Dalam hidup, banyak sekali kebohongan yang seringkali kita yakini sebagai sebuah kebenaran. Selain Sego Kucing yang nggak ada kucingnya, ada juga Mie Goreng yang mbikinnya nggak pernah digoreng.
Keberadaan Sego Kucing dan Mie Goreng hanyalah bagian kecil dari sebuah bukti bahwa sesungguhnya, kita sangat mudah menelan dan meyakini sebuah kebohongan.
Kita mungkin masih ingat sebuah kebohongan tentang Megan Fox sesungguhnya adalah seorang lelaki atau Justin Bieber sesungguhnya pria berusia sangat tua beberapa tahun silam.
Meski tak banyak bukti tentang kebohongan-kebohogan tersebut, kita harus mengakui bahwa kebohongan itu sempat kita percayai. Lalu, pertanyaannya, mengapa begitu banyak kebohongan yang kita percayai meskipun sedikit sekali bukti pendukungnya?
Dalam sebuah esai, penulis spesialis otak dan perilaku manusia, David Robson menjelaskan jika otak manusia terbiasa tidak tertarik pada fakta-fakta kecil yang dinilai tidak menarik. Ini membuat kebohongan menjadi begitu gampang untuk dipercaya.
Sebuah penelitian bidang psikologi memperlihatkan bahwa begitu gampang mencipta rumor dan membuat otak orang lain percaya akan sesuatu.
Satu penjelasannya karena manusia adalah makhluk yang kikir secara mental: daripada membuang-buang energi dan waktu, otak lebih memilih percaya intuisi dibanding analisa.
Robson membikin dua buah contoh pertanyaan diantaranya; berapa banyak jenis hewan yang dibawa Musa ke bahteranya? dan Margaret Thatcher adalah presiden dari negara apa?
Sekitar 10 hingga 50% orang yang disurvei, kata Robson, gagal menyadari bahwa yang memiliki bahtera itu adalah Nuh, bukan Musa, dan Margaret Thatcher adalah perdana menteri, bukan presiden.
Menurut Robson, kondisi tersebut dikenal sebagai Ilusi Musa. Sebuah kondisi menggambarkan begitu mudahnya kita mengacuhkan detail sebuah pernyataan, karena ada hal lain yang kita nilai lebih menarik.
Robson mengatakan jika pada dasarnya, kita sudah menilai sesuatu “terasa” benar atau salah terlebih dahulu, jauh sebelum menerima atau menolak maknanya.
Peneliti dari University of South California, Eryn Newman mengatakan, meskipun kita tahu harus merunut fakta dan bukti, kita lebih suka menggunakan perasaan dalam menilai sesuatu. Ini menjadi alasan kenapa kita sangat mudah mempercayai berita bermuatan hoaks.
Berdasar sebuah penelitian, Newman menyebut bahwa reaksi dan persepsi kita terhadap sesuatu, didasarkan pada lima pernyataan dasar, yakni;
1. Apakah fakta didasarkan dari sumber yang dapat dipercaya?
2. Apakah orang lain mempercayainya?
3. Apakah cukup bukti untuk mendukungnya?
4. Apakah sesuai dengan yang selama ini saya yakini?
5. Apakah ceritanya menarik?
Namun anehnya, kata Newman, respon kita terhadap poin-poin di atas bisa saja dipengaruhi oleh detail-detail yang justru tidak penting, yang sama sekali tidak berhubungan dengan kenyataan.
Newman memberi contoh, untuk poin pertanyaan apakah orang lain mempercayainya atau tidak, dan apakah sumbernya dapat dipercaya, misalnya, kita cenderung untuk mempercayai orang yang kita kenal.
Ini membuktikan dan menunjukkan bahwa semakin banyak kita melihat orang dekat kita membicarakan suatu pernyataan, semakin kita mempercayai kebenaran pernyataan tersebut — terlepas benar ataupun salah.
“Meskipun orang-orang yang berbicara tersebut bukanlah ahli, itu tidak mempengaruhi tingkat kepercayaan kita,” kata Newman.
Ketika pernyataan tersebut kemudian disampaikan berulang-ulang, misalnya lewat internet atau program televisi, tentu menimbulkan ilusi bahwa opini tersebut populer dan lebih diterima dibanding faktanya. Dan pada akhirnya, kita akan meyakininya sebagai sebuah kebenaran.
Tak perlu jauh-jauh membayangkan kebohongan yang bersifat masif, kebohongan personal seseorang pada kita misalnya, menjadi sebuah kebenaran yang kita yakini atas dasar kita sudah punya “rasa” terhadap seseorang tersebut.
Kau mungkin ingat pada seseorang yang pernah mengatakan cinta padamu. Lalu, berselang waktu kemudian, dia meralat apa yang dikatakan kepadamu hanya karena menurutnya itu sebuah kekhilafan. Sesungguhnya, bisa jadi, itu adalah Ilusi Musa dalam bentuk verbal.