Writing tresna jalaran seka kulina, writing mulya jalaran wani rekasa. Mencintai proses nulis, berawal dari kebiasaan. Merasakan nikmatnya nulis, kudu wani susah terlebih dulu.
Tentu saja paragraf di atas diadopsi dari adagium populer: witing tresna jalaran seka kulina, witing mulya jalaran wani rekasa, yang artinya: cinta berawal dari kebiasaan; kemuliaan didapat dari berani susah-payah dulu.
Proses kreatif sejumlah penulis besar, selalu melalui perihal yang mungkin kurang mengenakan. Penulis besar, mengawali proses menulis dengan laku tirakat yang cukup berat dan tak pernah sambat. Lha wong sambatnya ditulis. Jadi tetap aja nulis. Wqwq.
Menulis adalah laku tirakat yang dilakukan secara istiqomah. Ada unsur tirakat terhadap godaan yang membuatnya kehilangan fokus. Ada unsur puasa. Pause. Jeda — terhadap apapun yang membuatnya kehilangan fokus menulis.
Leo Tolstoy, misalnya, penulis besar Rusia itu memiliki lelaku bangun pagi. Atau menulis bakda subuh, lalu menyunting naskah di sisa hari. Jack Kerouack beda lagi. Dia bangun siang, lalu menulis dari siang hingga subuh. Sementara Franz Kafka, memiliki pekerjaan tetap, dia memaksakan diri nulis di malam harinya.
Knut Hamsun, penulis besar Norwegia peraih Nobel sastra pada 1920 itu, sebagian besar karyanya datang pada malam hari. Ketika tidur selama beberapa jam, kemudian dia terbangun. Di dekat tempat tidurnya, dia selalu menyediakan kertas dan pensil.
Dan saat ada sesuatu mengalir dalam benaknya, dia langsung menulis. Padahal, Mbah Hamsun kala itu tak menggunakan lampu (ya iyalah lha wong dia hidup di awal abad 20). Tak pelak ia mampu menulis novel Hunger, yang berkisah tentang tirakat penulis yang tak pernah mudah.
John Steinbeck, peraih Nobel sastra pada 1962 yang karyanya amat spektakuler itu, membuat “jurnal komitmen” sebagai alat disiplin diri. Sebuah jurnal yang dia tulisi setiap hari, selama jangka waktu tertentu, dan tak boleh bolong meski hanya sehari.
Mbah Steinbeck memperlakukan jurnal serupa puasa. Nulis jurnal gak boleh bolong wqwq. Ada ungkapan menarik dari sosok penulis Dataran Tortilla ini. Begini bunyinya: Dalam menulis, kebiasaan tampaknya menjadi kekuatan yang jauh lebih kuat daripada kemauan atau inspirasi.
Haruki Murakami, penulis Jepang yang berulangkali jadi nominator Nobel sastra itu, tiap pagi nulis empat hingga enam jam. Saat nulis novel, sosok yang di Indonesia punya banyak fans (Harukis) itu, bangun pukul 4 pagi.
Mbah Haruki juga jogging sejauh 10 km atau berenang sejauh 1500 meter. Sisa waktunya dia gunakan untuk baca buku. Kemudian dia tidur pukul 9 malam. Dia melakukan itu secara rutin. Yang unik dari Haruki, proses nulis dan berolahraga, bisa berjalan sejajar.
Orhan Pamuk, novelis kontemporer terkece seantero jagat asal Turki, yang meraih Nobel Sastra pada 2006 itu, setiap hari menghabiskan rata-rata sepuluh jam dalam hidupnya untuk menulis. Ya, sepuluh jam.
Terlebih, bagi Mbah Pamuk, menulis adalah komitmen untuk menyendiri di sebuah ruangan. Sebab baginya, keramaian membunuh imajinasi. Dia butuh nyerinya sepi untuk membangun imajinasi bekerja. Nyerinya-sepi-membangun-imajinasi. Hmm ~
Semua penulis di atas, tentu mengawali karir menulis dengan membiasakan diri. Menempa diri dan memaksa tubuh untuk selalu istiqomah melawan bosan. Tak ada yang tiba-tiba betah nulis berjam-jam. Semua dimulai dari membiasakan.
Tirakat dan istiqomah jadi benang merah lahirnya karya besar. Benar jika tak ada keramat tanpa tirakat. Tak ada karomah tanpa istiqomah. Penulis keramat pasti suka tirakat. Tentu, tirakat sesuai keyakinan masing-masing. Tapi jelas esensi-nya tirakat.
Para penulis pasti punya laku tirakat. Tak mungkin seseorang bisa berkarya secara istiqomah tanpa tirakat. Harus ada yang “ditahan” demi menghasilkan sesuatu. Harus ada ruang sunyi kepompong sebelum lahir kupu-kupu.
Merasakan nikmatnya nulis seperti mengalami jatuh cinta. Butuh kebiasaan. Butuh terbiasa. Butuh kuat diabaikan dulu, butuh kuat berendam dalam cemas rindu. Sebab kita tahu, witing tresna jalaran seka kulina.
Writing tresna jalaran seka kulina, writing mulya jalaran wani rekasa. Mencintai proses nulis, berawal dari kebiasaan. Merasakan nikmatnya nulis, kudu wani susah terlebih dulu.