Badai ini akan terus merebak, jika iman dan pikiran kita ikut terjerembap. Karena itu, waktu senggang ini untuk instropeksi diri sejenak dan tetap optimis jika badai akan berlalu.
Dunia kini tengah berjibaku melawan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), yang kian merebak tanpa memandang sekat primordial (suatu kebiasaan “buruk” yang masih membekas dalam sistem negara demokrasi, seperti halnya Indonesia).
Pada 11 Maret lalu, World Health Organization (WHO) telah mendeklarasikan wabah covid-19 sebagai pandemi. Hingga 13 Maret, virus corona telah menyebar ke-136 negara, dengan 142.000 kasus infeksi dan 5.300 lebih kematian.
Dan pada 23 Maret, data yang dikumpulkan Johns Hopkins University menunjukan, total jumlah kasus covid-19 diseluruh dunia telah mencapai 331.273 kasus, dengan 14.450 kematian, dan 97.847 pasien dinyatakan sembuh.
Italia merupakan negara di luar Tiongkok yang paling terpukul pagebluk corona. Hingga Selasa (24/03), sudah mencapai 67.176 orang positif covid-19 dan 6.820 diantaranya meningal dunia.
Dalam benak, tak pernah kita menduga, jika akan diperhadapkan dengan situasi krusial sebagaimana saat ini dialami oleh seluruh elemen masyarakat global.
Dalam tempo singkat, selepas musibah ini melanda negeri Tirai Bambu lalu merambat ke negeri Spaghetti, sekejab jiwa dan raga kita terbungkam, dihantui oleh badai mematikan (covid-19).
#Waspada dan #lawan menjadi alternatif untuk menghindari infeksi.
Khususnya di Indonesia, walau semula elite pemerintahan sempat menganggap enteng pandemi ini, kini melongo melihat kasus covid-19 yang kian hari kian meningkat sejak diumumkan 02 Maret lalu.
Data dari Kemenkes yang di-update pada 24 Maret menunjukan, sebanyak 686 jiwa dinyatakan positif, 30 jiwa sembuh, dan 55 jiwa dinyatakan meninggal dunia.
Namun, pada Rabu (25/03) grafik malah meningkat drastis dengan rasio 790 jiwa positif, 31 jiwa sembuh, dan 58 meninggal dunia. Dengan melihat perkembangan ini, bulu kuduk makin berketar-ketar.
Tak bisa dipungkiri, jika lembayung senyum yang merona tiada batas di hari-hari sebelumnya harus terpasung tanpa menitip pesan walau terselubung seuntai kesan yang belum terucap. Semoga akan tersampaaikan bila mentari mulai tampak di ufuk Timur.
Ini suatu keniscayaan yang patut diterima dengan lapang dada tanpa bertekuk lutut. Walau dalam rentetan waktu, muncul perdebatan di media sosial oleh kalangan awam terkait pandemi virus corona.
Ada yang berasumsi jika misteri ini bentuk dari perang dagang antara China dan U.S.A melalui senjata biologis, dan Indonesia mendapatkan getah pahit.
Di lain pihak (termasuk saya), mengatakan ini strategi yang dibuat pemerintah menutupi pro-kontra pengesahan omnibus law. Pokoknya, isu yang berhembus sedari awal dianggap konspiratif oleh segelintir pihak — istilahnya, membonceng fenomena global.
Akan tetapi, informasi yang bersifat konspirasi tak bisa divonis (benar) begitu saja, jika belum ada unsur validitas. Oleh sebab itu, demi mengantisipasi penularan covid-19, pagi hingga malam, tanpa lelah pemerintah terus menghimbau kepada seluruh masyarakat agar menghindar dari keramaian.
Hal ini merupakan bentuk dari pembatasan sosial (Social Distancing) sebagai langkah persuasif yang ditempuh pemerintah untuk pengendalian virus corona.
Yah, meski hati akan membisu dalam kata rindu, terpercik naluri oleh rasa yang tak seharusnya. Katakan pada alam untuk membunuh rindu, hingga terserpih tak kian bergemuruh.
“Didalam proses untuk mengubah sebuah budaya itu soal waktu, perlahan saya yakin sebagian besar pasti tahu Social Distancing” Achmad Yurianto.
Berpacu pada ungkapan yang disampaikan Achmad Yurianto selaku Juru Bicara Pemerintah RI untuk Covid-19, jelas sangat inheren ketimbang melakukan lockdown yang bakal memiliki dampak besar pada sektor ekonomi.
Maka dari itu, tak bisa kita mengimplikasi strategi yang digunakan oleh Italia, China, serta Malaysia dengan menerapkan lockdown. Indonesia adalah negara berkembang.
Jika strategi (lockdown) ini digunakan, maka selepas musibah ini berakhir, kita akan butuh waktu bertahun-tahun untuk menstabilkan laju perekonomian.
Akan tetapi, toh kalau opsi lockdown terpaksa diambil maka pemerintah harus menyiapkan insentif khusus untuk sektor informal.
Terlihat selama ini skemanya kurang komprehensif karena terbatas pada industri pengolahan, padahal banyak sektor lain terdampak, misalnya perdagangan dan jasa. Lockdown akan mengunci mobilitas atau distribusi barang dan jasa yang otomatis akan memperburuk perekonomian.
Walaupun demikian, kini WHO telah resmi menggantikan frasa “social distancing” menjadi “physical distancing (pembatasan fisik)”. Alasan penggunaan frasa ini adalah, untuk mengklarifikasi bahwa ada perintah untuk berdiam diri di rumah.
Namun bukan berarti kita memutus kontak dengan siapapun secara sosial. Dengan penggunaan frasa physical distancing, diharap imbauan yang dikeluarkan WHO lebih jelas, yakni menjaga jarak fisik untuk memastikan penyakit tidak menyebar (Kompas.com, 24/03/2020).
Terlepas dari hal ini, asalkan pemerintah tak boleh menerapkan sistem lockdown. Dan kita akan terus memantau sejauh mana dampak ketika physical distancing diterapakan.
Apakah akan membawa berkat atau malah kekhawatiran yang terus berkecamuk? Namun yang menjadi point penting adalah, sebagai masyarakat awam kita mesti bersinergi bersama pemerintah dengan mematuhi berbagai kebijakan yang dan imbauan yang dikeluarkan dengan tujuan, untuk membinasakan wabah mematikan ini. Tak bisa kita “kepala batu”.
Introspeksi Diri
Di era modern ini, semula ada optimisme yang luar biasa dengan banyak harapan yang melambung tinggi bahwa kehidupan manusia akan berkembang semakin lama semakin baik daripada sebelumnya.
Ada harapan bahwa jika alam semesta menjadi nakal dan urakan, bumi diacak-acak, terjadi bencana yang mengacaukan dunia dan membahayakan kehidupan manusia, maka itu sungguh adalah suatu takdir ketidak-kekalan materi, bukan karena ulah manusia (Jhony Kaunang ; 2020).
Apa yang tampak pada wajah dunia masa kini? Tentu saja, kelihatan adanya rona kegalauan namun gejolak hatinya masih terpendam.
Banyak orang memilih berada di dalam rumah untuk menghindari peluang tertular pandemi ini. Akibatnya, jalanan, gedung, dan ruang publik jadi sepi. Jika biasanya di setiap ruang muka Bumi jutaan orang berkerumun dan bergerak, kini seluruh aktivitas itu surut, melambat, nyaris berhenti. Bumi yang selama ini sibuk seolah istirahat dari keramaian (Purnawan Andra, 2020. Jeda; Kompas).
So, bagaimana dengan wajah Indonesia masa kini? Sebagaimana yang dikatakan Johny Kaunang dalam sebuah artikel yang berjudul “Dunia dan Kemanusiaan”, di situ Ia mengatakan, “keburukan yang sedang mendunia, sebagaimana yang telah diuraikan di atas, sedang berlangsung di Indonesia dan telah menjangkau pelosok-pelosok terpencil.
Mengapa, oh mengapa Indonesia ku? Apa karena umat manusianya sama seperti umat manusia pada umumnya? Yang membiarkan otak saja yang menguasai dan mengatur semua gerak dalam tubuh sehingga hanya dapat berperilaku seperti “kera bernyanyi menepuk dada kosongnya dengan bangga” ; bernyanyi dengan nyanyian tanpa nada, melodi dan dinamika, tanpa alasan, dan tanpa arah”.
Badai ini akan terus merebak, jika iman dan pikiran kita ikut terjerembap. Strategi (physical distancing) yang diaplikasikan pemerintah tentu akan berjalan efektif jika kita mampu mengendalikan diri.
Di samping itupun, tanpa disengaja, serasa kita dituntut berbenah diri atau mengintrospeksi diri di waktu physical distancing. Walau di satu sisi, ada kerinduan karena jarak, akan tetapi patut ditaati karena ini kebijakan atau instruksi.
Mengutip salah satu status yang diposting seorang Pastor di akun facebooknya, ia mengatakan “di dalam kesunyian ini kita akan menemukan makna cinta yang sebenarnya bahwa harus ada kurban dari setiap kita, mengekang egoisme dunia, sejenak rehat dari cita-cita dunia fana, lalu mengarahkannya pada cita-cita Dunia kerajaan Allah”.
Jangan katakan sepi, jangan katakan rindu, karena Tuhan selalu bersama kita. Kita hanya dalam situasi sunyi untuk melihat Dia yang bertakhta dalam hati. Oleh karena itu, manfaatkan waktu senggang ini untuk menginstropeksi diri sejenak dan tetap optimis jika badai (pandemi covid-19) akan berlalu.
Bapthista Mario Y. Sara, mahasiswa Fakultas Peternakan Undana, Aktivis PMKRI Kupang NTT.