Tahun 2020 adalah momen ketika sains dan agama berjumpa dalam titik temu bernama kemanusiaan.
Dua. Nol. Dua. Nol. Empat angka yang jika dirangkai akan menjadi bilangan tahun yang cantik. Tentu, harapannya, berjalannya tahun akan secantik, secerah, dan seelok bilangan tahunnya.
Tahun 2020 ini susana pandemi mungkin membuyarkan sebagain besar rencana, strategi, dan target yang telah ditetapkan untuk dicapai. Tahun ini berjalan dengan amat cepat sekaligus penuh ujian kesabaran.
Bentuk-bentuk tatanan baru dalam pendidikan, ekonomi, sosial, dan agama hadir dan menjadi pola baru. Meski, sebagaimana tulisan Yuval Noah Harari, mayoritas pihak tidak siap.
Peralihan abad sekaligus awal milenium baru, dua dekade silam, saat aku masih sekolah Tsanawiyah, teringat betul olehku narasi megah. Abad 21 atau milenium kedua adalah masa di mana sains dan teknologi akan mengalami kemajuan bahkan lompatan spektakuler yang belum pernah ada dalam sejarah umat manusia sebelumnya. Sebuah gempita dan deru zaman yang memacu. Dunia akan berubah.
Namun, di sisi lain, banyak yang mewanti-wanti dan khawatir bahwa lompatan kemajuan di abad baru akan memunculkan alienasi tata nilai moral dan agama ke buritan sejarah. Kemajuan saintek di ujung bandul sebelah, sementara tata nilai dan agama di sisi lain bandul. Berhadapan dan berjarak secara simetris. Narasi yang hadir adalah ketegangan, konflik, dan perseteruan.
Setidaknya, bagiku, ketegangan kreatif antara sains dan agama untuk menghadirkan solusi, tampak hadir selama masa pandemi ini. Sains dan agama tampak bersinergi dan berkolaborasi untuk menghadirkan solusi menghadapi pandemi akibat virus. Meski tidak bisa dipungkiri, ada sebagian kelompok anti-sains dan anti-intelektualisme dalam menyikapi virus ini berpedoman dengan salah satunya, dalih agama.
Agama menjadikan argumen sains dalam menyusun petunjuk-petunjuk teologis ibadah selama masa pandemi. Sementara itu, sains memperoleh bantuan dari agama untuk menyebarluaskan sudut pandangnya menghadapi pandemi. Di ujung keduanya, sains dan agama, ada kemanusiaan yang menjadi prioritas.
Meski sains dan agama berbeda pada titik tolak/ontologinya, berbeda pula pendekatan metode/epistemologinya, namun keduanya memiliki aksiologi yang sama dalam komitennya untuk menjaga keberlangsungan kehidupan manusia. Sains dan agama berjumpa dalam titik temu bernama kemanusiaan.
Selain hal di atas, situasi pandemi di tahun ini, bagiku, adalah sebagai momen untuk meneguhkan predikat manusia, mengutip istilah Pak Frans Magniz Suseno: makhluk individu yang bersifat sosial. Predikat manusia adalah individualitas, namun sifatnya adalah komunalitas.
Manusia lahir sebagai individu yang dibekali dengan individualitas yang berbeda-beda. Individualitas yang melekat pada diri manusia adalah modal dasar yang dimiliki manusia untuk bertumbuh, berkembang, dan berkemajuan.
Namun, yang penting dicatat, dalam proses bertumbuh, berkembang, dan berkemajuan itu, manusia tidaklah bisa tanpa terikat dan terjalin dengan individu-individu lain dalam lingkungan sosialnya.
Pada satu waktu, individu mempengaruhi adanya perubahan sosialnya. Namun yang tidak kalah pentingnya, lingkungan sosial adalah basis pertumbuhan yang mempengaruhi individu.
Penyakit yang bersifat viral, sebagaimana yang dibawa oleh virus, adalah penyakit yang mengenai individu sekaligus bersifat sosial. Menjaga diri dari penyakit akibat pajanan virus, sejatinya juga menjaga lingkungan sosial terdekat kita dari potensi tertular penyakit.
Penyakit akibat virus, antivirusnya adalah imunitas pribadi sekaligus imunitas kelompok. Pada titik ini, komitmen komunal terhadap lingkungan sosial kita bermula dari komitmen individual. Saling menjaga antarindividu adalah vaksin dari penyakit menular akibat virus.
Egmond Rostand menulis cerita berjudul Chantecler (Cerita Ayam Jantan). Dia menulis bahwa hari mulai siang bukan karena ayam berkokok, akan tetapi ayam berkokok karena hari mulai siang. Komunalitas lahir dari sifat individualitas. Kebutuhan manusia akan komunalnya, lahir dari keinginan manusia untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar dirinya.
Ketidakmampuan manusia sebagai individu, dalam memenuhi kebutuhan dasar dirinya, menjadikan manusia mengupayakan adanya keterkaitan dengan individu lain sehingga terbentuk organisasi sosial atau perserikatan.
Organisasi dan perserikatan adalah langkah yang ditempuh manusia untuk mengupayakan pemenuhan kebutuhan individunya. Lebih dari itu, untuk menjaga kelestarian eksistensinya.
Kemanusiaan, individualitas, dan komunalitas, adalah insight (pemaknaan) penting yang setidak-tidaknya, jika harus mengambil nilai positif, dari berjalannya tahun 2020 yang tinggal kurang dari dua bulan lagi. Kita, manusia, merenungkan ulang tentang eksistensinya.