misalnya saja mengacu pada sepetak sawah yang memiliki luasan 2500 m2, kata Bapak saya, sawah ini bisa menghasilkan dua ton gabah, asal tidak kebanjiran.

Grentek akan melibatkan 10 buruh, untuk menyabit padi, menggrenteknya, baru mengantongi ke dalam karung-karung. Kinerjanya memakan waktu 7 jam, sehingga pemilik lahan sedianya mengirim sarapan dan makan siang, ples rokoknya tiap satu orang.

Oh iya, ongkos Grentek 500 ribu per-ton maka dua ton menjadi satu juta rupiah. Gabah-gabah lalu ditumpuk di pinggir jalan poros desa, penebas datang dan akan membelinya dengan kisaran harga Rp. 4800 per-kilogram.

Sedang mesin Kombi cukup melibatkan 4 buruh saja. Untuk mobilisasi di tengah sawah sambil menuai padi, merontokkan bulir, dan mengantonginya sekaligus. Hanya perlu waktu 2 jam, barang sekali makan sudah cukup, sarapan saja ples rokoknya.

Biayanya juga lebih terjangkau, Rp 400 ribu per-ton, bila dikali dua menjadi Rp 800 ribu rupiah. Dan satu lagi benefit-nya, hasil panenan lebih bersih sehingga meninggikan harga tebasannya, hingga Rp. 5200 per-kilogram.

Meski analisa sederhana di atas belum dikalkulasi secara matematis, dengan diangan-angan saja sudah cukup kelihatan jika Kombi lebih hemat dan mahal hasilnya.

Inilah yang menjadi alasan mendasar bahwa Kombi semakin diminati dan akhirnya menggeser jasa Grentek, perubahan kondisi teknis ini seperti yang dibilang Pak BJ Habibi, adalah akibat dari gencarnya penetrasi pasar pada komodifikasi pertanian.

Lalu bagaimana nasib petani yang tak berlahan (tunakisma), ataupun berlahan sempit? Untuk tetap survival mereka akan rela menjual tenaganya sebagai buruh tani, termasuk menjadi penyedia jasa Grentek tadi.

Sementara peranan Grentek sudah mulai teraleniasi, sebagaimana lanjutan pendapat Mbah Marx bahwa kekuatan produksi baru akan diikuti oleh relasi yang baru pula, sehingga buruh-buruh Grentek tak lagi dibutuhkan.

Atau, seperti patah hati ataupun putus cinta, kekuatan produksi baru akan diikuti hadirnya pacar baru relasi baru pula. sehingga buruh tani tak ada lagi.

Jika Grentek bisa pesan ke pengrajin besi lokalan,  Kombi hanya bisa dibuat oleh perusahaan besar. Maka hanya petani kaya yang mampu menjangkau berkat dari akumulasi hasil pertaniannya yang melimpah.

Pada akhirnya, penulis mendambakan sebuah paguyuban petani atas dasar kepentingan yang sama, termasuk melindungi kerentanan relasi petani-buruh dari penetrasi pasar bebas.

Lalu mempunyai koperasi sendiri, yang menurut Chayanov, untuk mengalirkan seluruh keuntungan kepada usaha-usaha kecil. Hingga nanti bisa beli mesin Kombi sendiri, yang bisa digunakan secara kolektif.

Ruri Fahrudin Hasyim, mahasiswa progresif yang sesekali ngamati mantan, berkali-kali ngamati dunia pertanian. 

Tags: Mesin KombiPadiPertanian

BERITA MENARIK LAINNYA

Stop! Perempuan Bukan Objek Kekerasan
Cecurhatan

Stop! Perempuan Bukan Objek Kekerasan

16/05/2022
Bukan Tutorial Move On Bagi Yang Patah
Cecurhatan

Bukan Tutorial Move On Bagi Yang Patah

15/05/2022
Cegah Pungli dan Gratifikasi, Bapenda Bojonegoro mulai Terapkan Cashless
Cecurhatan

Cegah Pungli dan Gratifikasi, Bapenda Bojonegoro mulai Terapkan Cashless

14/05/2022

REKOMENDASI

Semangat Al-Birru: Pelajaran Kesepuluh dari Kiai Ahmad Dahlan

Semangat Al-Birru: Pelajaran Kesepuluh dari Kiai Ahmad Dahlan

20/05/2022
Kisah Para Penggerak Dunia Pendidikan dari Bumi Wali

Kisah Para Penggerak Dunia Pendidikan dari Bumi Wali

19/05/2022
Milad Aisyiyah dan Semangat al-‘Ashr

Milad Aisyiyah dan Semangat al-‘Ashr

18/05/2022
Hiperrealitas Norma dalam Film KKN Desa Penari

Hiperrealitas Norma dalam Film KKN Desa Penari

17/05/2022
Stop! Perempuan Bukan Objek Kekerasan

Stop! Perempuan Bukan Objek Kekerasan

16/05/2022
Bukan Tutorial Move On Bagi Yang Patah

Bukan Tutorial Move On Bagi Yang Patah

15/05/2022

Tentang Jurnaba - Kontak - Squad - Aturan Privasi - Kirim Konten
© Jurnaba.co All Rights Reserved

No Result
View All Result
  • HOME
  • PERISTIWA
  • KULTURA
  • DESTINASI
  • FIGUR
  • CECURHATAN
  • ALTERTAINMENT
  • FIKSI AKHIR PEKAN
  • SAINSKLOPEDIA
  • TENTANG
  • KONTAK

© Jurnaba.co All Rights Reserved