Status Jipang (Bojonegoro) sebagai Kota Brahmana, tak hanya ditetapkan pada Prasasti Maribong (1246 M). Tapi juga didukung prasasti-prasasti setelahnya. Di antaranya Prasasti Adan-adan (1301 M) yang menyebut seorang brahmana bernama Sri Paduka Rajarsi.
Sri Paduka Rajarsi merupakan tokoh Brahmana Bojonegoro yang hidup pada masa Sri Maharaja Narayya Sanggramawijaya (Raden Wijaya), raja pertama dari Kerajaan Majapahit. Paduka Rajarsi adalah brahmana sang raja. Ia seorang Rsi atau pendeta (kaum bijak) pendamping Sang Raja.
Dalam Prasasti Adan-adan (1301 M), disebut Paduka Rajarsi sebagai Walkaladhari: selalu menyertai duka nestapa (nirakati) Sang Raja; Sasilasuddhacara: bertingkah laku susila yang baik; Satatadharmmacintana: selalu taat beragama; hingga Dewarccana: berbakti pada Tuhan.
Paduka Rajarsi merupakan figur brahmana yang memperjuangkan dan mempertahankan kedudukan Maharaja Majapahit (Raden Wijaya). Itu alasan utama kelak ia mendapat anugerah berupa tanah perdikan sima swatantra (bebas pajak) di Desa Adan-adan.
Tanah perdikan sima swatantra Adan-adan ini cukup luas dengan batas Tinawun, Kawengan, Jajar, Patambangan, Tambar, Padasan, Punten, Rakameng, Kubwan, Paran, Panjer dan Sanda. Wilayah itu sebagai tanah lungguh yang diberikan raja pertama Majapahit (Raden Wijaya) kepada Sri Paduka Rajarsi.
Tinawun dan Kawengan tentu nama desa kuno yang amat masyhur di Bojonegoro. Nama Kawengan bahkan juga muncul dalam Prasasti Canggu (1358 M). Sementara Prasasti Adan-adan (1301 M) yang diitemukan di Desa Mayangrejo Kalitidu, berlokasi tak jauh dari tambangan Malo yang secara sahih tertera dalam Prasasti Canggu (1358 M).
Untuk diketahui, nama-nama seperti Kawengan, Tinawun, hingga Malo, merupakan kawasan utara Bengawan Bojonegoro yang sangat identik sebagai “Wilayah Kadewanan”. Tempat Karesian (KaRsian). Tanah para Maha Rsi. Sebuah lokasi “Kadewan” yang jejak-jejaknya disamarkan oleh Londo Jowo dan Belanda menjadi “Makam Kalang”.
Figur brahmana bernama Sri Paduka Rajarsi, tentu menjadi bukti penting bahwa Bojonegoro memang Tanah para Brahmana. Seperti yang telah ditulis secara tegas pada Prasasti Maribong (1246 M) di era Raja Wisnuwardhana Singasari. Identitas Sri Paduka Rajarsi sebagai Brahmana Bojonegoro, didukung keberadaan prasasti sebelum dan sesudahnya.
Jipang sebagai tanah Brahmana ditulis dalam Prasasti Maribong (1246 M). Disusul Prasasti Adan-adan (1301 M), yang menyebut seorang Brahmana berjuluk Paduka Rajarsi, yang lokasi dan keberadaannya didukung Prasasti Canggu (1358 M).
Menurut Totok Supriyanto dari Komunitas Bumi Budaya, nama besar Sri Paduka Rajarsi terus bergaung subur dalam ranah mitologi. Kokohnya nama ini, secara etimologi, menjadi salah satu legenda paling terkenal di Bojonegoro, yaitu Raja Kewesi atau Rajakwsi (Pagerwsi), atau Rajakwsi yang kelak lebih masyhur sebagai Rajekwesi.
Brahmana Bojonegoro Sengaja Dikubur?
Bojonegoro punya banyak nama Brahmana berbasis prasasti (bukan dongeng). Mulai Sri Paduka Rajarsi (Prasasti Adan-adan 1301 M), Mpu Nala (Prasasti Sekar 1365 M) hingga Arya Surung (Prasasti Pamintihan 1473 M). Dan itu semua telah dikabarkan jauh-jauh hari oleh Prasasti Maribong 1246 M.
Namun, anehnya, nama-nama prasasti beserta Brahmananya itu sangat mudah diklaim wilayah lain. Seolah-olah Bojonegoro ini tak boleh memiliki primordialisme kebudayaan sedikitpun. Bahkan, keberadaannya dikubur dongeng yang baru diciptakan pada abad 19 M. Banyak tokoh Bojonegoro dikubur dongeng-dongeng abad 19 M.
Selain Paduka Rajarsi nan merupakan tokoh awal abad 14 M yang dicatat Prasasti Adan-adan (1301 M), Bojonegoro juga punya Mpu Nala, tokoh abad 14 M yang dicatat Prasasti Sekar (1365 M), dan juga Arya Surung, tokoh abad 15 M yang dicatat Prasasti Pamintihan (1473 M). Paduka Rajarsi, Mpu Nala, dan Arya Surung, nasibnya terkubur dongeng abad 19 M.
Nama Paduka Rajarsi, Mpu Nala, dan Arya Surung, mungkin sangat berbahaya bagi pelestari penjajahan. Karena itu, diupayakan agar tidak dibahas (sehingga diklaim wilayah lain). Dan, kalau bisa, dilupakan saja. Untuk menghilangkannya, mereka memproduksi sebanyak mungkin kisah legenda.
Pada abad 19 M, percetakan Belanda bernama NV. Drukkerij G.C.T. Van Dorp & Co. sangat rajin menerbitkan agitasi-propaganda berbasis kisah legenda, termasuk salah satu versi Babad Tanah Djawa — yang di dalamnya terdapat Legenda Arya Penangsang. Van Dorp adalah pihak pertama yang menerbitkan dongeng “Angling Dharma” versi abad 19 M, versi mereka sendiri.
Wajib diketahui, Angling Dharma semula bernama “Ari Dharma”, kisah dibuat Raja Wisnuwardhana atas kekagumannya pada Raja Airlangga, dan ditulis pada relief Candi Jago. Pada era Mataram Islam, kisah Ari Dharma pada relief Candi Jago itu diubah namanya menjadi legenda “Aji Dharma”. Dan pada abad 19 M, Van Dorp membuat versi baru cerita “Ari Dharma” dan “Aji Dharma” itu menjadi Angling Dharma. Tentu, dengan alur cerita yang berbeda.
Melalui kisah legenda, Belanda dan Londo Jowo berniat melumpuhkan perjuangan masyarakat Jawa. Ini bisa kita lihat dalam buku berjudul Javaansche Legenden (terbit 1934 M), yang ditulis ahli dongeng bernama P. De Roo De La Faille. Dalam pengantar bukunya, ia menulis: Orang Jawa yang gagah berani bisa dipukul mundur cukup hanya dengan membayangkannya (legenda).
Buku ini menjelaskan secara jelas bahwa legenda punya peran dalam membingungkan dan melemahkan perjuangan orang Jawa. Ini alasan utama, abad 19 M dikenal sebagai abad yang memproduksi banyak kisah legenda membingungkan. Bahkan, P. De Roo De La Faille menulis secara jelas kalimat “Javaansche Legenden in Raadselgewaad”, di atas judul buku tersebut. Sebuah kalimat yang kurang lebih artinya: Legenda Jawa dalam jubah yang membingungkan.