Ibrahim Datuk Sutan Malaka adalah sosok pendiri Republik Indonesia. Tapi tiap Agustusan namanya tak pernah disebut. Mungkin benar jika ia terbentur, terbentuk lalu terlupakan.
Baru saja akan melangkahkan kaki keluar rumah. Terlihat langit mulai muram. Dan meredupkan mata cerahnya. Sayang, keinginan berdiskusi panjang dengan Bung Tan Malaka di warung kopi tak terselesaikan.
Sehingga, dengan terpaksa harus berpamitan terlebih dahulu. Dan menutup dialetika siang tadi. Padahal, Bung Tan masih ingin berkisah berlembar-lembar tentang republik ini.
Kebetulan empat hari lalu, republik baru saja merayakan kemerdekaan ke 75 tahun. Namun, seperti yang sudah-sudah, tak banyak orang tahu siapa penggagas konsep negara republik untuk Indonesia.
Bahkan, semenjak dia terbunuh secara sistematis di tangan bangsanya sendiri. Bukan hanya namanya saja yang ditenggelamkan dalam buku sejarah. Namun, kematiannya pun disembunyikan selama bertahun-tahun oleh orde baru.
Karena dianggap sebagai tokoh berhalauan kiri — itu hanya anggapan lho ya— nasibnya suda ditenggelamkan. Padahal nih ya, sejarah dibentuk dari sudut pandang kiri-kanan, biar imbang. Tapi, yah, gitulah. Mangulas sejarah kadang sekadar berimajinasi saja.
Kembalai ke jalan yang benar yuk, Nabs. Ya, rerata masyarakat lebih mengenal Soekarno, Hatta, Syahrir, dan Mohammad Yamin, sosok yang diagungkan namanya hingga sekarang. Dan nama mereka tertulis di buku sejarah dalam sekolah-sekolah.
Namun, berbeda dengan Tan Malaka, mendengar namanya pun tak pernah, apalagi melihat foto wajahnya. Bahkan, sejak orde baru, Tan Malaka seakan-akan tak pernah muncul dalam permukaan.
Gagasannya dipenjara, bukunya dilarang beredar, karena konon mengandung zat beracun yang bisa meracuni stabilitas kekuasaan orde baru.
Keadaan seperti itu, tak beda jauh dengan tahun 1925, ketika Tan Malaka menulis buku Naar de Republik Indonesia (Menuju Republik Indonesia) di Canton, Cina, tiga tahun sebelum Deklarasi Sumpah Pemuda. Tan mengembara sebagai buronan. Menghabiskan tiga perempat hidupnya di penjara.
Tak mudah mencetak buku Menuju Republik Indonesia. Karena pada waktu itu, tidak banyak bangsa seperti Thionghoa pernah mendengar bahasa Belanda. Selain itu, percetakan mereka mempunyai persediaan huruf Latin sangat sedikit.
Dalam buku itu mengatakan, ketika para pejuang lainnya baru berpikir tentang persatuan. Atau paling jauh tentang kemerdekaan. Tan Malaka sudah berpikir jauh tentang Republik Indonesia, sebagai bentuk negara yang akan lahir pasca Hindia Belanda.
Dan dalam bukunya itu, Tan Malaka mengerucutkan beberapa poin. Di antaranya sistem penyelenggaraan negara, politik, ekonomi, pendidikan, sosial, bahkan militer. Karena Tan Malaka tidak menganut Trias Politika. Tetapi sebuah negara republik yang dikelola oleh organisasi. Seperti sistem organisasi Nahdlatul Ulama.
Karena itu, Muhammad Yamin menyebut Tan Malaka sebagai “Bapak Republik Indonesia”. Setara dengan George Washington yang merancang Republik Amerika Serikat sebelum negara itu merdeka. Namun, bedanya, nama George Washington dijadikan nama ibukota negaranya.
Sementara nama Tan Malaka justru nyaris dilupakan oleh sejarah bangsanya. Tan Malaka seperti apa yang kita kenal sebagai: Terbentur, Terbentuk, lalu Terlupakan.