Tak ada yang berbeda di Hari Santri tahun ini. Aktivitas kampus masih sama dengan tahun sebelumnya. Laki-laki memakai peci, baju muslim, sarung dan sandal. Sedang perempuan memakai baju muslimah, khimar dan sepatuan.
Jam kuliah juga masih sama. Tetap 45 menit per sks. Saya kira bakalan ada diskon, eh ternyata diskon besar-besaran. Kelas saya banyak liburnya! Kelas lain? Masih masuk, cuy
hahaha..
Selama tiga hari, mulai Senin hingga Rabu, seluruh civitas akademika kampus diwajibkan memakai pakaian seperti itu. Termasuk mas-mas Cleaning Service. Lucu juga sih lihat mereka bersih-bersih pakai sarung. Nek mblorot piye? Hehe
Suasana ini persis seperti pondok pesantren kebanyakan. Bedanya, ini di wilayah kampus. Ada lagi? Ada. Mbak-mbak pakai gamis yang menentramkan. Subhanalove.. Bidadari Surga lagi turun gunung. Eh maksudnya turun ke bumi. Hehe..
Keberkahan bagi kaum sarungan ialah saat bisa lihat mbak-mbak pakai gamis. Apalagi pas lewat di depan kerumunan kaum adam. Sudah bisa ditebak, kalau tidak nyletuk so sweet ya mengucap kalimat thoyibah di dalam hati.
Jangan anggap lebay. Beneran, jangan anggap lebay. Ini masalah krusial bagi para santri putra. Apalagi yang jarang lihat mbak-mbak pakai gamis. Wahh bisa bahaya. Eits, saya tidak termasuk lho ya..
Di pondok pesantren, lingkungan putra dibedakan dengan lingkungan putri dan jaraknya bisa puluhan bahkan ratusan meter. Tetapi, suasana itu tidak ada di kampus. Semua jadi satu.
Kami, kaum lelaki bisa memandang mbak-mbak gamis. Begitu pula sebaliknya. Bisa jadi hanya dengan suasana seperti ini saja, sudah bikin kita saling jatuh cinta. Yahh persoalan pakaian yang menyejukkan dan jarang kita lihat bisa jadi alasannya.
Bagi seorang santri, cinta merupakan manifestasi perasaan dari hati mendalam dan sulit untuk ditafsirkan. Cinta seorang santri bisa jadi bentuk pengorbanan besar yang tersembunyi.
Bagaimana tidak? Lha namanya juga santri; kalah rupo menang dungo, kalah duit menang wirid, kalah pangkat menang tirakat.
Tiga hal ini menjadi pegangan dasar bagi seorang santri. Jika ketiganya tidak mampu dipegang, maka bersiaplah kalah. Begitu kata teman saya, yang juga seorang santri.
Bagi santri, cinta adalah hubungan antara dia, dirinya, dan pak Yai. Sebab Pak Yai ialah restu Tuhan yang santri agungkan. Para santri bisa kapan saja menyatakan cinta. Mereka tidak takut. Akan tetapi yang mereka takutkan adalah mendengar jawabannya, plus izin dari Pak Yai.
Menarik lagi jika seorang santri sarungan mengagumi santri cadaran. Tiga perkara yang saya sebutkan sebelumnya, akan benar-benar diperjuangkan. Santri sarungan yang wajahnya pas-pasan akan menambah intensitas doanya kala bermunajat pada Tuhan. Kalah rupo menang dungo.
Santri sarungan yang bukan dari kalangan kelas menengah ke atas, mereka sudah terbiasa hidup susah. Jangan tanyakan tentang uang, karena bisa jadi di dompetnya yang tebal itu berisi kertas wirid ijazah dari Pak Yai. Kalah duit menang wirid.
Begitu pula dengan ikhtiar terakhir mereka. Bukan golongan pejabat tidak masalah, yang jelas tirakat sehari-hari makin menguat. Kalah pangkat menang tirakat.
Akan menjadi hal yang sangat unik jika benar santriwan sarungan jatuh hati dan memperjuangkan santriwati cadaran. Apakah cinta mereka hanya sebatas mata atau jauh lebih dari itu, cinta mereka mendalam dan tak bisa dijelaskan dengan kata-kata?
Atau barangkali cinta bagi mereka adalah tidak melihat kesempurnaan, melainkan melihat ketidaksempurnaan itu secara sempurna. Entahlah, yang jelas, saya berharap menjadi santri sarungan yang menaklukkan hati santri cadaran. Eh..