Kami hanya ingin berjualan di Pasar Kota. Bukan di pasar malam apalagi pasar jadi-jadian.
Suara burung jalak bersahutan. Menjadi saksi hidup Riono menikmati secangkir kopi dan sebatang rokok di beranda rumah.
“Blonjo…blonjo…blonjone, lho…”, suara Pariyem menggema di langit desa. Menjual berbgai macam sayuran, jajanan pasar, dan lain sebagainya.
Ibu-ibu, bapak-bapak, dan anak-anak sudah menunggu kedatangan Pariyem. Warga desa menantinya dengan suka cita, bak pimpinan parlemen yang sedang mengunjungi rakyatnya.
“Isuk cilik, Ri, ayo ngopi ndek Pasar Kota S.”, ujar Solikin. Riono dengan semangat 45, langsung mengiyakan ajakan kawan karibnya, Solikin.
Maklum Riono baru beberapa hari menginjakkan kaki di kampung halaman. Setelah beberapa bulan yang lalu, Riono berkeliling dari satu kota ke kota yang lain, karena Riono merupakan pengabdi bantuan hukum (PBH) di lembaga bantuan hukum yang probono alias gratis.
Riono dan Solikin bergoncengan menggunakan sepeda motor butut untuk menuju Pasar Kota S.
Tiba di Pasar Kota S, Riono kaget, karena tempat Riono ngopi, cangkruk, dan bolos sekolah (dulu), sudah rata dengan bantaran bengawan.
“Loh…loh…, kok wes roto karo bengawan?”, tanya Riono.
“Lha..iki pedagang arep dipindah, Ri.”, jawab Solikin.
“Lha, dipindah ndek ndi, Kin?”
“Dipindah ndek pasar anyar, cedak halte”.
“Lho..lho..lho…, lha iki piye ngeneki?”.
“Yo..ora roh. Wong nduwuran sing ngerti. Wong cilik koyok kene, gak pati ngerti urusan wong duwuran”.
“Waduh….bar gawene”.
Riono mengajak Solikin untuk nostalgia terlebih dahulu di lingkungan pasar. Terjadi beberapa perubahan. Mat Saib, penguasa pasar yang dulunya sering ke pasar, sekarang jarang ke pasar karena masuk ke bagian pemerintahan.
Joni, juru parkir yang dulunya sering memakai kaos oblong ketika bertugas, sekarang sudah berseragam biru laut dengan celana berwarna biru dongker. Lengkap dengan topi kementerian plus rompi yang aduhai.
Kaji Soleh, masih istiqomah berjualan berbagai jenis daging. Mak Yu, juga masih istiqomah menjual hasil bumi di bagian tepi pasar. Dan Dasim, yang sering didatangi Riono untuk melihat dan membaca karya tulis, lapaknya tertutup rapat. Dipertegas dengan banyaknya sarang laba-laba, dan debu yang tebal, pertanda lapak sudah lama tutup.
Riono juga berkunjung ke pohon besar. Dimana dulunya di pohon itu, terdapat Sarjono yang merupakan tukang cukur rambut legendaris di kawasan pasar Kota S. Sekarang, hanya tinggal kenangan.
Riono dan Solikin, kemudian menuju Warung Kopi Mak Ran, sembari menikmati secangkir kopi dan gorengan, mereka bersilaturahim dan mengutarakan unek-uneknya.
“Ri…Ri…warungku ape dipindah, lagek ae rame-rame wong mari pandemi, ape dipindah, piye Ri?”, keluh Mak Ran.
“Lha..aku yo kaget, Mak Ran, ngerti berita iku. Nek misale tujuan mindahe jelas, pastine menguntungkan. Tapi nek bagian seng mindah mlenca-mlence, yo mesti enek agenda liyane”.
Sembari mendengarkan riuh pasar dan cecurhatan pedagang pasar, Riono mengeluarkan buku catatan dan menuangkan gagasan dalam kertas.
Menarikan pena, menuliskan berbagai hal ihwal fenomena yang berkaitan dengan pasar. Juga sebagai langkah muhasabah Riono selaku aktivis pergerakan cum pengabdi bantuan hukum.
Riono mengkritisi mengenai pemindahan Pasar Kota S. Di paragraf pertama, Riono menuliskan tentang betapa pentingnya fungsi historis dan geografis Pasar Kota S.
Dengan berpedoman pada studi literatur arsip lokal, nasional, dan kolonial.
Di paragraf ke dua, Riono menuliskan ihwal agenda terselubung pemerintahan. Konon di bawah area pasar dan sekitarnya, ada sumber emas hitam alias minyak bumi.
Dari kacamata Riono, menjelaskan bahwa ada kelatahan pemerintah. Karena tidak berterus terang tentang alasan pemindahan pasar.
Di paragraf ke-tiga, Riono mengutarakan gagasan dalam bentuk tulisan hal ihwal sudah banyaknya taman di Kota S. Dan menurut Riono, seyogianya bukan taman yang diperbanyak, melainkan agenda reforma agraria sejati yang harus menjadi prioritas pemerintah. Bukan hanya sekadar bagi-bagi sertifikat tanah, apalagi bikin taman. Tidak terlalu berpengaruh terhadap kesejahteraan rakayat.
Paragraf ke-empat, Riono memberikan pandangan tentang bergesernya makna “taman” dan terjadinya fenomena “komersialisasi taman”. Karena menurut literatur kuno, taman merupakan tempat untuk mengenali diri dan mendekatkan diri pada alam dan Sang Pencipta. Bukan untuk berjualan golongan tertentu, apalagi untuk bersenang-senang diluar batasan.
Selanjutnya, Riono mengutarakan hal ihwal lungsetnya bendera kami. Lungsetnya bendera, disini bendera organisasi mahasiswa. Bukan hanya sekadar hati yang lungset, bendera organisasi mahasiswa maupun organisasi pergerakan yang lain sedang lungset. Menjadi muhasabah bagi Riono dan kawan-kawan, karena efek komersialisasi pendidikan, menjadikan mahasiswa hanya sekadar belajar, belajar, dan belajar di kampus.
Lupa, kalau ada poin pengabdian kepada rakyat dan penelitian. Kuliah, kuliah, dan kuliah, biaya mencekik, dan menciptakan menara gading. Gagasan Riono diakhiri dengan, “kami hanya ingin pasar, bukan taman”.