Dalam konsep “setiap orang guru dan tiap rumah adalah sekolah”, social distancing dan lockdown adalah pelatihan sosial sekaligus praktik mengunci mulut agar tak berkomentar sembarangan.
Di saat anak-anak sekolah harus belajar di rumah. Dan para pekerja juga harus menikmati work from home (WFH), rasa-rasanya, kalimat “setiap orang guru dan setiap rumah sekolah” sangat penting untuk kembali ditelaah.
Keberadaan wabah Covid-19, mau tidak mau harus membuat kita telaten belajar dan membaca keadaan. Tak hanya membaca berita. Tapi juga membaca hikmah dari kisah yang dialami orang lain. Membaca setiap kejadian.
Tiap narasi baru tentang Covid-19 yang — tak sengaja— terbaca retina mata, atau tiap kenaikan interval degup jantung kala melihat perubahan jumlah korban, misalnya, sudah selayaknya membuat kita merenungi banyak hal.
Social distancing adalah sebesar-besarnya momen untuk merenung. Social distancing atau jarak sosial merupakan otokritik dari konsep sosial kita yang kerap melampaui batas. Konsep sosial kita yang kerap menjajah batas privasi orang lain.
Selama ini, bisa jadi, kita sering mengurusi urusan orang lain. Mengomentari orang lain. Ikut campur — tapi tak bertanggung jawab— pada nasib orang lain. Hingga secara tak sadar, kita pakai standar diri sendiri untuk menghakimi orang lain.
Lockdown juga menjadi momen kita merenung. Sebab sesungguhnya, bukan tubuh kita yang dikarantara (karantina sementara), tapi mulut dan komentar-komentar tak bertanggung jawab kita yang sering melukai perasaan orang lain.
Di tengah berkembangnya teknologi informasi, mulut dan komentar-komentar kita berevolusi menjadi mesin penyayat hati sesama. Karena itu, sementara ini ia harus disekolahkan. Digadaikan. Agar lebih tenang sebelum berbicara.
Semua orang guru
Saat ini, setiap orang memang menjadi guru. Setidaknya guru dalam hal antisipasi virus Corona. Dan selayaknya guru, ada guru yang terlalu banyak bicara. Tidak fokus. Dan membosankan. Sebaliknya, ada pula guru yang fokus dan menentramkan hati para siswanya.
Pada siapa kita berguru, itu tergantung kenyamanan hati kita. Yang jelas, semua orang adalah guru. Pada orang yang membosankan dan banyak bicara tapi tak fokus pada solusi, kita belajar menjadi pribadi yang sebaliknya.
Sedang pada orang yang kata-katanya menentramkan dan fokus pada solusi, kita belajar darinya. Belajar agar bisa menjadi pribadi tentram sepertinya.
Pada para korban Covid-19, kita belajar tentang segala hal bisa dan mungkin terjadi. Karena itu, menjaga diri dan meningkatkan kewaspadaan diri adalah perihal yang harus dilatih dan dijalani.
Pada mereka yang masih sehat, kita belajar bagaimana mempertahankan dan menjaga kesehatan. Karena saat kita sedang sehat, kita sedang memaksimalkan potensi kesehatan orang-orang di dekat kita.
Setiap rumah sekolah
Rumah menjadi sekolah pertama yang pernah kita masuki. Tempat kita belajar berdiri, berjalan dan mengeja bermacam kata. Saat diharuskan belajar di rumah, sesungguhnya kita sedang belajar di sekolah. Sekolah pertama kita dulu.
Layaknya belajar di sekolah. Di rumah, kita tetap masih bisa mengikuti kegiatan belajar mengajar (KBM) dengan orang-orang rumah. Bahkan jika tak ada seorang pun di rumah, kita bisa belajar pada rumah itu sendiri: belajar bagaimana berteman sepi.
Saat rumah sepi. Berdiam diri di rumah. Bermalas-malasan di rumah. Bersantai dan tak bergegas keluar rumah, sesungguhnya sebuah pelajaran tentang meditasi dan yoga yang belum sempat kita lakukan.
Bahkan saat rumah banyak penghuni. Menentramkan hati di tengah keramaian rumah juga sebuah metode pembelajaran. Belajar tenang di tengah keramaian. Belajar tentram di tengah keriuhan.
Hari ini, setiap orang adalah guru; tempat mengambil dan mempelajari pengalaman. Setiap rumah adalah sekolah; tempat memeram sepi dan mencari hikmah dalam tiap kejadian.