Benarkah ilmu pengetahuan dan teknologi hanyalah upaya untuk menunda kepunahan?
Sepekan lalu saya menonton dua film yang berasal dari Jepang di layanan streaming berbayar. Film pertama adalah serial kuliner berjudul The Road to Restaurant List. Serial ini terdiri dari 12 episode dengan setiap episode durasinya kurang lebih 24 menit.
Tamio Suda adalah seorang karyawan perusahaan pekerja keras sekaligus senior yang sering dimintai ‘bantuan’ oleh rekan sejawatnya. Setiap akhir pekan, dimulai dari Jumat malam sepulang dari kantor hingga Sabtu malam, Suda melakukan perjalanan sendirian ke banyak tempat di pelosok negeri. Ujung dari perjalanan itu, Suda menikmati sajian hidangan di restoran-restoran terbaik dan unik.
Restoran yang dipilih oleh Suda bukanlah tempat yang gemerlap dan hingar bingar, akan tetapi restoran yang menyajikan sajian istimewa dengan catatan panjang sejarah dari pemiliknya. Restoran-restoran yang dikunjungi Suda harus masuk kategori hampir punah.
Restoran-restoran itu menjadi punah setidaknya disebabkan karena dua hal. Anak-anak tidak ada yang sanggup meracik masakan dengan kualitas rasa yang setidaknya sama dengan generaai orang tua mereka. Meskipun sang anak berniat melanjutkan bisnis orang tuanya.
Sebab lain adalah karena orang tua pemilik restoran tidak ingin membebankan masa depan restoran ke anaknya, karena setiap anak memiliki takdirnya sendiri yang tidak harus menanggung beban takdir ‘warisan’ orang tua.
Film kedua yang kutonton berjudul Japan Sinks: People of Hope. Benar, ini juga film produksi dari Negeri Sakura. Sesuai judulnya, film ini mengisahkan ancaman tenggelamnya daratan di Kawasan Kanto karena naiknya air laut. Film ini dari awal hingga akhir syarat konflik yang intens.
Aktivitas ekonomi manusia dinilai sebagi penyebab sekaligus pemacu cepatnya krisis lingkungan yang tidak dirasakan penduduk bumi beberapa abad ke belakang. Krisis iklim yang terjadi dengan naiknya suhu di bumi menjadi gejala global yang memantik upaya negara industri maju untuk meresponnya. Salah satunya adalah Jepang.
Jepang menciptakan terobosan penemuan energi baru yang bersih dan ramah lingkungan bernama Celstecs. Energi baru yang bersih dan ramah lingkungan ini menjadi tawaran Jepang kepada dunia di tengah krisis iklim.
Persoalan muncul, ketika seorang ilmuwan bernama Dr. Tadokoro mempublikasikan risetnya tentang bahaya ancaman tenggelamnya Kawasan Kanto. Ancaman tenggelamnya Kanto ini dipicu oleh naiknya suhu bumi sehingga es di Kutub mencair.
Mencairnya es menyebabkan permukaan laut naik sehingga beban tekanan yang diterima lempengan bumi di bawah laut menjadi semakin besar. Peningkatan tekanan menyebabkam pergeseran pelan tiga patahan yang berada di sepanjang pantai kawasan Pulau Izo.
Peegeseran pelan tiga lempengan bawah laut itu juga diduga dipercepat dengan adanya aktivitas pengeboran bawah laut untuk lifting energi baru bernama Celstecs yang digagas pemerintah Jepang.
Konflik menarik terjadi antara Dr Tadokoro dengan Prof Sera. Keduanya adalah ilmuwan Geofisika. Tadokoro ilmuwan nyentrik yang secara mandiri melalukan riset tentang pergeseran pelan. Prof Sera dulunya relan Tadokoro di universitas dan kini menjadi penasihat pemerintah terkait program energi baru Celstecs.
Konflik dua ilmuwan itu berakhir dengan terkonfirmasinya temuan riset Dr Todokaro. Keabsahan riset Todokaro sekaligus menjadi jalan jatuhnya karir Prof Sera karena terbukti memnipulasi data terkait pergeseran pelan lempengan bumi.
Krisis iklim kini menjadi ancaman global yang bisa menjadi sebab punahnya organisme hidup, termasuk juga manusia. Cairnya es, naiknya permukaan laut, langkanya air tanah diganti dengan intrusi air laut, tenggelnya daratan adalah tantangan masa depan manusia untuk menahan laju kepunahan. Ya, manusia memang berujung dengan kepunahan, hanya kapan waktunya.
Dua film yang kutonton, tampaknya memiliki benang merah dengan tema sama: Kepunahan. Upaya-upaya yang dilakukan manusia dengan akal budinya berupa ilmu pengetahuan dan teknologi terus-menerus dipicu oleh uapaya untuk melestarikan generasinya dan menunda kepunahan.
Lantas jika tahu akan punah, apakah manusia harus hanya bertopang dagu? Di situ menariknya. Upaya tak putus dan terus-menerus menjadi adrenalin yang menjadi degup, denyut, dan elan hidup yang tiada putus berusaha sampai saat penghakiman tiba.
Hidup adalah menunda kekalahan, seperti bait sajak Chairil Anwar dalam Derai-Derai Cemara, eh?