Bahasa Njipangan masyhur unik dan berbeda dengan bahasa Mataraman atau Suroboyoan.
Masyarakat Lembah Kendeng Utara yang meliputi Blora, Bojonegoro, dan Tuban Selatan berasal dari rumpun yang sama. Yaitu Nagari Jipang. Tak heran jika tiga wilayah itu memiliki gaya komunikasi khas ala masyarakat Njipangan.
Bahasa Njipangan masyhur unik dan berbeda dengan bahasa Mataraman atau Suroboyoan. Baik dari dialek, logat, ataupun pilihan katanya. Secara dialek, Bahasa Njipangan tidak halus seperti Mataraman, tapi juga tidak kasar seperti Suroboyoan. Ia khas dan berdiri sendiri.
Dalam konteks komunikasi, Bahasa Njipangan sangat berbeda dengan Mataraman atau Suroboyoan. Ada Kata Dasar, Kata Sifat, dan Akhiran Kata (sufiks) yang lahir dan tumbuh original dari wilayah Njipangan. Kata Dasar, Kata Sifat, dan Akhiran Kata ini sangat identik identitas Sufisme Jawi khas Njipangan.
Untuk Kata Dasar, kita bisa ambil contoh:
Kelan (memasak), Damoni (meniup), Lebi (tutup), Jungkat (sisir), Layakman (pantesan), Nggladrah (ceroboh), Semlende (bersandar), Njungok (duduk), Genyo (kenapa?), Mek’opo (ngapain?), Matoh (keren), Gawok (kagum), dan masih banyak lagi lainnya.
Untuk Kata Sifat “Modot” contohnya: enak (wuuuenak), adem (wuuuadem), seger (suuuweger), lesu (lauuuwesuu), wareg (wuuareg), ayu (wuuuayu), ganteng (nggiiianteng), sedep (suuuwedep), sangar (suuuwangar), ireng (wuuireng), putih (pauuutih).
Sementara untuk Kata Akhiran, contohnya: Omahem (rumahmu), bukunem (bukumu), hapenem (hapemu), mahkotanem (mahkotamu), cintanem (cintamu), gayanem (gayamu), wilayahem (wilayahmu); iyo leh (iya dong) mboyak leh (terserah dong), karek aku leh (terserah saya dong), piye leh (gimana sih?), dan masih banyak lagi lainnya.
Secara antropologis, laku hidup dan tradisi punya pengaruh besar pada pembentukan kata dan bahasa sebuah rumpun komunitas. Masyarakat Njipangan sejak lama terkenal Sufi Jawi yang mampu mengolaborasi budaya Persia dan Jawa.
Kata Sifat “Modot” hingga Sufiks “Leh” dan “Em”, adalah produk budaya Tlatah Njipangan. Budaya ini tak bisa dipisah dari tradisi Sufisme Njipangan yang dibangun Mbah Jumadil Kubro pada periode 1350 M (abad 14 M) di Tlatah Jipang.
Sufisme Njipangan merupakan proses akomodir dan filtrasi kepercayaan Hindu-Budha kedalam ajaran Islam secara damai. Melalui Sufisme Njipangan, Mbah Jumadil Kubro menancapkan tongkat dakwah di pusat peradaban Hindu-Budha, suaka para Brahmana. Ini alasan Gus Dur menyebutnya “prototype toleransi” Nusantara.
Kata Akhiran “Leh” terbentuk dari sedimentasi tasawuf “Lam” dan “Ha”. Dua huruf keramat pembentuk sifat Lillah (karena Allah) dan sikap Lileh (tawakal). Sedangkan Kata Akhiran “Em” terbentuk dari keramat huruf “Mim”. Dalam ranah tasawuf, huruf “Mim” punya semiotika spesial. Ia simbol ketundukan manusia menuju maqom “Muqorobbin”.
Sementara dalam paradigma tasawuf, kata sifat “Modot” merupakan konsep Tahadduts Bin Ni’mah: upaya menceritakan nikmat pemberian Allah kepada orang lain secara amat jelas dan gamblang. Kata sifat “Modot” ini bermuara pada firman Allah: “Wa amma bini’mati Rabbika Fahaddits”.
Kata sifat “Modot” hingga Sufiks “Leh” dan “Em”, adalah cara Para Wali Njipangan mengajak masyarakat untuk bersyahadat (bersaksi) atas kebesaran Allah, tanpa disadari. Dakwah menggunakan “Lughah” adalah cara ampuh memperkenalkan islam di tengah budaya Hindu-Budha yang waktu itu masih sangat kuat.
Secara sosio-kultur-religius, Masyarakat Njipangan ahli membumikan perkara langit sebagai perihal sosial. Ini terdeteksi sejak Mbah Jumadil Kubro membangun inkubasi Sufisme Jawi di wilayah Gunung Jali Tebon pada abad 14 M. Di tempat inilah, tradisi Siwa dan Budha Jawa di-akomodir ke dalam Sufisme Islam secara halus.
Kata “Buwoh” juga identik Sufisme Jawi Njipangan. Dalam paradigma lughah, ia terbangun dari rangka Bismillah – Hu Allah. Yang kemudian ber-metamorfosis menjadi frasa Bi-Hu-Allah. “Bihullah”. “Bullah”. Kelak, dalam Bahasa Njipangan, dikenal dengan istilah “Buwoh”. Sebuah kata yang berarti memberi karena Allah.
Kata “Kojah” dan “Buwoh” ini, mungkin sudah tersebar ke berbagai daerah. Ini sekaligus jadi bukti persebaran sanad keilmuan sejumlah Tarekat Muktabarah yang memang pernah berpusat di Tlatah Njipangan. Khususnya pada era Fiddarinur sebagai pusat pendidikan islam periode 1800 M.
 
	    	 
                







