Sudah seharusnya kita lebih banyak mendengar cerita siapapun yang merasa butuh didengar, ketimbang buru-buru menanggapinya dengan ucapan menyakitkan.
Sebuah artikel berjudul “Depresi” ditulis di blog pribadi sembilan bulan lalu. Sang penulis adalah seorang mahasiswa yang tengah menempuh pendidikan pascasarjana di salah satu perguruan tinggi negeri (PTN) di Bandung.
Saya membaca tulisannya tadi pagi, dan bersimpati atas perjuangannya. Dia bercerita, depresi kerap mendera dirinya setiap saat. Sampai pada April 2018, dia datang ke psikolog untuk melakukan konseling.
Dia mengatakan sering merasa sendirian, terutama ketika depresi itu menyerang. Sempat terlintas untuk melompat dari gedung, dan melakukan apa saja untuk mengakhiri hidup. Namun niat itu lenyap setelah memikirkan orang-orang yang menyayanginya.
Singkat cerita, di akhir tulisan, dia berkomitmen untuk membantu orang-orang yang mengalami hal serupa. Terutama dari kalangan terdekat yang dia kenal.
Namun, nampaknya jalan hidup memang tak pernah bisa diduga dengan pasti. Di awal tahun 2019 ini, sang penulis tersebut ditemukan meninggal dunia, dan menurut keterengan polisi, penyebabnya adalah bunuh diri.
**
Saya merasa sulit menuliskan perkara tersebut dengan seksama. Tenaga dan energi rasanya habis begitu saja, manakala membayangkan berada di posisi penulis saat itu. Dan tak ada kata lain, selain, ia memang telah berjuang begitu keras dan semoga saat ini ia merasakan kedamaian di sisi-Nya.
Masalah depresi, kita tahu, nyaris menyerang siapa saja di dunia ini. Menurut data Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) sebagaimana dilansir Detik.com (22/6/2019), sebanyak 15,6 juta penduduk di Indonesia mengalaminya. Dan yang membuat kita sebaiknya menangis, hanya 8 persen saja yang memilih mengobatinya ke kalangan profesional.
Realitas itu menyadarkan bahwa di negeri ini, persoalan kesehatan mental menjadi urusan ke sekian dan biasa saja. Ia kalah pamor dengan pentingnya bagi-bagi jatah kursi untuk menteri dan omong kosong perseteruan politisi.
Tak hanya di situ saja, kecenderungan kita dalam merespon kesehatan mental layak dipertanyakan. Misalnya, mengapa justru sebagian dari kita lebih sering mengasosiasikan urusan kesehatan mental pada tingkat keimanan seseorang?
Dan mengapa alih-alih menyarankan untuk berobat ke kalangan profesional, dengan template yang sama, kita justru lebih gemar merespon masalah tersebut dengan mengucap “ah cuma gitu doang?”.
Setiap tahun diperkirakan 300 juta manusia mengalami depresi. Dan kita layak merasa cemas, sebab World Health Organization (WHO) memperkirakan setiap 40 detik terjadi kasus bunuh diri yang disebabkan oleh depresi.
**
Tentu saja, tidak mudah untuk mengatasi permasalahan kesehatan mental. Karena nyaris setiap hari selalu ada masalah yang muncul. Dan kita tidak pernah tahu, seberapa kompleks persoalan yang mendera itu.
Hanya saja, dari sedikit yang saya pahami, ada baiknya kita memasang telinga lebih lebar. Lebih banyak mendengarkan cerita siapapun yang merasa butuh didengar, ketimbang buru-buru menanggapinya dengan ucapan menyakitkan.
Jika mungkin saran kecil itu sulit diterapkan dengan baik, rasanya saya perlu menunjukan sesuatu. Bahwa kita ada untuk mereka adalah untuk menjadi pendengar, bukan menjadi pengkhotbah dengan kata-kata mutiara yang berbahaya. (*)