Syekh Syamsuddin Betet merupakan penyebar islam di wilayah Kasiman Bojonegoro pada awal 1800 masehi. Beliau penghubung jejaring ulama Bojonegoro dan Lamongan.
Syekh Syamsuddin adalah ulama dzuriyah Syekh Abdul Jabbar dan Nyai Moyokerti Padangan yang lahir di Bonang (Rembang). Beliau tercatat pernah mukim dan berdakwah di beberapa tempat. Selain di Padangan dan Kasiman Bojonegoro, Syekh Syamsuddin juga berdakwah di Kedungpring Lamongan.
Tulisan ini bagian dari riset ilmiah Ekspedisi Jejak Keluarga Besar Bani Jojogan yang kami lakukan demi menauladani sisi baik para pendahulu. Baik dalam hal ubudiyah ataupun muamalah.
Nama Syekh Syamsuddin tak bisa dipisah dari jejaring ulama Padangan. Syekh Syamsuddin berafiliasi dengan jejaring ulama Fiidarinnur di Klothok Padangan. Beliau berkoneksi dengan Syekh Abdurrohman Klotok Alfadangi dan Syekh Syihabuddin Betet Alfadangi.
Di saat sama, Syekh Syamsuddin juga berkiprah di Kedungpring Lamongan. Beliau berjejaring dan berkoneksi dengan Syekh Nurmaddin Kedungpring, penyebar islam di wilayah Kedungpring Lamongan. Syekh Nurmaddin adalah leluhur para masyayikh Ponpes Langitan Tuban.
Menelusuri jejak Syekh Syamsuddin bukan perkara mudah. Dalam penelusuran ini, kami dibantu Yazid Fathoni, salah satu kerabat Kedungpring, untuk menghimpun informasi dan menyusun kronik histori. Kolaborasi antar dzuriyah ini, untuk merekonstruksi jejak Syekh Syamsuddin sesuai data di masing-masing manuskrip.
Selain manuskrip Padangan, kami juga mengakses manuskrip Kedungpring dan manuskrip Soko. Ketiga manuskrip membahas pergerakan dzuriyah Syekh Abdul Jabbar dan Bu Nyai Moyokerti Padangan (jejaring ulama yang menghubungkan Padangan, Tuban, dan Lamongan pada abad 17 sampai 20).
Manuskrip Soko termasuk baru. Ditulis pada 1990. Manuskrip Kedungpring dan manuskrip Padangan ditulis ratusan tahun sebelumnya. Meski ada perbedaan akibat periode kepenulisan, ketiga manuskrip mendedar pergerakan dzuriyah Mbah Jabbar yang berada di Padangan, Rembang, Tuban, hingga Lamongan.
Jejak di Kedungpring Lamongan
Syekh Syamsuddin ulama yang menjalani Lelono Broto (perjalanan intelektual) di beberapa tempat. Di sejumlah riwayat, mengatakan jika beliau ulama jawara yang sering mencari lawan tanding (dialektika) ke berbagai daerah. Ini alasan kenapa nama, peninggalan, hingga dzuriyah beliau juga berada di sejumlah tempat.
Beliau mengawali rihlah (perjalanan) dari Rembang menuju Gresik. Sesampainya di Kedungpring Lamongan, perjalanannya terhenti. Ia bertamu pada seorang kiai bernama Kiai Kedungpring (Syekh Nurmaddin Kedungpring).
Syekh Nurmaddin menerima kedatangan Syekh Syamsuddin dengan baik. Terjadi dialektika serupa ayah dan anaknya. Bahkan, di akhir cerita, Syekh Nurmaddin meminta Syekh Syamsuddin untuk berdakwah di Kedungpring.
Beliau meminta Syekh Syamsuddin menetap dan menjadikannya menantu. Syekh Nurmaddin menikahkan Syekh Syamsuddin dengan salah satu putrinya yang bernama Nyai Mursinah. Sejak saat itu, Syekh Syamsuddin mukim dan berdakwah di Kedungpring Lamongan.
Syekh Nurmaddin Kedungpring memiliki 6 anak. Diantaranya: Nyai Muthmainnah, Kiai Maruf, Nyai Mursinah, Nyai Thoyybah, Nyai Thohiroh, dan Nyai Kasminah. Syekh Syamsuddin menikah dengan putri ke-3 dari Syekh Nurmaddin yang bernama Nyai Mursinah.
Dalam manuskrip Kedungpring, disebut bahwa Syekh Nurmaddin adalah leluhur para pengasuh Ponpes Langitan. Syekh Nurmaddin adalah kakek buyut dari KH Abdul Hadi Zahid dan KH Ahmad Marzuqi. Syekh Nurmaddin juga kakek canggah dari KH Abdullah Faqih.
Urutan nasabnya: KH Abdul Zahid dan KH Ahmad Marzuqi bin Alimah binti Nyai Kasminah binti Syekh Nurmaddin Kedungpring. KH Abdullah Faqih bin Kiai Rofi’i bin Nyai Alimah binti Nyai Kasminah binti Syekh Nurmadin Kedungpring.
Syekh Syamsuddin suami dari Nyai Mursinah. Artinya, Syekh Syamsuddin adalah kakak ipar dari Nyai Kasminah, yang tak lain adalah nenek buyut dari para pengasuh Ponpes Langitan. Dengan demikian, Syekh Syamsuddin masih memiliki hubungan keluarga dengan para pengasuh Ponpes Langitan.
Setelah jadi menantu Syekh Nurmaddin, Syekh Syamsuddin diminta menetap dan berdakwah di Kedungpring Lamongan. Bersama sang mertua, Syekh Syamsuddin menyebarkan islam di wilayah Kedungpring dan sekitarnya.
Pernikahan Syekh Syamsuddin dengan Nyai Mursinah dikaruniai seorang anak. Sayangnya, rumah tangga Syekh Syamsuddin dengan istri tak bertahan lama. Ada ketidakcocokan antara Syekh Syamsuddin dengan Syekh Nurmaddin. Perselisihan menantu dan mertua itu, dipicu perbedaan aqidah ilahiah.
Syekh Syamsuddin diketahui nggembol (membawa) thariqot Syathariyah Naqsabandiyah, sementara Syekh Nurmaddin fokus pada syariat. Ketidakcocokan yang berlarut-larut, membuat Syekh Syamsuddin merasa tidak enak pada sang mertua.
Karena sama-sama keukeuh memegang aqidah, Syekh Syamsuddin akhirnya pamit dari Kedungpring. Beliau meninggalkan istri dan satu anak. Beliau pamit pada anaknya. Beliau pamit pada istrinya. Beliau pamit pada ayah mertuanya. Beliau pamit untuk kembali melanjutkan perjalanan.
Sowan ke Tlatah Padangan
Pasca gagal mempertahankan rumah tangga, Syekh Syamsuddin melanjutkan rihlah ke Padangan untuk menenangkan hati. Kala itu, Padangan masyhur dipenuhi ulama pesuluk yang memiliki kedalaman ilmu syariat. Terlebih, di Padangan terdapat seorang ulama yang masih kerabat beliau, Syekh Abdurrohman Alfadangi (Mbah Abdurrohman Klothok).
Mbah Abdurrohman ulama yang berthariqat dan memiliki kedalaman ilmu syariat. Untuk menentramkan hati, Syekh Syamsuddin sowan dan mondok pada Mbah Abdurrohman di Klothok Padangan. Secara usia maupun posisi genealogi keluarga, Mbah Abdurrohman lebih sepuh dari Syekh Syamsuddin.
Syekh Syamsuddin dan Mbah Abdurrohman masih terhubung sebagai misanan (ponakan). Keduanya sama-sama dzuriyah Syekh Abdul Jabbar dan Nyai Moyokerti Padangan. Mbah Abdurrohman turun dari putra Mbah Jabbar yang bernama Kiai Anom. Mbah Syamsuddin turun dari putri Mbah Jabbar yang bernama Nyai Dalem.
Syekh Syamsuddin mendapat banyak nasehat dari Mbah Abdurrohman. Setelah beberapa saat mondok dan menentramkan hati di Klothok Padangan, Mbah Abdurrohman mengutus Syekh Syamsuddin untuk kembali berdakwah di Desa Betet Kasiman, sambil tetap berjejaring di Klothok Padangan.
Sebelum berdakwah di Betet Kasiman, Mbah Abdurrohman mengutus Syekh Syamsuddin untuk terlebih dulu sowan pada Mbah Syihabuddin. Mbah Syihabuddin adalah suami Nyai Betet (adik kandung Mbah Abdurrohman).
Serupa Mbah Abdurrohman Klothok, Mbah Syihabuddin adalah ulama Sohibul Wilayah yang kelak menurunkan Kiai Abdul Latif, Nyai Jono Tuban, Nyai Wajirah, Kiai Abdullah Padangan, Kiai Murtadho Kuncen, Kiai Tohir Betet, hingga Kiai Syahid Kembangan.
Perjumpaan Syekh Syamsuddin dan Syekh Syihabuddin
Sesuai titah Mbah Abdurrohman, Syekh Syamsuddin bergegas menemui Mbah Syihabuddin untuk sowan. Seperti Mbah Abdurrohman, Mbah Syihabuddin sosok ulama yang lengkap. Berpegang thariqat dan memiliki kedalaman syariat.
Di hadapan Mbah Syihabuddin, Syekh Syamsuddin benar-benar taslim (menyerah) pada ketinggian ilmu Mbah Syihabuddin. Beliau mendapat banyak wejangan dan nasehat dari Mbah Syihabuddin. Bahkan, beliau juga mendapat salah satu putri dari Mbah Syihabuddin.
Syekh Syamsuddin diangkat mantu Mbah Syihabuddin. Syekh Syamsuddin dinikahkan dengan putri Mbah Syihabuddin yang bernama Nyai Wajirah. Tak hanya itu, Mbah Syihabuddin juga membangunkan sebuah musola dan pondok untuk menantunya itu, agar digunakan untuk berdakwah.
Syekh Syamsuddin mulai berdakwah dengan mengajar ngaji di musola pemberian sang mertua. Beliau kembali menyebarkan islam di Desa Betet Kecamatan Kasiman. Dari kiprah itu, kelak Syekh Syamsuddin dikenal sebagai Aulia Sohibul Wilayah Kasiman.
Dari pernikahannya dengan putri Mbah Syihabuddin (Nyai Wajirah), Syekh Syamsuddin memiliki beberapa anak. Dalam manuskrip Padangan, disebut diantaranya: Abdul Muid, Nyai Abdul Qodir, Hasan Munawar, Nyai Suhada, Yasin, Dakri, dan Muntaha. Sementara Manuskrip Soko menambah nama Zakaria Rengel dan Sahid Betet sebagai putra Syekh Syamsuddin.
Dari keluarga Syekh Syamsuddin, kelak melahirkan banyak ulama. Salah satu putri Syekh Syamsuddin yang bernama Nyai Abdul Qodir, kelak dinikah Kiai Abdul Qodir dan menurunkan Syekh Ahmad Basyir Pethak (muasis Ponpes Pethak), hingga Syekh Sulaiman Kurdi Makkah.
Secara umum, genealogi tergambar sebagai berikut: Syekh Syamsuddin Betet anak mantu Mbah Syihabuddin. Mbah Syihabuddin adik ipar Mbah Abdurrohman Klothok. Jejaring ulama Fiidarinnur (dzuriyah Mbah Jabbar dan Nyai Moyokerti), mayoritas lahir dari genealogi ini.
Nasab dan Sanad Ilmu Syekh Syamsuddin
Syekh Syamsuddin diperkirakan hidup pada (1800-1890). Beliau lahir di Bonang (Rembang). Dalam Manuskrip Kedungpring dan Manuskrip Soko, disebut beliau keturunan kelima dari Syekh Abdul Jabbar Nglirip Tuban. Nasabnya: Syamsuddin bin Kiai Jumain bin Abdurrohman Bonang bin Nyai Jamilah binti Nyai Dalem binti Syekh Abdul Jabbar Nglirip.
Mbah Abdurrahman Klothok adalah keturunan ketiga dari Syekh Abdul Jabbar. Nasabnya: Mbah Abdurohman bin Kiai Syahidin bin Kiai Anom bin Syekh Abdul Jabbar. Artinya, antara Syekh Syamsuddin dan Mbah Abdurohman Klothok terpaut dua generasi. Syekh Syamsuddin dengan Mbah Abdurrahman, terpaut usia antara cucu dan kakeknya.
Selain belajar pada orang tua dan kakeknya, Syekh Syamsuddin juga berguru pada sejumlah ulama besar. Diantara guru-guru beliau adalah Syekh Abdurrohman Alfadangi, Syekh Syihabuddin Alfadangi dan Syekh Nurmaddin Kedungpring.
Jejaring Bojonegoro – Lamongan
Syekh Syamsuddin membentuk koridor dakwah yang membentang dari barat ke timur. Beliau pernah jadi mantu Syekh Nurmaddin, ulama sohibul wilayah di Kedungpring Lamongan. Beliau juga menjadi mantu dari Syekh Syihabuddin, salah satu ulama sohibul wilayah di Padangan Bojonegoro.
Mayoritas penyebar islam di wilayah Lamongan adalah keturunan Syekh Nurmaddin. Begitupun, mayoritas penyebar islam di wilayah Bojonegoro adalah keturunan Syekh Syihabuddin.
Artinya, Syekh Syamsuddin menjadi bagian dari keluarga penyebar islam yang ada di Lamongan dan Bojonegoro. Tak heran jika kelak, keturunan Syekh Syamsuddin (baik yang ada di Lamongan maupun Bojonegoro), banyak yang ikut jejak kakek moyangnya.
Dari keluarga Lamongan, Syekh Syamsuddin menurunkan satu anak bernama Nyai Mujirah. Darinya, kelak lahir banyak keturunan yang juga jadi para penyebar agama islam di wilayah Lamongan dan sekitarnya.
Dari keluarga Bojonegoro, Syekh Syamsuddin menurunkan sembilan anak. Dari sembilan anak itu, hampir semua menjadi penyebar agama islam di wilayah Padangan, Kasiman, Singgahan, hingga Rengel dan sekitarnya.