Dijadikannya buku sebagai barang bebas bea masuk dan pajak, memantik harapan akan menurunnya harga buku impor. Lalu, akankah buku impor bakal mudah diakses di Indonesia?
Kebijakan baru Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DBJC) Kementerian Keuangan memberi kabar baik bagi para pemburu buku impor. Sebab, buku menjadi barang yang bebas bea masuk dan pajak. Harapannya, harga buku impor kian terjangkau.
Dikutip dari detikFinance, DJBC Kementerian Keuangan telah menurunkan threshold (batasan) bea masuk dan pajak untuk barang kiriman dari luar negeri. Dari awalnya barang bebas bea masuk maksimal US$ 75 (1 juta rupiah), kini diturunkan menjadi maksimal US$ 3 (42 ribu rupiah).
Menyenangkannya, ada satu barang yang tidak berlaku pada aturan tersebut. Yakni, buku impor. Buku akan diterapkan bebas bea masuk dan pajak. Buku termasuk barang khusus dan memiliki pengecualian. Yakni tidak dipungut biaya sama sekali.
“Buku nggak kena (bea masuk dan pajak),” kata Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Heru Pambudi pada (23/12/2019), “Buku bea masuk 0. PPN bebas. PPh tidak dipungut,” tuturnya.
Sesaat setelah membaca utas tersebut, saya buru-buru memberi kabar ke sejumlah kawan. Di saat yang sama, di grup internal Pustaka Bergerak Indonesia (PBI) juga sudah ada yang membagikan kabar itu.
Chusnul Chotimmah, kawan yang paling getol beli buku-buku impor langsung merespon. Dia mengatakan jika meski kurang paham soal perpajakan, dengan tanpa adanya bea masuk dan pajak, seharusnya harga buku jadi lebih murah saat dibeli di Indonesia.
“Kalau nggak kena pajak jadi makin muraaaa…” Kata Chus.
Chus sempat mengatakan, buku-buku impor, sesungguhnya di sana harganya amat murah. Penguin Modern misalnya, harganya hanya 1 poundsterling. Kalau dirupiahkan kena Rp 17 ribu.
“Sampai di sini, dulu pertama masuk semua jualnya Rp 45 ribu,” katanya.
Buku-buku tersebut, menurut Chus, padahal ukurannya kecil dan tipis. Bayangkan, satu buku cuma satu cerpen. Tapi, harganya amat mahal. Karena itu, dengan adanya pembebasan bea masuk, dia berharap harga buku impor di Indonesia kian bisa dijangkau.
Chus mencontohkan, untuk di Surabaya misalnya, yang menjual buku-buku impor secara resmi di Periplus. Dan Periplus identik harga mahal. Karena itu, adanya kabar dari DJBC harus berdampak pada buku yang mereka jual.
Sejauh ini, para pemburu buku impor hanya mengandalkan Big Bad Wolf (BBW) sebagai ajang mencari buku impor murah. Itu pun, hanya bisa ditemui setahun sekali. Sehingga jarang bisa beli karena pas ada BBW, nggak sempat mampir.
Pemburu buku lainnya, Okky Wisnu menambahkan, keberadaan buku dari luar amat penting. Sebab, sebagai referensi untuk membikin buku-buku yang berkualitas. Menurunnya harga buku impor menandakan buku dari luar bakal mudah diakses. Tentu itu sesuatu yang bagus bagi perkembangan dunia buku di Indonesia.
“Sangat menunjang literatur. Dengan itu lebih bersemangat mendatangkan buku dari luar,” katanya.
Secara personal, saya menganggap adanya pembebasan bea masuk untuk buku impor bagus jika dieksekusi secara bagus pula. Yakni, kian giat mendatangkan buku dari luar. Terutama, buku untuk anak-anak.
Buku anak-anak, bagi saya sangat penting didatangkan dari luar. Bukan karena buku anak-anak dari dalam negeri kurang menunjang, lebih dari itu: buku impor mampu memberi referensi bagi para penulis buku anak dalam negeri untuk menulis buku anak secara berkualitas.
Anak-anak butuh buku yang menyenangkan. Dan konsep buku anak yang menyenangkan, bisa dilihat dari buku-buku anak impor. Dari sana, bisa jadi, satu masalah utama minat baca bisa teratasi. Yakni, ketertarikan anak terhadap fisik dan tampilan buku.
Seperti misalnya, buku-buku anak impor lebih sedikit kata-kata dan lebih banyak gambarnya. Sesungguhnya, itu sebuah strategi agar anak mau berdekatan dengan buku. Anak-anak, kita tahu, lebih tertarik pada gambar daripada tulisan. Hal-hal semacam itu, tentu amat penting untuk diperhatikan.