“Apabila jiwa yang sadar-jaga terlahir dalam raga, maka persinggahan lama ini, ialah dunia, gemetar hingga ke dasar-dasarnya” (Muhammad Iqbal)
Rasa-rasanya, kutipan sajak dari intelektual kenamaan Pakistan, Muhammad Iqbal di atas, begitu meletup-letup sebagai sebuah ekspresi perasaan. Saat cinta hadir dalam jiwa, kesadaran terlahir, dan memunculkan reaksi gemetar tak terbandingkan.
Perasaan gemetar yang tidak akan terasa oleh orang yang tidak terhubung dalam frekuensi cinta yang sama. Energi letupan yang dahsyat, bagi para pencinta yang penuh kesadaran. Umatku, umatku, umatku. Repetisi penegasan yang menggambarkan perasaan, pikiran, juga kekhawatiran akan nasib umat manusia sepeninggalnya.
Perasaan cinta yang tetap-senantiasa meninggi, melahirkan rasa gundah-harap akan nasib umat sepeninggalnya. Tidak mungkin letupan cinta-gundah-khawatir-harap tersebut lahir dari perasaan biasa-biasa saja tanpa energi cinta yang dahsyat. Itulah Muhammad. Nabi penghujung dan penutup-penyampai risalah dari Tuhan kepada manusia. Semoga salam dan selawat Allah Swt limpahkan kepada beliau.
Cinta yang ekspresif dan enerjik tentu adalah buah dari perasaan yang saling berbalas. Cinta tak terbalas adalah kepedihan, keperihan, dan nestapa. Cinta tanpa balasan adalah mencintai bayang-bayang: Tak dapat diraih dan dirayakan.
Seolah-olah mencintai, nyatanya adalah pengharapan -kalau tidak dikatakan peratapan- yang kosong. Sepi. Tandus. Gersang. Dahaga pencinta bak bertemu fatamorgana.
Begitu cintanya Nabi kepada umatnya, lantas apa balasan umatnya kepada cinta beliau: Berbalas ataukah acuh? Tentu jawaban yang dicitakan adalah berbalas. Cinta besar dari Sang Nabi dibalas oleh umatnya dengan ketaatan, keistikamahan, kebesaran keinsafan mengikuti jejak-jejak, jengkal-jengkal, khutbah-khutbah, teladan-teladan, dan risalah-risalah yang digembirakan oleh beliau hingga ujung usia beliau.
Raudhah adalah taman rindu. Rindu bagi para pencinta yang bertemu dalam satu frekuensi untuk mereguk mata air dari telaga sebagai pelepas dahaga rindu serta menyerap kembali kearifan cinta Sang Nabi. Raudhah adalah surga bagi pencinta.
Bukankah tidak ada yang lebih memberikan sensasi kenikmatan dan kesenangan selain bertemu dengan seseorang yang dicintai. Rindu selalu dirindukan para pencinta sebagai perasaan yang mendorong untuk bertemu. Sensasi rindu tidak hanya saat bertemu, tetapi memendam dan merawat rindu saat tidak/belum bertemu. Hingga akhirnya bertemu. Selalu begitu.
Dan ka’bah adalah semesta kesadaran. Rindu dan cinta berpusat dalam kesadaran dengan orbit yang ditarik oleh gravitasi dengan massa yang lebih besar di pusat bernama ka’bah. Cinta dan rindu berada dalam tarikan kesadaran yang senantiasa terhubung. Cinta dan rindu tanpa koneksi dengan kesadaran adalah candu yang memabukkan dan melenakan. Tanpa energi. Tanpa selebrasi. Adanya hanyalah angan-angan. Seandainya. Aduhai. Kalau saja. Dan angan-angan kosong lain.
Ka’bah lebih dari sekadar batu yang disusun dalam bentuk geometri kubus. Ka’bah menarik atraksi jutaan manusia untuk melintas berputar di sekelilingnya. Manusia dari zaman ke zaman, dari berbagai usia dan bangsa, tertarik mengikuti gerakan dengan pola sama. Ka’bah adalah semesta kesadaran bahwa manusia memiliki kesadaran tunggal dalam bentuk transendensi ketuhanan yang tauhidik. Dengan demikian, ka’bah adalah bukan soal batu yang disusun dan diputari jutaan manusia.
Secara teknis, mengitari ka’bah adalah kemampuan mengingat dan membaca tanda/pola sembari berpayah-payah secara fisik. Masalahnya adalah kepayahan fisik dan tingkat kesadaran berbanding terbalik. Fisik makin payah, kesadaran menurun. Begitu sebaliknya.
Berpayah-payah sembari terus-senantiasa menyalakan kesadaran adalah upaya yang tidak mudah. Menuju Tuhan tidak bisa dengan tanpa berpayah dan berpeluh. Menuju Allah Swt adalah menyalakan kesadaran tauhidik dari waktu ke waktu. Detik ke detik. Atau satuan waktu yang lebih kecil lagi. Jikalau ada.
Cinta dan rindu menggebu kepada Rasul serta kesadaran tauhidik yang diupayakan dengan berpayah-payah adalah nilai ketinggian sebagai manusia. Cinta dan jiwa yang sadar jaga: Raudhah dan ka’bah.