Film The Call menyiratkan pesan atas hal itu. Bisa jadi satu kejadian buruk dan sial di masa kini dapat dihindari jika faktor penyebabnya di masa lalu bisa dikoreksi.
The Call merupakan film Korea ber-genre thriller yang dibintangi oleh Park Shin-Hye. Film ini bercerita tentang dua perempuan yang saling terhubung melalui telepon nirkabel.
Uniknya, kedua perempuan tersebut hidup di sebuah rumah yang sama, hanya berada dalam dimensi waktu yang berbeda: berjarak dua puluh tahun. Satu perempuan hidup di masa kini, satunya lagi hidup di tahun 1999.
Alur cerita menjadi menarik ketika kedua perempuan tersebut bersepakat untuk mengubah kondisi saat ini dengan me-rekaulang kejadian di masa lalu.
Peristiwa ledakan tabung gas yang menyebabkan kematian Ayah tokoh perempuan direka ulang sehingga kematian itu bisa terhindari.
Tak hanya itu, peristiwa yang menyebabkan kematian tokoh perempuan satunya berhasil dihindari dan jalannya takdir berubah.
Konflik dan drama bermula dari hal ini. Tokoh perempuan yang ada di masa lalu ternyata memiliki kelainan kejiwaan dan sadis untuk membunuh. Tak hanya itu, korban yang dibunuh kemudian dimutilasi.
Pada gilirannya, peristiwa masa lalu yang berubah telah melahirkan petaka baru yang jauh lebih seram. Sesuatu yang jauh dari bayangan. Satu persatu nyawa orang-orang terdekat dari sosok perempuan yang di masa kini hilang dan terancam.
** **
Seandainya. Kata ini seolah-olah dekat dan menjadi pelengkap dari masa lalu. Apa yang terjadi hari ini, terutama jika itu sesuatu yang tidak menyenangkan dan membahagiakan, akan menjadikan masa lalu sebagai sasaran yang perlu diratapi, dan seandainya kalau bisa, diubah.
Meratapi masa lalu alih-alih menerima dan menginsafi masa kini menjadi jurus mengelak dari fananya kenyataan. Terpikir dalam angan: masa kini akan berubah jika kejadian buruk masa lalu bisa dihindari.
Film The Call menyiratkan pesan atas hal itu. Bisa jadi satu kejadian buruk dan sial di masa kini dapat dihindari jika faktor penyebabnya di masa lalu bisa dikoreksi. Namun, yang tentu paralel, satu kejadian berubah akan mengakibatkan perubahan kejadian lainnya. Karena hidup adalah rangkaian kejadian yang jamak, alih-alih tunggal.
J. Sumardianta dalam pengantar bukunya yang berjudul Habis Galau Terbitlah Move On, menekankan soal dua hal sekaligus: pesimis dan optimis. Galau dekat degan perasaan pesimis, defensif, dan penyesalan atas kejadian yang telah lalu.
Sementara moveon lekat dengan optimisme dan kesegaran dalam menatap masa depan. Keduanya tidak berdiri sendiri, bahkan saling beriringan: ada optimisme saat pesimis; ada pesimisme saat optimis.
Sintesis-ketegangan antara optimisme dan pesimisme itu yang perlu dijaga dan diukur kadarnya secara kreatif agar proporsinya tepat.
Eureka moment seringkali lahir dari proses panjang dalam mengelola rasa pesimis dengan optimis secara paralel. Momen-momen “aha” biasanya hadir saat berulang-kali gagal dan jatuh, lantas kemudian secara acak muncul celah “semesta mendukung”.
Bagaimana pun bentuk dan rasa yang dihadirkan masa lalu, tetaplah ia sebagai sesuatu yang telah selesai. Tugas sejarah dari masa lalu berakhir, ketika masa kini datang.
Tidak perlu berkeras hati ingin menghadirkan masa lalu di masa kini. Berdamai dengan masa lalu agar masa kini tidak dirutuki selalu.