Persaingan hidup semakin luas dan keras. Manusia berlomba-lomba menjadi yang terkuat. Itu mengundang munculnya isu World War 3 di media sosial. Persaingan ekonomi diduga menjadi api penyulut isu tersebut.
Kondisi global sedang dalam perang ekonomi yang sengit. Ini membawa masyarakat turut bersaing. Misalnya dalam pendidikan. Kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan terus dikembangkan. Setiap negara berusaha menghasilkan yang terbaik.
Pendidikan termasuk landasan penting pembangunan sebuah negara. Seluruh sumber daya manusia dikerahkan. Bahkan, di dalam negeri sendiri persaingan turut terjadi. Seperti yang dikatakan seniman nyentrik, Sudjiwo Tedjo saat menjadi tamu di sebuah acara stasiun televisi swasta.
“Dulu saingan kita mau masuk perguruan tinggi satu banding seribu. Sekarang satu banding sepuluh ribu. Saingan orang-orang luar negeri semua. Mestinya semakin keras persaingan hidup,” kata Sudjiwo Tedjo (17/12/2019).
Persaingan hidup semakin keras. Pendidikan pun harus mengikutinya. Pendidikan yang keras akan membentuk manusia yang kuat. Akan tetapi, terdapat dilema dengan munculnya Hak Asasi Manusia (HAM).
HAM dipandang baik sebagai jaminan perlindungan terhadap manusia. Namun, sudut pandang lain menganggap cukup melemahkan manusia. Terutama karakternya. HAM menyebabkan pendidikan tidak bisa bersifat keras. Para pendidikan takut dengan adanya HAM.
“Mestinya pendidikan makin keras. Nyatanya pendidikan makin lembek karena takut HAM. Agama baru itu. Guru aja mau menjewer muridnya mikir seribu kali. Padahal guru bukan saja mengajar, tapi juga soal budi pekerti,” ucap budayawan yang kerap menggunakan sarung dan topi koboy tersebut.
Menurut Tedjo, pendidikan dahulu jauh lebih keras. Sebelum masyarakat Indonesia mengenal HAM. Misalnya, seorang guru ngaji yang memukul muridnya agar cepat belajar. Termasuk Tedjo sendiri. Dia mengaku pernah merasakan pendidikan seperti itu. Dicambuk seorang guru. Padahal, kala itu bapaknya adalah seorang Camat.
Presiden Jancukers tersebut juga mendidikan dengan cara demikian. Itu dia lakukan dalam mendidik muridnya belajar dalang dan pewayangan. Istilahnya, orang tua sudah menyerahkan anaknya ke Tedjo untuk dididik. Kasarnya, kalau dibunuh pun akan diterima orang tua murid.
“Sekarang orang tua murid saya belajar dalang, istilahnya sudah menyerahkan anaknya kepada saya. Etos harus ada. Sedikit ditempeleng ya monggo. Lebih baik di tempeleng sampeyan (guru) daripada di tempeleng masyarakat,” ungkap Sudjiwo Tedjo.
Mungkin saja itu benar. Orang tua menyerahkan anaknya kepada seorang guru. Bukan hanya untuk diajar, melainkan untuk dididik. Kalau hanya belajar, cukup dengan Google. Tidak perlu dengan guru. Seorang guru juga bertanggung jawab atas pendidikan moral dan budi pekerti muridnya.
Kalaupun tidak dididik secara keras pun tak apa. Resikonya adalah karakter yang lembek. Terbiasa mendapat perlindungan, dari HAM misalnya, akan membuat mental lembek. Padahal, persaingan di dunia luar lebih keras ketimbang sebelumnya.
Dalam ruang lingkup pendidikan, bermasyrakat dan bernegara, tentu HAM harus ditegakkan. Demi adanya jaminan terhadap keberlangsungan hidup masyarakat yang aman dan tentram. Namun, siapa yang menjamin di kehidupan masyarakat global yang begitu nyata dan apa adanya?
“Jangan tersiksa dengan HAM hanya karena kita pusing memikirkan manusia saja,” pungkas Sudjiwo Tedjo.
Manusia adalah makhluk sosial yang bisa belajar. Semakin hari semakin berkembang. HAM bagian dari hukum negara yang menjamin kesempatan berkembang itu. Bukan malah membatasi perkembangan itu sendiri.
Melihat kondisi global yang cukup panas, masyarakat harus kuat dan tahan banting. Seperti Gathotkaca, mampu bersikap tegas dalam persaingan dunia. Seperti karya Prie GS, sebuah buku berjudul “Hidup ini Keras, Maka Gebuklah”.
Hak asasi seharusnya tidak cuma dimiliki manusia. Namun, juga hewan dan alam. Hewan seperti ayam dan kambing juga punya hak asasi. Tetapi ia rela mati demi manusia. Menjadi makanan yang enak dan bergizi. Tentunya, energi yang dapat manusia dari memakannya haruslah untuk kebaikan.