Mau konservatif ataupun liberal, kesedihan tetaplah kesedihan. Ia tetap tampak meski sekuat tenaga telah berupaya disembunyikan.
Saya baru membuka ponsel ketika Rizka Pradana mengirim kabar mengejutkan di grup WA kami. Dia mengirim sebuah link berisi kabar tentang pamitnya dnk.id dengan caption bertuliskan: sedih.
Tentu, butuh waktu beberapa menit bagi saya untuk memastikan kabar itu benar atau tidak. Saya benar-benar merasa sedih ketika mendapati bahwa kabar pamitnya dnk.id memang sebuah kenyataan.
Benar. Konten berisi pamitan memang memenuhi pandangan mata saya kala ngecek semua akun medsos dan web DNK. Saya pun mengklarifikasi kabar tersebut pada pentolan DNK, Agung Iskandar atau Mas Aga. Dan dia membenarkannya.
Entah kenapa tiba-tiba saya merasa bersedih. Tentu saja ini kesedihan khas lelaki yang berusaha menolak untuk tampak. Tapi sial, mau konservatif ataupun liberal, kesedihan tetaplah kesedihan. Ia tetap tampak meski sekuat tenaga telah berupaya disembunyikan.
Serupa putus dengan baik-baik atau tidak dengan baik-baik, putus tetaplah putus. Tak ada keputusan yang membahagiakan, jika itu berakhir memisahkan.
DNK tentu platform kreatif yang amat dekat dengan saya. Saya, bahkan sudah mengenalnya sebelum ia dilahirkan. Saat ia masih berwujud embrio dengan nama maknews.id misalnya, saya sudah sangat suka membacanya.
Saat DNK dibuka untuk para penulis umum, saya pun memutuskan menulis di sana. Tercatat, saya pertama menulis di DNK pada 5 Juli 2018. Sekitar dua bulan dari kelahiran DNK, atau 4 bulan sebelum Jurnaba lahir di dunia.
Selain memang berbayar lumayan, DNK sebuah tempat yang secara verbal maupun tekstual, cocok menampung pisuhan-pisuhan saya akan sesaknya hidup. Terlebih berbasis bahasa Jawa Timuran — tempat saya tumbuh dan berkembang.
Saya dan DNK sangat dekat. Terutama dengan pentolannya, Mas Aga. Bahkan saat saya bersama teman-teman membikin Jurnaba — yang dari kelahiran DNK selisih 6 bulan itu — DNK saya anggap sebagai kakak ideologis Jurnaba, sebagai penambah semangat nglampahi toriqoh start-up.
Saya tentu masih ingat saat sedang lelah-lelahnya menakhodai Jurnaba, saya sowan pada Mas Aga. Dan Mas Aga bilang, saya dan Jurnaba harus semangat. Kata-katanya yang selalu saya ingat: awak dewe iki too big to fail, dadi ojok nyerahan.
Tentu saja, kalimat itu menjadi penyemangat bagi saya secara khusus dan Jurnaba secara umum, untuk tetap berani melangkah di dunia yang kian lama kian ajaib ini. Meski memang, hingga kini Jurnaba juga masih grayang-grayang untuk terus berjalan.
Pamitnya DNK tentu memicu rasa sedih secara personal di hati saya. Setidaknya, saya kehilangan role model platform kreatif penampung uneg-uneg yang bukan Jakartasentris maupun Jogjasentris.
Pamitnya DNK juga membuat saya teringat akan sedihnya kehilangan dua media alternatif yang sempat saya bikin sebagai ruang uneg-uneg indie pada medio 2015 silam: sekutukata.com dan paraya.org.
“Hulu boleh memiliki hilir, namun muaralah yang akan menuju samudera. Semoga kelak kita bisa bertemu kembali, dengan semangat yang baru, dengan pribadi yang lebih matang, dengan kegembiraan yang lebih menghangatkan.”
Paragraf perpisahan penuh haru yang ditulis redaksi DNK di atas memang benar. Karena itu, semoga kelak dnk.id bisa terlahir kembali. Meski tentu saja, dengan wujud yang tak harus sama.