Rasa benci terlahir dari ketidakmampuan kita untuk memaafkan. Perihal benci dan memaafkan ini, membawa ingatan saya pada cerita yang pernah dikisahkan oleh seorang Ustad. Suatu hari, untuk menghibur hati santrinya yang sedang bersedih, ustad itu bercerita tentang Salman Al-Farisi, tokoh sahabat nabi yang terkenal akan ketampanan dan kecerdasannya.
Di dalam cerita itu, sang Ustad berkisah bahwa Salman Al-farisi pernah menaruh perasaan kepada seorang perempuan. Ia, Salman, meminta bantuan juniornya yang bernama Abu Darda untuk melamarkan gadis itu pada orangtuanya. Karena, Abu Darda dinilai lebih dekat dengan keluarga perempuan tersebut.
Yang terjadi justru di luar dugaan. Si Ibu dari perempuan itu menolak lamaran Salman dan lebih memilih Abu Darda untuk menikahi anaknya tersebut, saat itu juga. Abu Darda yang sebelumnya hanya melamarkan Salman pun, akhirnya menikah dengan perempuan pilihan Salman itu.
Mendengar itu, apakah Salman marah? tidak. Salman tak sedikitpun menyimpan benci pada Abu Darda. Justru, ia mendukung Abu Darda untuk menikahi gadis yang sebelumnya ia idam-idamkan itu. Salman memiliki hak untuk marah, tapi tidak ia lakukan. Apa sebabnya? Sebab itu tak diceritakan oleh Ustad.
Mungkin karena rasa cinta Salman melahap habis amarah yang harusnya ia keluarkan. Dan dengan begitu ia tidak pernah membenci apapun dan siapapun. Tidak pada rasa cinta yang memberikan sakit, tidak pada juniornya, tidak pada ibu si perempuan, tidak pula pada si perempuan.
Adakah manusia lain di dunia ini yang memiliki keikhlasan dan pengampunan sebesar itu? Ada. Saya selalu percaya bahwa ada orang di dunia ini, yang dianugerahi kelapangan hati oleh Tuhan, yang ia sesungguhnya berhak untuk marah, namun justru memilih untuk memaafkan.
Tidak. Bahkan tidak ada ruang bagi amarah ketika hatinya dipenuhi oleh cinta dan pengampunan.
Seseorang pernah mengatakan pada saya perihal cinta. Mengapa momen cinta selalu di-metaforakan sebagai kejatuhan? sehingga kita mengenal apa yang disebut jatuh cinta.
Karena orang yang sedang jatuh cinta tidak dalam kendali dirinya. Ia tunduk dalam kendali cinta dan dalam penguasaan yang penuh, sehingga ia tidak mampu berdiri di atas kakinya sendiri. Itu sebabnya ia dikatakan jatuh pada cinta.
Jika sebesar itu cinta bisa menguasai diri manusia, maka harusnya tidak ada ruang lain di dalam diri manusia yang jatuh cinta, terlebih kebencian. Apa yang ditimbulkan oleh cinta memang tidak semata-mata rasa bahagia, tapi juga sakit.
Cinta, sebagaimana unsur-unsur lain yang memiliki dua sisi muatan; baik dan buruk, yang disukai dan tidak disukai, yang membahagian dan yang menyakitkan. Ketika kemudian rasa sakit yang kita kecap, yang perlu kita ingat adalah rasa bahagia yang lebih dulu terasa.
Orang bisa memilih menyikapi dengan marah dan membenci. Tapi dengan itu, rasa cintanya sudah tersingkirkan. Di lain sisi, orang bisa memilih untuk memaafkan. Memaafkan siapa? Memaafkan cinta yang memberikan rasa sakit, memaafkan orang yang melukai, dan yang lebih penting: memaafkan diri sendiri.
Saya percaya ada banyak orang yang dikaruniai cinta kasih dan pengampunan oleh Tuhan. Siapa mereka? Kita semua tidak tahu siapa orang-orang pilihan itu. Takdir adalah takaran maksimal, yang dilakukan manusia adalah berusaha mencapai titik maksimalnya.
Siapa tahu, kita salah satu di antara orang-orang pilihan itu, yang memiliki kemuliaan hati untuk memaafkan, yang bisa terus diusahakan dengan memilih untuk memaafkan… memilih untuk memaafkan. Terus dan terus.
Mata saya berkaca-kaca ketika menulis tulisan ini. Sebab, saya berkesempatan mengetahui keberadaan orang dengan kemuliaan hati seperti Salman Al-farisi. Tak ada yang tahu bahwa orang-orang yang dianggap biasa, ternyata satu dari sekian khusus yang dimuliakan itu, yang kepadanya doa-doa baik terus membersama dan menyatu padu.