Menikah itu baik, tapi porsinya tak bisa menggantikan ibadah sebagai kewajiban. Menikah itu baik, tapi tak semua pernikahan mendatangkan kebaikan. Menikah itu…
Menikah barangkali masih, dan akan terus, menjadi isu yang hangat diributkan. Baik oleh millenial maupun generasi setelahnya. Menikah itu memang baik, karena konon Nabi pernah bilang bahwa menikah itu penyempurna setengah agama. Meski sahih atau tidaknya hadis tersebut menjadi perdebatan di kalangan ulama.
Menikah menyelamatkan umat dari berbuat zina. Itu betul. Manusia memang terlahir dengan hawa nafsu, salah satunya adalah nafsu syahwat. Nafsu syahwat manusia kadang tak dapat dikendalikan, untuk itu harus diwadahi. Di situlah mengapa dikatakan bahwa menikah menyelamatkan umat dari perbuatan zina.
Nabsky, menikah itu baik, tapi tidak menikah bukan berarti tak baik. Menikah banyak dibilang sebagai sunah, yang artinya jika dilakukan akan mendapat pahala, namun jika pun tidak dilakukan, tidak menjadi dosa.
Meski begitu, K.H Husein, di dalam bukunya, Para Ulama dan Intelektual yang Memilih Menjomblo, menulis bahwa banyak Ulama lebih suka menyebut nikah sebagai mustahab (disukai), beberapa lain menyebut nadb atau mandup (dianjurkan).
“perkara-perkara mubah yang paling disukai Allah adalah nikah.”
Dari kutipan hadis di atas, kita tahu bahwa menikah termasuk salah satu yang mubah, yang artinya (pilihan yang) diperbolehkan, atau lebih ke dianjurkan. Artinya tidak ada konsekuensi negatif ketika itu tidak dilakukan.
Glorifikasi mengenai pernikahan adalah setengah dari agama menimbulkan dampak yang kadang tak sehat, yaitu menstigmakan kebalikannya sebagai bid’ah. Seringkali mereka yang telah menikah memaksa orang yang tak atau belum menikah untuk segera menikah.
Seolah ada kewajiban bagi mereka yang sudah menikah untuk menyadarkan kawannya yang belum menikah untuk mensegerakan pernikahan. Seperti bagaimana orang barat yang dengan penuh percaya diri mendaku sebagai patron untuk orang timur yang dianggap terbelakang, sebagai client yang harus dibimbing, diarahkan ke jalur yang benar.
Orang yang belum menikah lebih sering diperlakukan menyerupai orang-orang tersesat yang harus dan wajib dipaksa keluar dari kejombloannya. Apakah tidak menikah adalah kesesatan? Apakah tidak menikah adalah bid’ah?
Tekanan untuk segera dan segera menikah lebih banyak didapat oleh kawan-kawan perempuan. Teman-teman yang sudah menginjak usia 20, karena konon ada hukum tersendiri bagi perempuan untuk segera menikah sebelum usia 25.
Tak ada yang tahu dari mana hukum itu berasal. Tapi susah pasti, mereka yang menjomblo di atas usia 25 diserang dengan label ‘perawan tua’. Menggemaskan, bukan?
Jika tidak menikah adalah kesesatan, maka Rabi’ah al Adawiyah, perempuan suci yang dikenal dengan sebutan kekasih Allah, pastilah sudah menikah. Khadijah bin Suhnun, anak dari hakim agung yang seringkali dimintai pendapat untuk memutuskan perkara sulit di jaman dahulu, juga pasti telah menikah.
Pengetahuan agama yang dimiliki oleh mereka sungguh tak bisa disepelekan dengan label bid’ah hanya karena memutuskan untuk tak menikah.
Sama halnya dengan generasi saat ini yang tak atau belum menikah sampai dengan usia 25. Mereka bukan kumpulan orang tersesat yang butuh segera dicarikan jodoh, atau digupuhi untuk segera menyebar undangan.
Seringkali saya temui teman di usia yang sudah melewati batas 25 masih rajin belajar di organisasi, memberikan bantuan advokasi untuk teman-teman yang memiliki masalah hukum.
Ada juga yang rajin wara-wiri mengisi diskusi-diskusi, membagi ilmunya. Ada pula yang masih tekun menuntut ilmu dan menulis. Mungkin masih belum bisa jika disandingkan dengan kontribusi pemikir atau intelektual besar di jaman dahulu, tapi saya kira yang mereka lakukan adalah cara lain dalam beribadah.
Menyempurnakan agama dengan tindakan lain. Menolong umat, bukan hanya dirinya sendiri. Orang-orang di atas tentu tak bisa diperlakukan layaknya orang tersesat karena mereka sungguh tahu apa yang sedang dilakukan.
Menikah, dalam hadis yang saya kutip di atas disebut sebagai perkara mubah. Dalam hadis di atas, kata ‘perkara’ disebut dengan ahabbu, yang maknanya adalah lebih patut/baik dalam kehidupan. Ini berarti pernikahan adalah urusan duniawi, bukan perkara akhirat.
Jika ditilik lagi dari awal, pernikahan mewadahi urusan duniawi (nafsu syahwat), sehingga menikah tak menjamin bahwa pelakunya menjadi ahli surga.
Di antara semua hal yang ada kaitannya dengan pernikahan, agama selalu ditarik menjadi alasan nomor satu. Nomor wahid. Sehingga banyak mereka yang sudah menikah merasa agamanya lebih sempurna dari mereka yang belum atau tidak. Barangkali perlu saya sebutkan bahwa menikah tak masuk dalam rukun islam, tak masuk dalam rukun iman.
Menikah itu baik, tapi tempatnya tak menggantikan ibadah sebagai kewajiban. Menikah itu baik, tapi tak semua pernikahan mendatangkan kebaikan. Meski Socrates bilang jika pun pernikahanmu tak mendatangkan kebaikan, kau bisa menjadi filsuf, tapi itu pun tak mengubah nasib tak baik itu.
Tokoh pewayangan, Bisma, tak menikah untuk menghindari perang besar dan pertumpahan darah di masa depan. Ia menghentikan adanya perebutan tahta di antara anak-cucunya kelak.
Jika di antara banyak perkara dunia, menikah adalah yang paling disukai Tuhan. Saya yakin bahwa kedamaian dunia pun disukai pula oleh Tuhan.
Untuk itu Tuhan mengijinkan hambanya memilih dengan menempatkannya sebagai perkara pilihan.