Musim kemarau tak menghalangi Kabupaten Bojonegoro untuk tetap produktif. Terlebih pada hasil pertanian. Satu di antaranya adalah produk tembakau. Produksi tembakau Bojonegoro patut dibanggakan.
Melansir Bisnis.com, seluruh produksi tanaman tembakau Bojonegoro terserap oleh pabrik. Itu terjadi pada 2018 lalu. Produksi tembakau seluas 8.624 hektare terjual dengan harga yang memadai. Termasuk daun pucuk yang biasanya tidak laku dijual.
Kala itu, PT Gudang Garam membeli tembakau sebanyak 1.500 ton. Selain itu, masih ada pabrikan lain yang membeli tembakau Bojonegoro. Antara lain PT Djarum Kudus, PT Bentoel dan PT Sadhana Arifnusa. Terdapat pula pabrikan yang bermitra dengan petani untuk menanam tembakau jenis Virgina RAM.
Melansir Tempo.co, tembakau Bojonegoro jenis Virginia banyak diekspor. Salah satunya Negara Republik Dominika pada Februari 2018 lalu. Nilai ekspornya mencapai 464.310 US Dollar atau sekitar 6,5 miliar rupiah. Itu untuk sekali pengiriman dalam kapasitas 217,8 ton. Angka yang sangat menakjubkan bukan?
Tembakau Bojonegoro tersebut sebagai bahan baku pembuatan cerutu. Tembakau asal Bojonegoro disukai perokok kawasan benua Amerika Utara. Tentu ini merupakan kebanggaan warga Bojonegoro.
“Ya, tembakau dari sini (Bojonegoro) disukai warga Dominika,” ujar PJS Kepala Dinas Perdagangan Kabupaten Bojonegoro, Agus Hariyana.
Dari total luas lahan pertanian tembakau di Bojonegoro, tembakau jenis Virginia tersebut seluas 3.500 hektare. Sedangkan lokasi penyebaran tembakau di Bojonegoro berpencar-pencar. Seperti di Kecamatan Tambakrejo, Ngraho, Ngambon, Sukosewu, Kepohbaru, Sumberejo, Kanor dan sebagian di Kedungadem.
Kondisi seperti ini, jelas menguntungkan bagi perusahaan produk tembakau. Karena itu, harus ada Coorporate Social Responsibility (CSR), bagi masyarakat dan lingkungan. Mulai dari infrastruktur hingga pendidikan.
Seorang budayawan dan kartunis, Prie GS mengungkapkan hal tersebut. Melansir dari akun instagramnya, dia menulis bahwa rokok bukan hanya persoalan kesehatan. Rokok juga persoalan kebudayaan.
“Rokok pada awalnya bukanlah persoalan kesehatan. Rokok, terutama kretek, adalah persoalan kebudayaan. Sebagai persoalan budaya, ia tak bisa disederhanakan hanya lewat satu sudut pandang,” ditulis pada caption unggahan akun instagram Prie GS pada Selasa (10/9/2019) lalu.
Dalam bidang infrastrukur, seperti halnya yang ada di Demak. Deretan pohon trembesi meneduhkan kawasan pantura hingga ke wilayah Kudus. Keberadaan pohon tersebut juga berdampak terhadap kondisi sungai di sana. Pembangunan tersebut adalah bentuk CSR dari perusahaan rokok.
“Siapa pihak biang keteduhan ini? Perusahaan rokok: Djarum. Maka penting membuat anjuran: perusahaan farmasi semestinya tak boleh kalah. Di setiap kegersangan mestinya harus ada jejak pabrik obat. Kecuali memang udara ini sengaja akan kita makin kotorkan, agar jumlah orang sakit makin terus bisa kita tingkatkan. Begitu juga di setiap kemeriahan event olah raga, pabrik obat harus menjadi sponsor utamanya karena ini menyangkut kesehatan. Tradisi sehat yang disponsori rokok adalah sebuah ironi ia seperti korupsi yang harus melahirkan KPK karena lembaga penegakan hukum yang ada sedang dianggap tak berdaya.”
Sebuah paragraf panjang dia tuliskan. Pada akhir paragraf, Prie GS menuliskan fokus yang selama ini menjadi polemik. Tentunya terkait produk tembakau yang dipandang sebelah mata. Jika ini terkait sebuah perusahaan, maka semua perusahaan harus memenuhi kewajiban, yakni CSR.
“Jadi ini bukan soal pembenahan infrastruktur. Ini pembenahan kultur. Ini bukan hanya soal tata ruang, tata panggung dan tata lampu. Ini soal yang lebih serius dari itu semua, ini soal rebranding. Jika kita serius mestinya soal ini cukup diatasi Dinas Pariwisata. Tetapi tidak, Djarum Foundation harus hadir di sana.”
Adanya aktivitas perusahaan harus berdampak positif terhadap sekitarnya. Bukan hanya keuntungan yang mereka bisa ambil. Masyarakat dan lingkungan sekitar harus mendapat dampaknya pula. Ini sudah menjadi kewajiban perusahaan. Lalu, untuk apa dipermasalahkan jika kewajiban tersebut dijalankan?
Malahan, masyarakat harus menuntut ke perusahaan yang tidak bertanggung jawab terhadap lingkungan. Kelestarian dan pembenahan lingkungan harus dilakukan.
Setiap masyarakat harus semakin meningkat kesejahteraannya. Terlebih masyarakat yang terlibat dengan aktivitas perusahaan. Misalnya, petani tembakau dan para buruh pabrik.