Pembaca yang budiman akan menemukan kalimat yang kujadikan judul tulisan ini di sajak terakhir Pak Sapardi Djoko Damono berjudul Terbangnya Burung dalam buku Hujan Bulan Juni Sepilihan Sajak.
Idealisme, harapan, dan cita-cita berada dalam ruang yang berbeda dengan realita, fakta, dan capaian. Sementara kenyataan berada di antara dua kemungkinan sesuai atau tidak sesuai, cita-cita selalu berada dalam ruang tunggal: baik dan sesuai.
Tentu hal ini akan lain kalau menggunakan superposisi Kucing Schrodinger: benda akan berada pada dua posisi dan keadaan sekaligus sampai kejadian dan fakta diketahui.
Sebuah idealita, cita-cita, dan harapan bisa jadi usai sebelum dimulai karena ketakutan dan kekhawatiran kenyataan yang tidak memihak. Bayang-bayang kenyataan yang tidak sesuai hataoan menjadi beban yang menghambat langkah.
Baiklah, mari kita ambil contoh spesifik saja persoalan usai sebelum dimulai dalam konteks hubungan percintaan. Setidak-tidaknya semesta percintaan, khususnya masa remaja, berada dalam semesta kepantasan dan ketidakpantasan.
Coba seksamai lirik lagu Seberapa Pantas karya Sheila on 7. Betapa angkuhnya di awal-awal lagu itu. Seorang cowok/cewek meragukan kepantasan calon pasangannya.
Namun, di bagian selanjutnya menunjukkan kerapuhan dirinya sendiri yang menyatakan dirinya bergantung kepada calon pasangannya tersebut.
Kerapuhan tanpa pasangan dikalahkan oleh pikiran tentang kepantasan. Kondisi begitu menghantarkan kepada hubungan yang berujung kepada usai sebelum dimulai.
Sedihnya, sebagaimana pungkasan sajak Terbangnya Burung: Tanpa diucapkan sama sekali. Perasaan yang usai sebelum dimulai, tanpa pernah dimulai.
** **
Perkara (gagal) percintaan (quarter-life crisis?) yang dialami jomblo Kinasih dan obrolan tentang band Sheila on Seven menjadi salah dua perbincangan kami di sebuah kedai kopi. Oh iya, kami di sini adalah saya, Mas Rizky, Mas Yogi, dan Kinasih Farid. Tentu, sudah paham kan, siapa kinasih berpredikat jomblo? Woila!
Silaturahmi, perjumpaan, dan perkenalan sebagaimana disabdakan Nabi tercinta merupakan salah satu yang memperpanjang rezeki. Setidaknya perjumpaan sore tadi itu menjadi sebuah rezeki. Setidak-tidaknya rezeki menikmati secangkir kopi. “Setiap rezeki harus dirayakan dengan secangkir kopi,” kata puisi Joko Pinurbo.
Ada satu pertanyaan Mas Rizky dalam perjumpaan sore itu yang aku ragu-ragu untuk menjawab, “Apa masukan untuk Jurnaba? Apa yang kurang?”. Aku jawab lewat tulisan ini, Mas, “Kebahagiaan itu pengupayaan terus-menerus tiada henti. Kira-kira begitu Jurnaba. Mengupayakan terus-menerus kebahagiaan agar, setidak-tidaknya, Jurnaba tidak usai sebelum pembacanya mulai menerima energi kebahagiaan yang menjadi semangat Jurnaba.” Jurnaba boleh usai, sesudah kebahagiaan dirasakan semua. Kapan? Entah kapan.