Di zaman modern, semula ada optimisme yang luar biasa dengan banyak harapan yang melambung tinggi jikalau kehidupan manusia akan berkembang semakin lama semakin lebih baik daripada sebelumnya.
Demikian besar optimisme itu, sehingga ketika paham modernisme, atau rasionalisme modern yang materialistik mulai diperkenalkan dan berproses sehingga meruntuhkan sistem monarki absolut dan meminggirkan teologi gereja Katolik di Eropa.
Kaum modernist dengan gagah berani, penuh percaya diri, mencenangkan bahwa zaman itu adalah zaman pencerahan atau zaman “renaissance”, atau zaman “aufklarung”.
Sejak itupun, ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) modern, mulai ditujukan untuk meningkatkan kecekatan manusia dalam menghasilkan sesuatu yang dikatakan bermanfaat secara nyata karena terhitung dan terukur, tumbuh dengan subur. Ini mengubah ruang dan waktu menjadi “tidak bermakna dan tidak berjarak”.
Walaupun secara fisik berada dalam tempat dan waktu yang berbeda, tetapi bisa ada bersamaan dalam sebuah rapat. Ini akibat dari kemajuan globalisasi. Dan hal inilah yang patut dipahami oleh generasi milenial sebelum berpikir dan bertindak dalam era post-modern.
Saya menganjurkan generasi milenial, sebelum “bertolak lebih dalam” atau melangkah kedepan, minimal teori yang dikemukakan Marx terkait Materialisme, Diakletika, dan Historis (MDH) harus dikuasai secara matang. Ke-tiga poin ini minimal sebagai acuan untuk kita berpikir kritis dan adaptif di era 4.0 dan menyambut Indonesia emas di 2030 mendatang.
Dengan menguasai MDH, saya yakin kaum milenialis memiliki pandangan dan metode berfikir yang jernih. Dengan itu berarti mempunyai pedoman yang tepat untuk mengambil sikap dan bertindak yang tepat, memiliki pandangan yang jauh kedepan, mempunyai sikap yang teguh dan konsekuen, tidak mudah digoyahkan oleh keadaan atau oleh gejala-gejala yang dihadapi dalam era digital.
Pemikir globalisasi seperti Anthonny Giddens, Ronald Robertson, dan David Harvey berpendapat bahwa, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi di era globalisasi telah dan sedang mengakibatkan perubahan revolusioner terhadap pola interaksi dan komunikasi manusia, yaitu komunikasi digital. Jika tidak cepat tanggap dan terlibat, maka kita bisa ketinggalan kereta kemajuan zaman.
Nah, yang patut diketahui oleh milenialis bahwasannya, di era digital tersedia pelbagai ancaman bagi generasi saat ini. Salah satunya, adalah terkikisnya fondasi karakter bangsa yang baik dan cerdas. Hal ini terjadi dikarenakan, era 4.0 menyediakan alternatif komunikasi gaya baru, yaitu melalui media sosial.
Merebaknya digitalisasi dalam dunia pendidikan, metode pembelajaran pun sudah beralih dari face to face menjadi e-learning. E-school News (2009) mencatat bahwa beberapa perusahaan teknologi seperti Verizon, Dell, Apple dan Microsoft mendukung pendanaan e-learning, dimana dunia pendidikan pun harus ikut beralih ke era digital. Literasi digital dapat dijadikan salah satu sarana membentuk karakter anak bangsa melalui tradisi membaca di dunia maya.
Literasi digital merupakan sebuah hal baru yang perlu ditradisikan agar anak bangsa mencintai membaca, mampu memilih informasi tepat, dan membangun informasi yang bersifat membangun. Menurut Ronald Robertson, dunia saat ini mengalami “pepadatan” (world compression). Ini menghubungkan individu-individu yang tidak berada dalam satu wilayah yang sama, untuk melakukan hal yang sama dalam pola interaksi.
Sedangkan Harvey menekankan “pepadatan waktu dan ruang”, (time-space compression), bahwa waktu dan ruang yang berbeda dapat diatur/diatur untuk berjumpa dalam kesempatan yang sama. Dalam “waktu yang diringkas” dan “tempat yang diringkus,” seharusnya lebih dipermudah untuk menjalin komunikasi digital.
Dengan berselancar di dunia maya, banyak pihak merasakan nyaman. Berbagai kemudahan itu, disatu sisi menghadirkan ruang disrupsi. Di era post-modern, di mana segala hal berubah dengan cepat, anak-anak harus dibekali dengan kemampuan literasi digital. Karena generasi era kekinian banyak bersinggungan dengan internet, maka literasi digital menjadi salah satu alternatif yang paling mungkin untuk membangun pondasi pendidikan karakter era kekinian.
Menurut McLuhan dan para pendukung teori technological determinism, teknologi adalah faktor penentu perubahan. McLuhan terkenal dengan frase “Medium is the Message”, yang memberikan pandangan bahwa alat komunikasi manusia turut berperan dalam pembentukan perilaku mereka.
Media mampu mengubah cara seseorang, berpikir, merasa, dan bertingkah laku. Di sisi lain, perkembangan media digital memberikan peluang, seperti meningkatnya peluang bisnis e-commerce, lahirnya lapangan kerja baru berbasis digital, dan pengembangan kemampuan berbasis literasi tanpa menegasikan teks berbasis cetak.
Perkembangan pesat di era post-modern khususnya dalam dunia digital adalah, munculnya ekonomi kreatif dan usaha-usaha baru guna menciptakan lapangan pekerjaan. Hal inilah yang yang menjadi peluang dan tantangan bagi bangsa ini, terutama generasi milenialnya.
Jika milenialis tak mampu bersinergi dan cakep dalam bermedia ataupun adaptif dengan digitalisasi, maka kapal besar yang bernama Indonesia bakal karam diterpa derasnya gelombang teknologi.
Saat ini generasi milenial menjadi salah satu unsur bangsa ini yang akan menentukan wajah Indonesia ke depan. Jumlah mereka setangah dari seluruh penduduk di Indonesia dan menjadi faktor penentu perubahan. Diharapkan para milenialis menjadi generasi cerdas, kreatif, dan inovatif.
CEO Office Strategic Development Tokopedia, Doni Nathaniel mengungkapkan, perkembangan dunia digital di Indonesia sejalan dengan penetrasi internet di Indonesia yang terus meningkat. Disebutkan, penetrasi internet di Indonesia merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara.
Ini artinya potensi untuk mendukung perkembangan ekonomi digital sangat besar. Oleh sebab itu, generasi milenial jangan asal keren jika belum tanggap dengan perubahan zaman.
Saya mengharapkan, kaum milenialis harus cerdas dan memiliki literasi digital yang memadai agar kemajuan teknologi dan informasi komunikasi menjadi berkah untuk mendorong kemajuan.
Di setiap kesempatan, ketika mewakili PMKRI untuk memberikan sambutan ataupun materi dalam berbagai kegiatan organisasi mahasiswa, tak luput saya menyampaikan, jika generasi muda saat ini akan menjadi salah satu modal utama untuk membangun bangsa ini kedepan, mendorong pertumbuhan ekonomi, pendidikan, kebudayaan, dan politik yang lebih demokratis.
Jangan berbangga diri ketika dicap sebagai milenialis bila kita sendiri belum mampu mengelola dunia digital dengan kreatif dan inovatif, dan juga produktif.
Apa gunanya memiliki gadget canggih dan mahal tapi tidak mampu berbuat apa-apa? Malah diperbudak oleh media sosial. Inilah yang harus kita pertanyakan pada diri kita sendiri.
Di saat kita memiliki produk-produk teknologi yang mewah, ketika status selalu update, memiliki banyak follower ; “lantas apa yang sudah saya hasilkan?”, “hal positif apa yang sudah saya sumbangkan bagi warganet?”, “dan apakah saya telah memberikan kontribusi demi kemajuan bangsa ini?” Ini yang mestinya milenialis refleksikan dan bertindak sejak dini, demi menyeimbangkan geliatnya teknologi yang merebak bagai covid-19.