Dalam beberapa catatan sejarah, penyampaian wahyu merupakan proses transfer pesan dari Tuhan pada hamba terpilih. Namun, tulisan ini memberi gambaran lain terkait proses penyampaian Wahyu.
Ritual menjelang tidur, saban orang melakukannya dengan berbeda-beda tapi tidak satu jua; ada yang bermesraan dengan gawai, berteman malam dengan menulis, dan ada juga yang menaklukan malam bahkan menjelang talkim subuh masih ngecepres ngalor-ngidul.
Kemarin malam. Saya ngangsu kaweruh bersama Imam Besar Jurnaba, siapa lagi kalau bukan Bung Wahyu Rizkiawan. Tentu obrolannya ada yang berfaedah dan unfaedah. Tidak bisa lepas dari buku, rokok, dan kopi. Juga berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, seperti yang dilakukan Tan Malaka dalam masa pemburuan.
Di masa pandemi, walau kegiatan belajar mengajar secara daring terjadi, dan terkesan libur secara tersirat. Perubahan terjadi, dari yang sebelum pandemi gemar masuk ruang kelas walau kadang terlambat dan mendengarkan ceramah dari pengajar secara dhohir, sekarang kepekaan hati benar-benar diuji.
Karena hanya mendengarkan suara pengajar secara batin. Perlu laku khusus untuk mengasah kepekaan batin supaya bisa menangkap materi-materi yang diberikan pengajar via suara. Semacam praktik telepati; kalau dulu hanya orang-orang tertentu yang memilikinya, namun sekarang mayoritas orang bisa melakukan praktik tersebut dengan menggunakan gawai.
Apabila hal tersebut diteruskan. Pasti kurang sreg dan ngeh di sanubari. Sebab rasa kangen; baik pada calon belahan hati, pengajar, dan kawan-kawan semakin hari makin membuncah. Namun hal itu sebagai refleksi bersama akan pentingnya sebuah pertemuan tatap muka.
Saya memaknai pertemuan secara tatap muka sebagai laku ngangsu kaweruh dan mensyukuri nikmat berupa minum kopi sembari mendengarkan ucapan lawan bicara. Obrolan yang kami lakukan beragam; mulai dari buku, sastra, dan lain-lain.
Berikut review kegiatan ngangsu kaweruh secara tatap muka dengan Imam Besar Jurnaba alias Ahmud Abas alias Wahyu Rizkiawan di masa pandemi malam itu.
Malam itu, saya didapuk menjadi imam dan beliau makmum. Wah….ini rasanya berat bagi saya, mengingat saya masih proses ngangsu kaweruh lha kok ujug-ujug dikon dadi imam. Hmmm….yo abot iku, Nabs.
Jika posisi imam dan makmum berada di depan dan belakang, kali ini kami setara. Maksudnya dalam hal duduk di sebuah kursi putih yang panjang. Namun perbedaan pastinya ada di antara kita, Bung Wahyu pesan kopi susu dan saya pesan kopi hitam tanpa kupu-kupu.
Sebab di sela-sela obrolan kami, tidak ada kupu-kupu yang melintas. Adanya hewan — yang meniup api Nabi Ibrahim tapi bukan dalam rangka memadamkan, tapi berupaya untuk membesarkan api — cecek atau cicak.
Saking banyaknya obrolan, memori dalam otak merekam namun sebagian besar terlupakan dan sulit terejawantahkan dalam bentuk goresan aksara. Sebelum obrolan terjadi, saya diuji kesabaran.
Salah satu ujian bukan hanya berskala nasional maupun internasional, melainkan skala yang lebih luas, yakni kehidupan. Ujian berupa kesabaran menunggu menghiasai sebelum proses transfering knowledge malam itu.
Sebagai santri yang berkesempatan menjadi imam sehari, hal tersebut merupakan salah satu kebanggaan bagi saya apabila bisa menunaikan tugas dengan baik, tak ada jalan lain selain positif thingking sembari menunggu kedatangan guru yang rela dan ikhlas hati menjadi makmum.
Ujian kesabaran menunggu akhirnya terbalas dan senang ketika mendengar suara deru sepeda motor bebek yang ditunggangi sang guru telah tiba.
Ternyata ada sedikit drama kebahagiaan sebelum menikmati kopi dalam satu meja. Buah hati Imam Besar Jurnaba alias Ahmud Abas alias Wahyu Rizkiawan mau ikut papah muda tersebut berkelana di padang malam. Atau pengen nderek bapake ngopi.
Untungnya, Ahmud Abas berhasil menemukan trik jitu untuk mengelabui buah hatinya agar tidak ikut, karena masih musim pandemi.
Setelah memastikan bisa keluar rumah, baru deh menuju warung kopi yang berlokasi dekat dengan tugu penghargaan, karena keberhasilan mempercantik dan memperindah wajah Kabupaten Bojonegoro.
Sebelumnya, saya kecelik sebab beberapa tempat yang akan kami gunakan menikmati kopi dalam satu meja dan transfering knowledge tutup. Ucap syukur pada Tuhan sebab tempat yang dalam beberapa catatan sejarah konon menjadi awal revolusi, yaitu warung kopi, di Kota Bojonegoro, masih ada yang buka.
Proses ngangsu kaweruh terjadi dengan salah satu kriteria pemuda idola versi Bung Karno itu. Sebab presiden pertama Republik Indonesia tersebut, pernah berkata, “Aku lebih senang pemuda yang merokok dan minum kopi sambil diskusi tentang bangsa ini, daripada pemuda kutu buku yang memikirkan dirinya sendiri.” Yups, itu Imam Besar Jurnaba.
Bincang-bincang kami tidak lepas dari aksara, buku, tokoh, dan lain-lain. Tidak lupa, saya menanyakan hal-hal dasar seperti tulisan yang sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia. Obrolan juga merembet ke konsep pendidikan.
Tentang pendidikan yang memerdekakan tentunya, bukan hanya diukur dari cepatnya masa studi, kuantitatif, IQ yang tinggi, merogoh kocek yang dalam, gelar akademik yang berjibun, dan lain-lain.
Kami belajar dari sebuah komunitas yang telah menunaikan ibadah mencari ilmu secara independen. Proses transfering knowledge berjalan dengan hikmat kebijaksanaan, tanpa disadari, jam dinding pun tertawa menunjukkan pukul sembilan malam.
Sebagai warga negara yang baik, mengingat kita berada di rezim Orang Baik (Orba), seyogianya mengindahkan aturan yang berlaku. Sebelum diobrak pihak yang berwenang, kami memutuskan hijrah untuk menyempurnakan proses penyampaian ilmu, pengetahuan, pengalaman, dan wawasan dari Imam Besar Juranaba alias Wahyu. Mengapa penyampaian wahyu? Karena yang menyampaikan bernama Wahyu, wq,wq,wq…
Sebagai Imam, bentuk tanggung jawab (kecil) yaitu ngayomi tur ngopeni makmum. Tidak lupa saya berinisiatf membayari ongkos ngopi dalam proses pembelajaran yang belum sepenuhnya usai. Tapi perlu Nabsky ketahui, Imam Besar Jurnaba lebih sering membayari ongkos ngopi ketika bersama saya, hehehe. Saya hanya ingin mengoptimalkan peran saya sebagai imam di malam itu, walau sebenarnya belum maksimal.
Kemudian kita hijrah dengan menggunakan kuda untuk menaklukan dinginnya malam Kota Bojonegoro. Kuda itu terbuat dari komponen besi alias kuda besi atau akrab kita sebut sepeda motor. Hijrah menuju surga di pojok kota, mengingat tempatnya di pojok kota apabila diteruskan nggedug aliran sungai Bengawan Solo. Surga pojok kota, apalagi kalau bukan the one and only, Pohagung.
Di Pohagung, proses penyampaian wahyu bersambung. Obrolan kita, tidak lepas dari buku, rokok, dan kopi. Rumah kecil tak bernomor menjadi saksi bisu penyampaian Wahyu malam itu.
Rumah kecil di Pohagung kerap menjadi jujukan kawan-kawan. Terbuka selama saya belum tidur. Toh biasanya saya juga jarang tidur di malam hari. Biasanya kalau ada tamu, tidak lupa untuk meramu kopi, di mana resep kopi saya, didapat dari Maha Guru, siapa lagi kalau bukan My Mother.
Namun saya lakukan improvisasi agak progresif dari resep yang diberikan ibu. Tak jarang, kopi itu menemani di malam hari, dini hari, fajar menyapa, dan hingga adzan subuh menggema di udara.
Proses penyampaian Wahyu di Pohagung sudah tercatat ke-dua kalinya. Semoga berlanjut di hari-hari berikutnya. Penyampaian Wahyu ke-dua kalinya membuka cakrawala saya tentang mulianya pekerjaan di bidang tulis menulis wabilkhusus penerjemah.
Kelihatannya sepele namun tugasnya mulia bak proses penyampaian wahyu secara nyata, juga di dalamnya mengandung nilai-nilai kemanusiaan. Mungkin Nabsky, hanya fokus pada penulis ketika melihat sebuah buku, bahkan jarang sekali mata memerhatikan nama penerjemah dan laku apa yang dikerjakan penerjemah.
Kalau saya ibaratkan, pesan langit bisa sampai pada manusia pilihan dan terbaik, melalui malaikat. Sedang ilmu dan pengetahuan dari para pemikir asing, bisa kita nikmati melalui tindakan yang dilakukan penerjemah.
Mengingat Imam Besar Juranaba memiliki latar belakang pendidikan dari planet Mars dan punya pengalaman melintasi benua tanpa memindah posisi duduknya, menjadikan hamba antusias dalam menerima penyampaian Wahyu. Kontributor atau penulis di Jurnaba seperti Sidkin Ali, Intan Setyani, Bung Farid, dan lain-lain tidak lepas dari obrolan kami.
Bersama Kang Wahyu, obrolan menjalar kemana-mana, tapi kita tidak kemana-mana alias masih di Pohagung, Obrolan dari tingkat lokal menuju Negeri Beruang Merah (Rusia), Negeri Van Oranje (Belanda), Jerman, dan lain-lain.
Kita ngrasani — dalam artian mencoba untuk merasakan atau mengunduh rasa dari — berbagai penulis seperti; Cak Nun, Ulil Abshar, Goenawan Mohammad, Andrea Hirata, Johan Wolfgang Von Goethe, Karl Marx, Lenin, Tolstoy, dan sebagainya.
Juga tentang mistisisme yang masih mendarah daging di sebagian rakyat Indonesia. Proses penyebaran agama Islam di Indonesia yang tidak lepas dari peranan beragam kalangan seperti Wali Songo.
Juga sisi mistisisme dari beragam tokoh pergerakan seperti Musso, Tan Malaka, Alimin, dan sebagainya. Tradisi lisan mistis, yang tumbuh dan berkembang di Indonesia, tak bisa dihentikan begitu saja karena ada sisi positif dan negatifnya.
Di lain sisi, menunjukkan kekhasan tersendiri dalam metode berpikir orang Indonesia. Perlunya alternatif atau wacana yang logis dan mudah dimengerti, perlu di garis bawahi bukan bermaksud untuk menghilangkan budaya lama melainkan lebih kepada akulturasi, dimana kalau di rumuskan sebagai berikut; A+B = AB bukan A+B = C. Tentunya melahirkan narasi dengan harapan bisa diterima oleh bergam kalangan, wabilkhusus di Human Rights Cities (Bojonegoro).
Tidak sadar malam hampir habis namun tidak terdengar suara burung hantu yang katanya suaranya merdu. Dari kejauhan juga masih terdengar sayup-sayup suara manusia yang menandakan adanya aktivitas.
Untuk takdir penyampaian Wahyu yang ke-dua kalinya, berakhir menjelang awal hari atau dini hari. Kalimat, “Yog…, balik sek.”, dan saya jawab, “Yo Mas, ati-ati” menjadi penutup malam itu.
Itulah sedikit gambaran proses penyampaian Wahyu (Imam Besar Jurnaba) dengan penuh degup kebahagiaan. Kali ini saya tak ingin memberikan penutup, baik berupa kesimpulan maupun saran.
Sila pembaca yang budiman menyimpulkan sendiri terkait tulisan ini. Saya yang masih kurang ilmu hanya ingin mengabadikan saban momen dan mengikatnya melalui aksara. Semoga ada ibrah yang bisa diunduh.