Habis tendang sesajen terbitlah pro dan kontra. Berikut analisis peristiwa tersebut dari kaca mata hukum. Cekidot, Nabs.
Beberapa waktu lalu, publik dihebohkan oleh video seseorang berinisial HF yang menendang sesajen di wilayah terdampak erupsi Gunung Semeru, Kecamatan Pronojiwo, Lumajang, Jawa Timur.
Dalam video tersebut, HF menendang sesajen karena menurut “keyakinan pribadinya” hal itu merupakan perbuatan musyrik dan berpotensi mendatangkan musibah.
Tentu, secara hukum keyakinan pribadi HF yang menganggap sesajen sebagai perbuatan musyrik dan berpotensi mendatangkan musibah tidaklah dapat dipersalahkan.
Hal ini didasarkan pada adagium hukum yang menyatakan bahwa, “De gustibus non est disputandum” yang bermakna (kurang lebih) bahwa mengenai selera/pandangan pribadi tidak dapat dijadikan objek sengketa dalam hukum.
Menjadi bermasalah apabila hal tersebut disertai dengan ujaran kebencian, perendahan terhadap kelompok tertentu, serta hal-hal lain yang melanggar kepatutan dan kesusilaan, terlebih lagi hal tersebut dipublikasikan secara online, Nabs.
Nabs, tulisan ini mencoba menganalisis aspek penegakan hukum dalam perbuatan menendang sesajen yang dilakukan oleh HF.
Menendang Sesajen: Dapatkah Dipidana?
Terkait dengan perbuatan menendang sesajen yang dilakukan oleh HF, perlu terlebih dahulu dilihat beberapa fakta hukum, diantaranya: pertama, HF dalam keadaan sadar dan sengaja melakukan penendangan terhadap sesajen termasuk sengaja untuk mengunggah video tersebut.
Hal ini sebagaimana penuturan Kombes Pol Totok Suharyanto yang menerangkan bahwa video tersebut dibuat tersangka menggunakan ponsel pribadinya dengan dibantu oleh teman yang mana perbuatan tersebut dilaksanakan pada hari Sabtu tanggal 8 Januari 2022.
Kedua, perbuatan yang dilakukan oleh HF diunggah ke media online/digital dengan bantuan temannya yang artinya bahwa ada “potensi” perbuatan tersebut dikenai sanksi berdasarkan UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dalam UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut UU ITE).
Karena ada potensi pelanggaran terhadap UU ITE, maka perlu juga diperhatikan Keputusan Bersama Menteri Komunikasi dan Informatika RI, Jaksa Agung RI, dan Kepala Kepolisian Negara RI Nomor 229 Tahun 2021, Nomor 154 Tahun 2021 dan Nomor KB/2/VI/2021 tentang pedoman implementasi atas pasal tertentu dalam UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang infomasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan UU nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan atas UU Nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik pada tanggal 23 Juni 2021.
Mengutip dari berbagai media, Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Jawa Timur, yaitu Komisaris Besar Gatot Repli Handoko mengatakan penendang sesajen di lokasi bencana Gunung Semeru yang berinisial HF dikenakan salah satunya Pasal 156 KUHP.
Pasal 156 KUHP berbunyi “Barangsiapa dimuka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap sesuatu atau beberapa golongan penduduk Negara Indonesia, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,–“.
Pasal 156 KUHP tersebut pada intinya menekankan unsur permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap beberapa golongan penduduk Negara Indonesia.
Dikaitkan dengan fakta hukum bahwa HF menendang sesajen, maka menurut hemat penulis Pasal KUHP tidak tepat jika diterapkan pada kasus HF.
Dibandingkan dengan dikenai Pasal 156 KUHP, penulis justru berpendapat bahwa HF sepatutnya dikenai delik sebagaimana dalam Pasal 55 juncto Pasal 53 UU No. 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan.
Pasal 55 UU No. 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan menegaskan bahwa, “Setiap Orang yang secara melawan hukum menghancurkan, merusak, menghilangkan, atau mengakibatkan tidak dapat dipakainya sarana dan prasarana Pemajuan Kebudayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)”.
Unsur Pasal 55 UU No. 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan yaitu “menghancurkan, merusak, menghilangkan, atau mengakibatkan tidak dapat dipakainya sarana dan prasarana Pemajuan Kebudayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53”.
Lebih lanjut, Pasal 53 UU No. 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan menegaskan bahwa, “Setiap Orang dilarang secara melawan hukum menghancurkan, merusak, menghilangkan, atau mengakibatkan tidak dapat dipakainya sarana dan prasarana Pemajuan Kebudayaan”.
Dari Pasal 53 juncto Pasal 55 UU No. 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan tersebut terdapat dua pertanyaan hukum yaitu pertama, apakah menendang sesajen sebagaimana yang dilakukan HF dapat dikualifikasi sebagai “menghancurkan, merusak, menghilangkan, atau mengakibatkan tidak dapat dipakainya sarana dan prasarana Pemajuan Kebudayaan”? dan kedua, apakah sesajen dapat dikategorisasikan sebagai “sarana dan prasarana Pemajuan Kebudayaan?”
Sebelum menjawab pertanyaan hukum pertama dan kedua maka perlu dipertegas dan dipercerah terlebih dahulu apa makna dari sarana dan prasarana Pemajuan Kebudayaan.
Berdasarkan interpretasi sistematis (sistematisce interpretative) Pasal 5 UU No. 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan menegaskan bahwa, “Objek Pemajuan Kebudayaan meliputi: tradisi lisan, manuskrip, adat istiadat, ritus, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, bahasa, permainan rakyat, dan olahraga tradisional”.
Dari objek pemajuan kebudayaan tersebut, menurut penulis berdasarkan interpretasi otentik sebagaimana penjelasan Pasal 5 huruf d UU No. 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan bahwa, “Yang dimaksud dengan “ritus” adalah tata cara pelaksanaan upacara atau kegiatan yang didasarkan pada nilai tertentu dan dilakukan oleh kelompok masyarakat secara terus menerus dan diwariskan pada generasi berikutnya, antara lain, berbagai perayaan, peringatan kelahiran, upacara perkawinan, upacara kematian, dan ritual kepercayaan beserta perlengkapannya”.
Berdasarkan interpretasi sistematis (sistematisce interpretative) dan interpretasi otentik tersebut maka penulis berpendapat bahwa sesajen merupakan bagian dari objek pemajuan kebudayaan berupa “ritus” terutama yang berkaitan dengan frasa “ritual kepercayaan beserta perlengkapannya”.
Hal ini secara tegas dan jelas bahwa sesajen relevan dengan objek pemajuan kebudayaan berupa “ritus” dan penendang sesajen sejatinya telah memenuhi kualifikasi dalam Pasal 53 juncto Pasal 55 UU No. 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan dengan sanksi kumulatif berupa sanksi pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Jika melihat sanksi yang bersifat kumulatif dalam juncto Pasal 55 UU No. 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan tersebut, menurut hemat penulis yang tepat bukanlah sanksi kumulatif yang dalam UU a quo ditulis dengan kata hubung “dan”, tetapi yang tepat adalah sanksi kumulatif-alternatif yang dalam hukum seyogianya ditulis “dan/atau”.
Hal ini penulis dasari dengan gagasan bahwa sanksi yang bersifat kumulatif-alternatif relevan karena tidak memandang hukuman pidana penjara sebagai satu-satunya hukuman yang sesuai dan relevan.
Menurut hemat penulis, pendekatan restorative justice serta pendekatan sosial dan kebudataan menjadi hal terpenting dalam tindak pidana sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 55 UU No. 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan.
Oleh karena itu, menurut hemat penulis dalam Pasal 55 UU No. 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan perlu direvisi dengan menegaskan kategori sanksi yang bersifat kumulatif-alternatif yang dalam hukum seyogyanya ditulis “dan/atau” serta ditambah dengan kalimat “serta mendasarkan pada hukum adat, kepatutan, serta kesusilaan yang berlaku”.
Hal ini penting karena pada esensinya Pasal 55 UU No. 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan adalah delik terhadap objek pemajuan kebudayaan salah satunya adalah sesajen yang dalam hal ini terkualifikasi sebagai ritus sehingga memerlukan pendekatan sosial dan kebudayaan masyarakat setempat.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pertanyaan hukum pertama telah terjawab bahwa menendang sesajen sebagaimana yang dilakukan HF dapat dikualifikasi sebagai “menghancurkan, merusak, menghilangkan, atau mengakibatkan tidak dapat dipakainya sarana dan prasarana Pemajuan Kebudayaan” sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 55 UU No. 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan.
Terkait dengan pertanyaan hukum kedua juga telah terjawab yaitu sesajen dapat dikategorisasikan sebagai “sarana dan prasarana Pemajuan Kebudayaan” yang kerkualifikasi sebagai ritus sebagaimana interpretasi sistematis dan interpretasi otentik atas UU No. 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan.
Menjadi pertanyaan selanjutnya, apakah dengan demikian HF dapat dituntut sebagaimana Pasal 55 UU No. 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan?
Jika mengacu pada fakta hukum bahwa HF mengunggah tindakannya ke media online/digital dengan bantuan temannya, maka tindakan HF tunduk pada ketentuan dalam UU ITE. Hal ini karena ketentuan Pasal 55 UU No. 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan secara lex certa tidak terdapat unsur dilakukan di media digital/online. Hal ini sebagaimana asas lex specialis derogat legi generalis bahwa yang berlaku dalam kasus HF adalah UU ITE.
Mengacu pada UU ITE, maka tindakan HF terkualifikasi sebagaimana Pasal 28 ayat (2) UU ITE yang berbunyi, “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)”.
Lebih lanjut dalam Keputusan Bersama Menteri Komunikasi dan Informatika RI, Jaksa Agung RI, dan Kepala Kepolisian Negara RI Nomor 229 Tahun 2021, Nomor 154 Tahun 2021 dan Nomor KB/2/VI/2021 tentang pedoman implementasi atas pasal tertentu dalam UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang infomasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan UU nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan atas UU Nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik pada tanggal 23 Juni 2021, Pasal 28 ayat (2) UU ITE terutama didasarkan atas Putusan Mahkamah Konstitusi No. 76/PUU-XV/2017.
Dalam ratio decidendi Putusan MK a quo ditegaskan bahwa, “…Menimbang bahwa istilah “antargolongan” karena mewadahi berbagai entitas yang belum diatur dalam Undang-Undang, maka justru ketika dihilangkan/dihapus dari Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45A ayat (2) UU ITE akan meniadakan/menghilangkan perlindungan hukum bagi entitas di luar tiga kategori yaitu: suku, agama, dan ras”.
Dengan mengutip ratio decidendi Putusan MK No. 76/PUU-XV/2017 maka makna antargolongan dimaknai secara ekstentif sepanjang memiliki makna serta semangat yang sama dengan istilah suku, agama, dan ras.
Dalam kasus HF ini, maka masyarakat sekitar Gunung Semeru yang melaksanakan sesajen dapat dikualifikasi sebagai “antargolongan” sehingga telah memenuhi unsur Pasal 28 ayat (2) UU ITE dan dikenakan sanksi sebagaimana Pasal 45A ayat (2) UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang berbunyi, “Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak satu miliar rupiah”. Oleh karena itu, secara yuridis, kasus HF dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak satu miliar rupiah.
Dilema Kasus HF: Memenjarakan atau Memaafkan?
Mengutip pendapat dari Satjipto Rahardjo, bahwa penegakan hukum sejatinya merupakan konktretisasi dari nilai dan cita hukum suatu masyarakat. Dalam hal ini, penegakan hukum merupakan realisasi aspek “ideal” dari hukum.
Menurut Gustav Radbruch, nilai dasar hukum meliputi kepastian, kemanfaatan, serta keadilan. Bahkan menurut Gustav Radbruch, jika terdapat inkoherensi antara kepastian dan kemanfaatan maka keadilanlah yang harus ditegakkan dan dijunjung tinggi.
Mengacu pada pendapat dari Gustav Radbruch tersebut, maka apakah nilai dasar hukum berupa kepastian, kemanfaatan, serta keadilan telah terimplementasi dalam kasus HF?
Mengacu pada aspek kepastian hukum sebagaimana analisis di atas, maka HF seyogianya dapat dikenai sanksi sesuai dengan Pasal 45A ayat (2) UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak satu miliar rupiah.
Mengacu pada aspek kemanfaatan hukum, tidak kurang beberapa pihak menginginkan agar kasus HF diselesaikan secara kekeluargaan.
Hal ini disampaikan salah satunya oleh Bagong Suyanto yang merupakan Guru Besar dan Sosiolog dari Universitas Airlangga yang menegaskan bahwa tidak perlu memperpanjang masalah ini sampai ke ranah hukum karena bisa diselesaikan dengan cara kekeluargaan dan yang terpenting ketika pelaku sudah meminta maaf maka permasalahan selesai.
Hal ini juga didasarkan bahwa pelaku tidak berasal dari wilayah Lumajang sehingga mungkin tidak mengetahui adat-istiadat setempat. Meski begitu, Bagong Suyanto tetap menegaskan bahwa tindakan yang dilakukan oleh HF merupakan tindakan yang salah dan tidak patut untuk dilakukan.
Senada dengan hal tersebut, Al Makin yang juga merupakan Guru Besar dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta menegaskan bahwa sungguh tidak adil jika hanya seorang saja yang mungkin khilaf kemudian diproses hukum.
Menurut Al Makin, sikap memaafkan dengan menghentikan hujatan akan menjadi pendidikan dan pelajaran yang luar biasa bagi HF, ketimbang menjatuhkan hukuman baginya.
Menurut hemat penulis, pendapat dari Bagong Suyanto dan Al Makin dapat dipahami mengingat pelaku menyadari dan khilaf akan perbuatannya.
Tanpa mengurangi rasa hormat dengan Bagong Suyanto dan Al Makin yang merupakan ahli dan guru besar dibidangnya, penulis berpendapat bahwa pidana tetap diperlukan bagi kasus HF. Hal ini penulis landasi dari aspek keadilan yang mencoba mencari aspek yang paling “presisi dan proporsional” dari aspek kepastian dan kemanfaatan hukum.
Dalam aspek kepastian hukum yang seyogianya pelaku dipidana serta melihat pada aspek kemanfaatan yang seyogianya cukup meminta maaf dan pelaku tidak perlu diproses hukum.
Penulis dengan mengedepankan aspek keadilan berpendapat bahwa seyogianya pelaku perlu diberi sanksi berupa sanksi sosial, sanksi hukum, serta sanksi adat.
Sanksi sosial yaitu pelaku HF dan jika terdapat bukti yang sah dan meyakinkan termasuk teman HF wajib meminta maaf ke publik melalui media sosial atau melalui media resmi kepolisian.
Hal ini perlu dilakukan karena publik yang tersakiti dengan tindakan HF setidaknya dapat memaafkan tindakan HF tersebut.
Sanksi hukum yaitu berupa pidana denda yang merupakan denda kategori ringan yang seyogianya dapat mengganti sesajen yang ditendang (rentang lima puluh ribu rupiah sampai lima ratus ribu rupiah). Hal ini karena sanksi pidana dalam Pasal 45A ayat (2) UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menekankan sanksi pidana yang bersifat kumulatif-alternatif sebagaimana dalam UU a quo dirumuskan dengan kata “dan/atau”.
Dengan demikian, sanksi hukum berupa pidana denda menurut hemat penulis layak diterapkan dalam kasus HF.
Selanjutnya adalah sanksi adat yaitu sanksi yang diberikan berdasarkan adat-istiadat atau kearifan lokal masyarakat sekitar Gunung Semeru, Kecamatan Pronojiwo, Lumajang, Jawa Timur.
Oleh karena itu, penulis berkesimpulan bahwa kasus HF perlu diberikan sanksi sosial berupa permintaan maaf secara publik, sanksi pidana berupa pidana denda maksimal sebesar lima ratus ribu rupiah, serta sanksi adat sesuai dengan adat-istiadat atau kearifan lokal masyarakat sekitar Gunung Semeru, Kecamatan Pronojiwo, Lumajang, Jawa Timur. Hal ini penulis dasarkan bahwa hukum yang baik senantiasa harus didasarkan pada harmonisasi antara kepastian hukum, kemanfaatan, serta keadilan.