Ledre memiliki banyak kandungan metafora. Baik dari konsep cinta, semiotika, hingga historiografinya. Ledre sebagai jajanan khas tentu tak diragukan. Selama ini, belum ada nama dan istilah Ledre di kota lain, selain Kota Bojonegoro. Namun, Ledre juga patut dipelajari sebagai objek studi ilmiah dari berbagai sisi.
Mulai dari sisi filsafat kekanak-kanakan, semiotika dan komunikasi yang agak serius, hingga tarikh dan historiografi yang benar-benar serius. Mari kita telaah satu persatu.
Ledre dan Filsafat Cinta
Aroma wangi, rasa manis, dan tekstur lembut pada Ledre, memang identik debar cinta. Ada banyak alasan Ledre cocok dijadikan hadiah bagi mereka yang sedang dilanda cinta.
Kita tahu, orang jatuh cinta, bisa tiba-tiba berperangai halus dan manis. Namun, kadang juga rapuh, baperan, dan mudah terpatahkan. Nah, halus, manis dan mudah patah adalah kecenderungan tekstur hatimu Ledre.
Tentu, bukan tanpa alasan jika Ledre menjadi jajanan yang cocok untuk hadiah bagi mereka yang sedang dilanda cinta. Ada dua alasan yang mendasari itu semua.
Alasan pertama, membelikan coklat dan ice cream sudah terlampau mainstream, sedang Ledre bisa jadi pilihan sebagai jajanan klasik yang tetap elegan. Bolehlah jika dua hal itu diibaratkan mall dan museum.
Mall merupakan simbol modernitas yang mudah terasa membosankan. Sementara museum simbol permenungan nan kuno, tapi nyaman untuk berduaan belajar dan menambah ilmu pengetahuan.
Alasan kedua, seperti yang dijelaskan di awal tadi, Ledre ber-aroma khas pisang raja, terasa manis di lidah dan ber-tekstur rapuh saat dikremus. Secara hakikat, gambaran itu merefleksikan hati orang yang sedang jatuh cinta.
Cinta identik nyaman dan manis. Mudah bersyukur tapi mudah insecure. Mudah percaya tapi mudah cemas. Dan, mudah hancur lebur dan ambyar saat harapan dikremus takdir dan kenyataan.
Bentuk Ledre mirip seperti pipa paralon yang tak mudah patah. Tapi nyatanya lumer dan rapuh. Ini kan mirip kamu yang cemberut saat ketemu, tapi diam-diam menunggu. Dicuekin marah-marah, dideketin pura-pura buta. Eh ~
Nah, dengan menjadikan Ledre sebagai kado hadiah cinta, secara tak langsung, sesungguhnya menggambarkan proses memberikan hati dan rasa percaya pada sang belahan jiwa. eaaa~
Semiotika Kemerdekaan
Jika yang tadi bucin sekali, yang ini agak serius dikit. Dalam konsep semiotika (studi tentang tanda, analogi, dan metafora), Ledre bukan jajan sembarangan. Ia punya beberapa rahasia di balik “bentuk” dan “nama”nya.
Bentuk Ledre sangat unik. Ia serupa gulungan surat di zaman kerajaan. Ini tentu bukan tanpa alasan. Kalau sekadar dimakan, kan bisa dibentuk kotak atau bulat atau kayak pentol gitu aja.
Bentuk Ledre seperti surat. Secara analogi dan metafora, tentu ini bukan sesuatu yang tak disengaja. Bisa jadi, dulu Ledre jadi medium komunikasi dan bertukar pesan, untuk membangun konsolidasi dan siasat kemerdekaan.
Nama atau istilah “Ledre” juga terasa aneh dan tak biasa. Ia seperti kata yang tak lahir dari tanah Jawa. Tak ada istilah di Jawa atau Indonesia yang memiliki kemiripan dengan kata Ledre.
Terlebih, Ledre lahir di zaman perang dan penjajahan. Zaman sebelum kemerdekaan. Era ketika merdeka dan bebas dari penjajahan, masih sekadar mimpi dan angan-angan.
Ledre, bisa saja, terbentuk dari kata Le (dalam bahasa Prancis yang berarti “itu” atau “sang”). Ia merupakan definite article serupa The (bahasa Inggris), Die (bahasa Jerman), La (bahasa Spanyol), atau Al (bahasa Arab).
Sementara Dre, bisa saja berasal dari kata Dream yang berarti mimpi. Ledre, secara etimologi dan terminologi bahasa, tentu sangat logis jika diartikan sebagai sebuah impian untuk merdeka.
Ledre merupakan utopia berupa: Liberte, Egalite, Democracy, and Respublica. Ya, (L)iberte, (E)galite, (D)emocracy and (RE)spublica. Yang berarti; kebebasan, kesetaraan, partisipasi masyarakat, dan kepentingan umum.
Historiografi Kelahiran Ledre
Jika yang tadi agak utopis, yang ini sangat empiris dan penuh data. Data ini saya dapat melalui observasi dan wawancara yang saya lakukan pada 2010 silam, saat saya masih jadi mahasiswa.
Jadi, Ledre mulai dikenal khalayak ramai pada dekade 1930-an. Jajanan ini pertamakali populer sebagai produk Industri rumah tangga yang ada di kawasan Padangan, Bojonegoro.
Ledre berasal dari sebuah tempat bernama Pecinan (China Town) di Padangan. Sebuah tempat yang terletak di pinggir Bangawan Solo dan dulu didominasi warga keturunan China.
Saya sempat berjumpa dan ngobrol panjang soal sejarah Ledre bersama Ny. Seger, seorang perempuan keturunan Tionghoa yang dipercaya sebagai generasi ke-2 dari penemu jajanan Ledre. Jika pada 2010 sudah masuk generasi ke-2, saat ini mungkin sudah masuk generasi ke-3 atau ke-4.
Menurut Ny. Seger, Ledre pertama dibuat oleh ibuknya pada zaman sebelum merdeka. Dia bercerita, ibuknya lahir pada 1914. Sementara ibuknya, kata dia, mulai membuat Ledre pada usia 15 tahun.
Berarti, Ledre dibuat pertama kali pada 1929 M. Nabs, ini data penting dan empiris yang wajib diketahui!!
Ny. Seger bercerita, di zaman ibunya, Ledre dibuat dengan bahan sangat sederhana. Sebab keterbatasan bahan karena masih zaman penjajahan. Bahkan, ledre dibuat dari gaplek (singkong kering) yang dicampur tepung beras, tapi tetap menggunakan pisang sebagai bahan utamanya.
Di era pasca kemerdekaan dan mudahnya bahan bisa didapatkan, komposisi Ledre mengalami perubahan, gaplek sudah tak digunakan lagi. Sejak saat itu bahan utama Ledre hanya adonan pisang raja dan tepung beras.
Saat bertanya tentang asal-muasal nama Ledre, saya mendapati jawaban yang luar biasa unik. Ny.Seger menjawab, “Karena cara membuatnya itu pisang raja ditaruh wajan, lalu di-elet-elet diedre-edre (dipenyet, sampai berubah bentuk)”.
Jadi, dari proses dielet-elet diedre-edre (dipenyet-penyet sampai berubah bentuk) itu, lahirlah istilah Ledre. Lahirlah nama Ledre. Nama jajanan khas masyarakat Kota Bojonegoro.