Dalam sejarah manusia, pencarian dan perebutan tanah ladang telah dan akan menjadi sumber konflik dan peperangan di masa lalu dan masa depan.
Kemajuan sains dan turunannya berupa teknologi menghadirkan perubahan dalam tatanan dan kehidupan manusia. Angka kematian menurun seiring kelahiran bertambah.
Ekonomi mengalami perbaikan, sejalan gizi lebih memadai. Sanitasi menjadi lebih baik, kesehatan mengalami perbaikan. Haislnya: Jumlah penduduk makin bertambah.
Pertumbuhan jumlah penduduk tentu menambah jumlah konsumsi manusia. Kebutuhan akan pangan dan air tidak bisa dihapuskan. Diversifikasi dan substitusi bahan pangan terus diusahakan.
Menyusul kemudian, kebutuhan akan lahan perumahan sebagai payung agar tercapai kenyamanan dan ketenteraman dalam hidup.
Energi menjadi konsekuensi logis. Gerak mesin dan laju transportasi membutuhkan energi sebagai sumber daya utama. Konsumsi energi, fosil utamanya, terus mengalami peningkatan. Hal ini berpacu dengan fakta bahwa energi fosil bersifat tak terbarukan. Ujungnya: Suatu saat ketersediaanya akan habis.
Diversifikasi dan upaya mencari pengganti energi fosil sedang dan terus dilakukan. Satu di antaranya adalah energi berasal dari bahan nabati. Tanaman jarak, jagung, sawit, dan komoditi lain menjadi alternatif energi non-fosil. Efek turunannya adalah: alih fungsi lahan pertanian. Atau kasarnya: Lahan diperuntukkan untuk konsumsi manusia atau mesin.
Tanah pertanian atau ruang secara umum menjadi bagian penting dalam keberlangsungan hidup manusia. Bahkan dalam sejarah manusia, pencarian dan perebutan tanah telah dan akan menjadi sumber konflik dan peperangan.
Sejarah kolonialisme adalah upaya pencarian ‘tanah harapan’ untuk dijadikan sumber bahan baku penyuplai industri dan perdagangan. Keinginan mendapatkan keuntungan sebesarnya menjadi motif mengeruk kekayaan tanah jajahan.
Begitu pun politik mencari ruang (lebensraum) menjadi awal salah satu perang dunia yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia.
Kajian-kajian geopolitik menempatkan tanah (juga air dan energi) sebagai sumber potensial konflik antar manusia di masa depan. Begitulah, manusia dan segala konflik-konfliknya. Bumi manusia dengan konflik penyertanya.
** **
Daerah khatulistiwa dengan potensi dan keunggulan sumber daya tanahnya tentu menarik banyak mata. Dengan kata lain, daerah khatulistiwa telah dan terus menjadi tujuan pandang daerah-daerah lain.
Thomas Stamford Raffles dalam magnum opus-nya The History of Java menyebut tanah jawa adalah tanah yang subur dan sangat bagus untuk pertanian. Tanah-tanah pertanian itu sebagian besar dimanfaatkan dan dikelola untuk lahan pertanian dengan baik.
Tanah yang subur terbukti dari hasil panen tanaman dan buah-buahan yang melimpah. Tanah yang subur dan panen yang melimpah harusnya menjadi garansi kemakmuran dan kesejahteraan petani. Kebijakan pemerintah yang despotik dan perampokan orang asing disebut Raffles sebagai sebab petani tetap tak beranjak taraf hidupnya.
Raffles juga memberikan gambaran menarik. “Karena kondisi tanahnya yang subur dan hanya membutuhkan sedikit usaha untuk memghasilkan panen yang melimpah, maka petani di Jawa tidak berusaha lebih keras untuk meningkatkan taraf hidupnya.”
Gambaran Raffles di atas menjadi ironi sekaligus masalah yang melingkup para petani. Tanah Khatulistiwa yang subur menawarkan ‘surga’ dan kemakmuran. Namun surga itu belum menetes.
Masalah struktural berkait kebijakan maupun tata kelola logistik pertanian menjadi persoalan yang terus dihadapi petani. Selain pula pola soal kultural perihal cara pandang atau mind-set.
Dua masalah di atas belum ditambah masalah baru bernama perubahan iklim. Sebulan ini aku punya kegiatan setiap akhir pekan jalan-jalan di area persawahan untuk sekadar bertukar sapa dengan para petani atau untuk melihat kondisi sawah keluarga kami. Dari obrolanku, masalah perubahan iklim ini nyata dan faktual.
“Jadi petani ini ya harapanya kondisi cuaca mendukung. Kalau menanam tembakau gini asal panas dan tidak hujan, insyaallah hasilnya menggembirakan,” ungkap salah petani yang menggambarkan kondisi secara umum.
Cuaca yang tidak menentu; panas dan hujan yang dalam sehari bisa berbagi peran menjadi persoalan yang dihadapi petani dengan sikap pasrah alias qanaah. “Lha kalau sudah cuaca gak menentu ya kami cuma pasrah. Manut saja sama yang memberi rizki.”
Masalah pertanian yang kompleks, ancaman konflik di masa depan, dan perubahan iklim bukanlah alasan buat petani untuk tidak pergi ke sawah.
“Ya ini yang dipunya. Apapun hasilnya ya tetap ditanami. Hasilnya disyukuri. Lagian kalau gak ke sawah mau diam saja di rumah?” Argumen itu menjadi energi para petani.
Pagi-pagi sekali para petani sudah pergi ke sawah, nanti menyusul sambil membawa bekal makan, istri petani menyusul membantu di sawah. Matahari meninggi pulang ke rumah dilanjut siang hingga sore hari ‘nyambut’ di sawah. Potret lebih dari sekadar kerja keras.
Sebagi penutup, cerita ini layak dibagikan. Pekan lalu, sepasang petani tengah berbahagia. Sebab, putri sulungnya diterima masuk salah satu PTN lewat jalur tulis SBMPTN di prodi Teknik Perminyakan.
Cerita seperti ini nampaknya tidak sedikit. Mulai bertambah jumlahnya, petani yang menjadikan pendidikan anak sebagai bagian dari rencana masa depan. Terima kasih, petani. Meski banyak masalah yang kalian hadapi, karena kerja kerasmu, kami masih bisa makan hari ini.