Setiap 22 Oktober, negeri ini kembali menyebut satu kata yang lahir dari kesederhanaan tapi menyimpan sejarah besar, santri.
Di televisi, di baliho, di media sosial —semuanya ikut merayakan. Tapi kadang saya tersenyum getir, santri dirayakan dengan seremonial yang megah, sementara pesantrennya masih sering diframing buruk oleh berita yang tergesa-gesa.
Ironi memang, di satu sisi santri dipuji sebagai penjaga moral bangsa, di sisi lain pesantrennya sering dituduh sebagai tempat kolot, ketinggalan, atau bahkan “rawan radikalisme.”
Padahal, kalau saja mereka mau singgah sebentar, melihat bagaimana santri menata sandal, mencuci piring, dan bergantian membaca kitab, mereka akan tahu bahwa pesantren bukan tempat pelarian — tapi tempat penempaan.
Ada masa ketika santri hanya dikenal lewat sarung dan peci, tapi hari ini, mereka juga memegang laptop dan buku teori sosial. Mereka bukan hanya ahli doa, tapi juga penulis, peneliti, desainer, programmer, dan aktivis sosial.
Namun, label “santri” seringkali masih ditempatkan dalam kotak sempit — seolah hanya cocok di masjid, bukan di ruang publik.
Media kerap menyukai yang heboh, bukan yang hikmah. Satu kesalahan kecil di satu pesantren bisa menutupi ribuan kebaikan yang tak pernah masuk berita. Dan masyarakat—dengan jempol yang tak sabar—cepat menghakimi tanpa bertanya.
Padahal, kehidupan pesantren adalah cermin kecil dari wajah bangsa: sederhana tapi jujur, miskin fasilitas tapi kaya makna. Di saat sebagian orang sibuk mencari validasi dari komentar netizen, santri belajar validasi dari ketenangan hatinya sendiri.
Mereka tidak butuh panggung, cukup keyakinan bahwa ilmunya bermanfaat dan doanya didengar. Kesederhanaan itu mungkin terlihat kuno bagi sebagian orang, tapi justru di sanalah letak kemodernan sejati—keikhlasan tanpa pamrih.
Di tengah derasnya arus digital, pesantren memang tampak gagap teknologi. Tapi jangan salah, gagap bukan berarti tertinggal.
Santri generasi baru mulai menulis blog, membuat kanal dakwah, dan belajar coding di sela menghafal kitab kuning. Mereka menulis opini, tapi tetap tak meninggalkan adab. Sementara banyak yang berdebat soal moral di internet, santri memilih memperbaiki moralnya sendiri di ruang sunyi.
Saya sering berpikir, mungkin Tuhan memang sengaja menyembunyikan sebagian kemuliaan pesantren dari kamera. Karena keikhlasan memang tidak cocok dijadikan konten.
Di dunia yang sibuk menampilkan diri, santri justru sibuk menghapus dirinya dalam doa. Mereka tahu, yang sejati tidak butuh disorot — cukup diterangi dari dalam.
Maka Hari Santri tahun ini seharusnya bukan sekadar perayaan, tapi juga refleksi nasional:
Apakah kita sudah adil melihat pesantren? Apakah kita sudah menghargai ilmu yang tumbuh dalam kesunyian mereka? Apakah kita sadar bahwa di tengah gemerlap dunia digital, masih ada anak-anak muda yang memilih bangun pukul tiga dini hari untuk membaca kitab kuning, bukan feed Instagram?
Kiai saya pernah berkata,
“Santri itu bukan orang yang paling tahu, tapi orang yang paling mau belajar.”
Dan mungkin di situlah letak keindahan pesantren: ia tidak menuntut kesempurnaan, tapi melatih ketulusan. Ia tidak sibuk menjawab setiap tuduhan, karena yakin, waktu dan akhlak akan menjelaskan semuanya.
Jadi biarlah framing buruk itu datang dan pergi seperti angin sore. Santri akan tetap menyalakan pelita di dalam dirinya — pelita yang tak padam oleh isu, karena cahayanya bersumber dari ilmu dan pengabdian.
Hari Santri bukan hanya tentang nostalgia sejarah resolusi jihad, tapi tentang menjaga warisan kesabaran di zaman yang gaduh. Ketika orang sibuk membuktikan dirinya di layar, santri sibuk membuktikan dirinya di hadapan Tuhan. Dan dalam kesunyian doa-doa mereka, bangsa ini sesungguhnya masih punya harapan.








