Apapun yang ada di dunia ini, bila berlebihan, kurang baik. Bahkan jika itu sifat optimistis.
Saya bukan kutu buku, tapi kemudian dianggap oleh beberapa kawan sebagai orang yang tergila-tergila akan buku itu sendiri. Jujur saja ini adalah bentuk kejijikan.
Dalam hati yang paling dalam, rasanya menyesal menghadiri pertemuan mereka di warung kopi atau terlalu bodoh memilih lingkaran pertemanan yang selalu memuji orang lain.
Barangkali memang saya harus setuju dengan esai Dea Anugerah berjudul Hidup Begitu Indah dan Hanya Itu yang Kita Punya. Sekali lagi ini bukan rupa buku, entah fisik ataupun elektronik, saya bukanlah kutu buku.
Ohya, bagaimana mungkin seorang yang selalu amat-lebay-dalam-hal-mengaku-bukan-kutu-buku seperti saya, bisa meneteskan air mata, kalau bukan karena membaca.
Etapi, meneteskan air mata kan bisa karena keculek atau kelilipan sekrup motor, dong.
Jadi begini. Saya memang bukan kutu buku, tapi kutu baca atau kecoak baca atau jangkrik baca atau serangga baca atau kuman baca. Apapun, yang penting, sekali lagi, bukan kutu buku.
Esai tersebut saya akses di Tirto. Jujur saja, enam paragraf utama mampu membuat saya menitihkan air mata. Apa yang dituliskan Dea, kemudian saya bandingkan dengan hidup yang dulunya terlampaui optimis.
Pernah suatu kali berdebat dengan kawan sekelas, kebetulan kawan itu merupakan orang Madura.
Oleh saya dan beberapa kawan lain dari Jawa yang masih menjunjung tinggi primordialisme, menganggap orang Madura adalah tipikal kelewat kolot dan konservatif.
Ini bukan bermaksud mendiskreditkan, bahwa pernah suatu kali, saya mendiskusikan persoal mengapa pulau Madura tak bisa seperti kebanyakan wilayah yang berada di pulau Jawa dengan masyarakat urban dan kemajuan perekonomiannya.
Tanya kawan itu pada saya “Mengapa Madura tak maju?”. Dengan santai, saya menjawab “Ya, karena mereka cenderung kolot tak bersikap inklusif terhadap kemajuan” ia mengiyakan.
Namun, selepas terlontar solusi dari mulut kumal saya, yang mengatakan bahwa satu-satunya solusi adalah mendorong investasi masuk. Sontak ia menanggapi “tidak bisa” katanya dengan alasan mampu mengikis budaya lokal.
Salahnya saya, tetap kekeh pada pendirian hingga suara pelan yang keluar, perlahan menjadi keras, arogan dan membentuk sekat polarisasi.
Selang beberapa bulan dari perdebatan tersebut, kesepian dan kesunyian menjadi teman akrab. Menjadi canggung kalau mau menghubungi kawan dari Madura untuk mengajak nongkrong meski perencanaan titik bahasan bukan lagi membahas tertinggalnya suatu wilayah.
Merasa bahwa diri ini berada pada fase fatalisme suicide Durkheim. Nabs, ingin hati merealisasikan, tapi balik lagi ini adalah Indonesia bukan Jepang yang kemudian akan dianggap wajar perilaku bunuh diri untuk menjauhkan dari beban kehidupan.
Selepas kejadian itu, kemana-kemana menjadi sendiri, karena teramat sadar bahwa saya mengutamakan ego dan bagi kebanyakan orang tak mampu menerimanya.
Tentu itu kesalahan fatal, kepingin rasanya mengulang sedari awal menapakan kaki di Madura, merancang kembali bak mau menulis yakni membuat kerangka lelaku. Tapi nyatanya itu sudah kelewat.
Disini, optimistis menjadi alasan fundamental mengacaukan segala cita menjadi pribadi dengan tingkat sosialisasi paling tinggi.
Sekarang, rasanya hampir mustahil kala bertemu dengan kawan lalu mendiskusikan keadaan sosial dewasa ini, kalaupun ada waktu, bahasan yang menjadi perbincangan mutlak tak lebih hanya nostalgia masa-masa SMA dan keinginan di masa depan.