Hadirnya warung kopi (warkop), baik di desa maupun kota, selain menggeliatkan tumbuh suburnya sektor ekonomi, ternyata menjadi ruang produktif bersosialisasi. Bahkan jadi ruang untuk belajar mengenal dan menghayati kekhasan orang lain.
Kok bisa?
Saya, panjenengan, yang terbiasa marung (istilah Jawa bagi orang yang suka ke warung) tentu merasakan betul bagaimana sosialisasi antar sesama terbangun dari warkop. Itu karena, yang dibicarakan campur-campur. Mulai dari hal-hal yang penting dan yang tidak. Bahkan terkadang disertai gibah pula.
Sekadar bertukar kabar antar teman menjadi gayeng manakala dilakukan di warkop. Apalagi, bila kemudian ditambah suguhan kopi, tanpa terasa membuat kerasan obrolan awet semakin lama dilakukan.
Sisi kekerasanan itu oleh sebab, kita melenturkan pikiran. Karenanya, manakala di warkop, pikiran berat seperti ditinggalkan sesaat untuk dikendorkan menjadi lebih, bahkan los rileksnya.
Selain itu, warkop juga menjadi medium sosial untuk saling memotivasi. Contoh kecil saja. Manakala saya tidak ada ide menulis, saya terbiasa janjian dengan teman yang punya kesamaan hobi “menulis” hingga kemudian ide tersebut muncul serta terlahir karya tulis baru.
Apa yang saya sampaikan di atas memang nyata adanya. Bahkan teman saya ini berkelakar, “Manakala pak Usman diam, sambil ketak-ketik notes di gadget, biasanya karya tulis terbaru akan lahir dan terselesaikan,” ungkapnya.
Kelakar teman saya ini bukan prediksi yang tanpa bukti. Melainkan nyata hasilnya. Wujudnya, tulisan yang sekarang panjenengan baca ini, adalah hasil dari bertemu dengan teman se hobi di warkop Bojonegoro sambil nyeruput kopi.
Itu karena, sosialisasi yang saya bangun di warkop bukanlah formal. Atau karena hajat tertentu saja. Tetapi, lebih alamiah sebagai kegiatan tentatif yang bernilai positif tur luwes dalam obrolan.
Sosialisasi Ilmu
Di warkop pula, berbagi pengalaman keilmuan juga bisa didapatakan. Sebagai contoh, saya sering memperoleh pengetahuan lintas disiplin dan baru dari teman yang lebih secara keilmuan hasil mengobrol di warkop.
Keilmuan lintas disiplin tersebut menjadi pengkayaan diri untuk kemudian saya resapi dan ternyata masih banyak pengetahuan yang belum saya miliki. Sampai tahap inilah, terlintas untuk semangat belajar kembali, baik dengan membaca teks yang tercetak di kertas hingga berselencar via online.
Jika demikian, warkop menjadi medium berbagi keilmuan antar sesama. Bahkan bila apa yang disampaikan kurang hingga tidak bisa dipahami, tanpa sungkan-sungkan, saya bisa ditanyakan kejelasannya. Bisa pula turut serta urun rembug, yakni saya ikut memberi jawaban terhadap suatu pengetahuan dari obrolan yang sedang dilakukan.
Aspek berikutnya, warkop juga menjadi medium sosial untuk bersenang-senang (fun). Sebagai contoh, saling mengenal permainan game. Dari yang asalnya tidak bisa memainkan hingga kemudian bisa dan mahir. Bahkan terkadang, berlanjut melalui ruang kolaboratif dalam permainan via online yang jamak ditemui.
Akhirnya, keberadaan warkop menjadi medium sosial entah berwujud sekadar menikmati kesenangan, hingga pada aspek sosialisasi keilmuan dan keterampilan. Pada dua hal terakhir inilah, saya melihat perlu ditingkatkan agar kebermanfaatannya menjadi nyata bagi pribadi yang ngopi dan yang diajak ngopi. Maturnuwun.
*Penulis adalah Dosen Prodi PAI Fakultas Tarbiyah Unugiri Bojonegoro.