“Duh Gusti kulo sanes ahli suwargo
Nanging kulo mboten kiat wonten neroko. Mugi Gusti kerso paring pangapuro dumateng sedoyo dosa-dosa kulo…”
Saya yakin di antara kalian pembaca Jurnaba, ada yang ikut bernyanyi ketika membaca lirik di atas. Betul, lirik di atas adalah pujian yang disenandungkan setelah adzan. Di musala perkampungan rumah saya, pujian ini biasa digemakan setiap selesai adzan magrib, sebelum iqhomat.
Setiap mendengar pujian di atas, maka saya akan sadar bahwa itu adalah hari kamis, tepatnya malam jum’at. Entah akan kalian maknai sebagai waktu-waktu yang horror di mana para hantu bergentayangan, atau sebagai waktu bagus untuk bershalawat, mengaji, mengirimkan YaSin, atau yang lainnya.
Tapi begitu mendengar pujian di atas, saya akan tahu bahwa itu adalah hari Kamis. Ada semacam kebiasaan di perkampungan saya melantunkan syi’ir di atas, yang tentu tak saya ketahui bagaimana mulanya.
Syi’ir di atas memusingkan jika dipahami dengan nalar semata. Sudah tahu bukan ahli surga, kok ndak kuat menanggung perihnya neraka. Lha, maumu gimana? Tapi, kita semua tahu pujian di atas ditujukan untuk Tuhan, Gusti Allah maha penyayang dengan segala ampunannya.
Suatu hari, seorang teman mengunggah sebuah tulisan, lebih tepatnya puisi. Entah itu dalam bahasa inggris, atau dalam bahasa Indonesia, saya lupa tepatnya. Tapi puisi itu tak asing bagi saya.
Ilaahii lastu lil firdausi ahlaan wa laa aqwaa ‘alaa naaril jahiimi
Wahai Tuhanku ! Aku bukanlah ahli surga, tapi aku tidak kuat dalam neraka.
Fa hablii taubatan waghfir zunuubii fa innaka ghaafirudzdzambil ‘azhiimi
Maka berilah aku taubat (ampunan) dan ampunilah dosaku, sesungguhnya engkau Maha Pengampun dosa yang besar.
Dzunuubii mitslu a’daadir rimaali fa hablii taubatan yaa dzaaljalaali
Dosaku bagaikan bilangan pasir, maka berilah aku taubat wahai Tuhanku yang memiliki keagungan.
Wa ‘umrii naaqishun fii kulli yaumi wa dzambii zaa-idun kaifah timaali
Umurku ini setiap hari berkurang, sedang dosaku selalu bertambah, bagaimana aku menanggungnya.
Ilaahii ‘abdukal ‘aashii ataaka muqirran bidzdzunuubi wa qad da’aaka. Wahai, Tuhanku ! Hamba Mu yang berbuat dosa telah datang kepada Mu dengan mengakui segala dosa, dan telah memohon kepada Mu.
Fa in taghfir fa anta lidzaaka ahlun wa in tathrud faman narjuu siwaaka
Maka jika engkau mengampuni, maka Engkaulah yang berhak mengampuni. Jika Engkau menolak, kepada siapakah lagi aku mengharap selain kepada Engkau?
Betul, puisi di atas sama dengan pujian yang dikumandangkan setiap hari kamis sebelum iqomat magrib di perkampungan rumah saya. Perbedaannya hanya terletak pada bahasa, dan pulalah itu kali pertama saya tahu lirik lengkapnya, dan pertama kalinya saya tahu bahwa itu adalah sebuah puisi.
“Iku puisine Abu Nuwas, penyair Arab. Keren ya?”
“Ho’oh. Rayu-rayuan.”
“Yo jelas to. Wong doa ki sakjane ya ngono. Ngerayu disik. Abu Nuwas ki penyair genit. Kae senengane mabuk-mabuk’an. Puisine soal arak digawe aliran, jenenge Khamriyyat. Wes mabukan, homo sisan. Pas Abu Nuwas mati ki wong-wong wes mikir cah kae bakal melbu neroko. Ternyata bengine ulama podo mimpi ketemu Abu Nuwas ning surgo. Petentang-petenteng, cengengesan. Terus ulama podo takon kok Abu Nuwas iso melbu surgo ki piye ceritane? Terus Abu Nuwas jawab nek sak durunge mati, dia nulis puisi ning ngisore bantal. Yo kui mau puisine. Sak wise kae, puisine Abu Nuwas diwaca wong-wong sak bare salat. Penyair ki keren leh berdoa. Iso ngerayu Tuhan sampe luluh.”
Cerita itu satu dari sekian yang saya pahami tentang doa. Bahwa doa tak melulu sama, itu-itu saja. Itu-itu terus, membosankan, dan lebih banyak orang tak tahu isi dari doa mereka. Satu waktu ketika masih SMP, saya baca majalah bekas yang dipakai ibu sebagai bungkus cabe dan sayur-sayuran lain.
Saya baca satu artikel di sana yang memuat tentang tokoh islam bernama Rabi’ah al-Adawiyah, nama yang barangkali sebagian besar dari pembaca sudah tahu. Nama itu pernah diulas dalam rubrik islami ketika ramadhan di sini.
Rabi’ah al-Adawiyah dikenal sebagai perempuan suci, perempuan mulia, kekasih Allah. Rabi’ah dalam bahasa Arab berarti empat karena ia adalah anak ke-4. Keluarganya tak kaya, tapi ia dibesarkan oleh keluarga yang menjunjung tinggi keimanan.
Satu hari ia menunda makan dan bertanya pada ayahnya, dari mana uang untuk membeli makanan di atas meja? Apakah makanan itu berasal dari rezeki yang halal? Ayahnya tertegun mendengar pertanyaan itu.
Maka, dijawablah bahwa rezeki yang mereka peroleh berasal dari cara yang halal. Setelah mendengar jawaban itu, Rabi’ah baru mau memakan makanannya.
Di suatu ketika ia ditangkap, dan kemudian dijual untuk menjadi budak. Di waktu malam, majikannya terbangun dan melihat cahaya berpendar dari kamar Rabi’ah. Kala itulah Rabi’ah sedang berdoa pada Tuhan.
Hal yang tak pernah saya lupakan dari kisah Rabi’ah adalah isi dari puisi yang ia gunakan sebagai doa, yang dikutip pada artikel yang saya baca kala itu.
“Tuhan, jika aku berdoa padamu lantaran ingin dimasukkan surga, maka tendanglah aku dari surga. Jika aku berdoa lantaran takut masuk neraka, maka masukkan saja aku ke neraka, tapi doaku semata karena aku mencintaiMu.” Kurang lebih itu yang masih saya ingat.
Dua puisi di atas bagi saya indah sekali. Rayu-rayuan yang jika ditulis saat ini mungkin akan terdengar klise, tapi di masanya, doa di atas adalah yang paling indah, yang menggetarkan hati banyak orang.
Kalau kalian bangun di malam hari dan lantas merayu Tuhan dengan cara demikian, saya kira besar kemungkinan kalian akan terbawa oleh suasana haru dan bersimpuh menangis.
Mengapa kita saat ini tak berdoa dengan cara yang sama? Bukan dengan kalimat yang sama, tapi cara dan rasa yang sama. Bahasa yang indah, yang kita tangkap dari dalam diri sendiri, yang mewakili keinginginan pribadi…dan tentu masing-masing orang tak akan sama. Bukankah Tuhan itu universal?
Kita saja yang menyukai template.
Ada hal lain yang berubah dari cara orang berdoa. Kita mengenal Abu Nuwas lewat puisinya yang kita jadikan syiir, Jalaludin Rumi, bahkan puisi Rabi’ah. Doa mereka laiknya puisi, disusun dengan indah, yang membuat pembaca tersentuh.
Apa yang membuat orang tersentuh? Bukan semata karena keindahan, tapi karena mereka paham, dan mampu meresapi makna dari kalimat-kalimat itu.
Tapi bisa jadi kata memang hanya satu dari sekian perantara sebagaimana doa juga bukan template yang harus semua sama. Di Indonesia, kita kenal Qiro’ah, pembacaan al-Qur’an dengan melagukannya.
Almarhumah ibu saya dulu sering diminta Qiro’ah ketika ada saudara, kerabat, atau tetangga sedang mantenan. Sebagian kita, saya yakin, tak paham arti dari ayat yang dibacakan, bahkan beberapa mungkin justru tak tahu surat apa itu.
Tapi bunyi-bunyian itu indah, dan hati beberapa dari kita bergetar saat mendengarnya. Dan saya kira, itu pun bentuk lain dari doa. Kadang-kadang, kita perlu tahu bahwa doa tak mesti berisi harapan. Sebagian berisi rindu yang jika kita mengucap nama-Nya saja, akan membuat hati kita bergetar.