Sebuah pengandaian di siang bolong. Disaksikan burung, pohon sawo kecik, kipas angin yang tengok kanan-kiri, dan lain sebagainya. Apa jadinya kalau saya jadi kepala madrasah?
Hari demi hari berlalu. Angin musim kemarau bersama daun-daun jati yang menggugurkan daun berangsur pergi, tibalah angin yang dingin, angin di musim hujan yang penuh kerinduan. Entah itu, kerinduan kepada kawan, pasangan, keluarga, atau Sang Pencipta.
Memulai (lagi) kegiatan yang beberapa bulan telah saya tinggalkan. Menulis dari balik kaca jendela di Surga Pojok Kota. Dimana lagi kalau bukan di kabupaten yang konon sebagai lumbung pangan dan energi.
Satu cangkir kopi telah habis. Tinggal ampasnya. Mengering, dan terus mengering. Menjadi kawan dalam penulisan yang mengandai-andai ini.
Jauh hari, telah terbesit dalam fikiran untuk menulis ihwal Madrasah Alternatif Guratjaga. Ketika duduk di pangkalan ZM, sebuah ruangan kecil di bawah tangga yang bernama “Barak”, dan sebuah tempat tandon air yang menjadi memorabilia karena tempat menikmati makanan dan minuman secara sir (sembunyi-sembunyi), dan berdiskusi di tempat yang bernama Cakrawala.
Tempat-tempat tersebut merupakan tempat berpikir, berdiskusi, dan bertukar kisah. Dari kawan-kawan yang ada di Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Sudan (Afrika), Afghanistan, dan lain sebagainya.
Yang pasti, tempatnya bukan di kabupaten yang konon sebagai lumbung pangan dan energi ini. Kapan-kapan, saya akan berbagi cerita ihwal ketiga tempat tersebut; pangkalan ZM, Barak, dan Cakrawala.
Mengapa saya sebutkan tempat tersebut? Karena lahirnya tulisan ini, tidak bisa lepas dari renungan santai ketika menginjakkan kaki di tempat-tempat tersebut. Dimana, kopi, roti, dan kepulan asap rokok menjadi saksi bisu berbagai jenis aktivitas wabilkhusus dialektika ketika berada di tempat-tempat tersebut.
Andai, saya menjadi kepala Madrasah Alternatif Guratjaga. Yang pertama, saya akan menertawakan secara konstruktif, diri saya sendiri, wqwq ~
Karena ihwal belajar, saya memiliki memorabilia/kenangan yang akan teringat sampai kapanpun. Suatu ketika bersama kawan-kawan yang bergiat seni, drama, tari, dan musik (sendratasik) SUJAMA, setelah salat jum’at, saya dan kedua kawan datang terlambat di tempat belajar. Ndilalah, tidak ada yang jaga gerbang.
Hari sudah siang, kami sudah telat beberapa menit. Tanpa berpikir panjang, saya dan dua orang kawan, memilih menjadi bak cancorang (bahasa Sunda) atau belalang. Yang memiliki skill/keahlian meloncat yang bukan hanya sekadar meloncat.
Tanpa berpikir panjang, kami memilih jalan pintas tanpa gerbang. Yaitu meloncati sebuah sungai kecil, dan dalam hati saya berkata, “yess..berhasil”.
Selang beberapa jam. Terbitlah sebuah surat cinta dalam bentuk surat peringatan (SP), wqwq. Namun, kami mencoba tidak terlalu memikirkan. Saya mencoba membuat dingin suasana dan menenangkan mereka.
“Waduh…, aing (saya) baru pisan, dapat SP”, celetuk Nurjaman.
“Piye yo, Mas. Pusing, pusing, pusing aku, oleh SP. Ngko, wedi diseneni mamakku,” ujar Soeharno.
Berbekal ilmu dan pengetahuan dekonstruksi (mengubah lara menjadi bahagia) yang saya peroleh melalui proses ngangsu kaweruh dengan Mas Wahyu Rizky, saya suruh mereka (Nurjaman dan Soeharno) untuk menulis kejadian tersebut. Karena saya teringat sebuah kalimat, wriritng is healing.
Setelah itu, mereka memiliki ghirah yang lebih dalam hal berkarya. Nurjaman memiliki keahlian memerankan tokoh perempuan. Dan Soeharno, sedikit demi sedikit lebih jatuh cinta kepada dunia literasi.
Soeharno sering mengajak saya berdiskusi ihwal segala sesuatu. Dan dia, juga berani menulis karangan bebas berupa esai dan puisi, kemudian dibacakan di depan saya, maupun di depan umum.Terbukti, apa yang pernah dikatakan Imam Besar Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Insomniah wa Jurnabiyah itu benar adanya: “writing tresna jalaran seka kulina”.
Ya, ketika saya menjadi Kepala Madrasah Alternatif Guratjaga, saya akan meneruskan beberapa tradisi ngangsu kaweruh dengan bahagia, yasinan dan mendawamkan salawat, sema’an karya, diskusi daring, ziarah spiritual plus intelektual, dan beberapa hal lain yang telah ditradisikan sejak lama di Guratjaga.
Prinsip pendidikan di Madrasah Alternatif Guratjaga adalah belajar secara merdeka, dengan cara bahagia. Tentu belajar merdeka disini, bukan belajar yang beorientasi pada pasar, melainkan lebih berorientasi pada kebahagiaan. Maka dari itu, lambang Guratjaga berwarna hijau dan berbentuk lingkaran yang memiliki makna istiqomah.
Di Guratjaga, kawan-kawan bisa belajar apa saja, secara suka-suka. Belajar apapun itu, yang penting bahagia. Kawan-kawan yang menjadi bagian keluarga Madrasah Alternatif Guratjaga, akan berupaya dengan do’a dan usaha, untuk mewujudkan hal tersebut.
Ihwal kurikulum di Madrasah Alternatif Guratjaga, sebagai kepala madrasah yang santuy dan rajin ngopi, maka tercetuslah, KGBKL. Apa itu KGBKL?
KGBKL merupakan singkatan dari Kurikulum Global Berlandaskan Kearifan Lokal. Di Madrasah Alternatif Guratjaga, bisa belajar apa saja. Dari hal yang sifatnya ndakik-ndakik, hingga perkara kecil yang terkadang disepelekan atau luput dari pemikiran.
Namun, gaya belajar di Madrasah Alternatif Guratjaga tidak vulgar, model belajar secara sederhana namun elegan, klasik, dan asyik. Dan menjunjung tinggi sikap ikhlas, istiqomahitas, dan tawadhuitas.
Belajar ihwal filsafat, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, sastra, geografi, biologi, ekologi, pertanian organik, bahasa, matematika, berbagai jenis isme-isme yang ada di jagat raya, dan lain sebagainya. Wabilkhusus ihwal literasi dan advokasi pendidikan.
Karena dari lambang Guratjaga, dua pohon dan mata air mengibaratkan kedaulatan tanah (warna cokelat) dan air itu amat sangat penting. Namun tidak melupakan belajar ilmu pengetahuan dan teknologi yang lain, namun tetap mencoba untuk melestarikan lingkungan.
Mata air Guratjaga, senantiasa mengalir, memberi manfaat terhadap lingkungan sekitar, dan menjawab tantangan, arah dan tujuan masa depan.
Maka dari itu, air dan pohon posisinya di atas papan ketik komputer. Kedaulatan tanah dan air, itu berada di atas teknologi. Karena segala sesuatu yang dianggap maju dan modern, belum tentu menghadirkan kemajuan yang sesungguhnya. Dan bisa jadi, hanya sekadar utopia.
Mungkin cukup sekian, Nabs. Lamunan yang berbentuk pengandaian ini. Tulisan ini terlahir dalam rangka memenuhi tugas di Madarasah Alternatif Guratjaga. Sebelumnya, mohon maaf karena saya sering absen/tidak hadir ketika ada tugas, wqwq. Seyogianya, berpikir dua kali ketika akan menjadikan saya sebagai kepala madrasah, ahahaha.
Ada istilah, tak ada gading yang tak retak. Hampir semuanya, yang ada di dunia ini ada kekurangan. Begitupun dengan saya dan tulisan ini. Maka dari itu, saya menginginkan masukan yang konstruktif (saran, kritik, gojlokan, dsb) agar ke depan lebib baik lagi, wabilkhusus ihwal Madrasah Alternatif Guratjaga. Ingin merasakan sensasi belajar yang merdeka dan bahagia? Kelak, mainlah ke Guratjaga.