Jurnaba
Jurnaba
No Result
View All Result
Jurnaba

Bahasa Njipangan, Gaya Komunikasi Lembah Kendeng Utara

Aska Pradipta by Aska Pradipta
28/03/2024
in JURNAKULTURA
Bahasa Njipangan, Gaya Komunikasi Lembah Kendeng Utara

Bahasa Njipangan masyhur unik dan berbeda dengan bahasa Mataraman atau Suroboyoan.

Masyarakat Lembah Kendeng Utara yang meliputi Blora, Bojonegoro, dan Tuban Selatan berasal dari rumpun yang sama. Yaitu Nagari Jipang. Tak heran jika tiga wilayah itu memiliki gaya komunikasi khas ala masyarakat Njipangan.

Bahasa Njipangan masyhur unik dan berbeda dengan bahasa Mataraman atau Suroboyoan. Baik dari dialek, logat, ataupun pilihan katanya. Secara dialek, Bahasa Njipangan tidak halus seperti Mataraman, tapi juga tidak kasar seperti Suroboyoan. Ia khas dan berdiri sendiri.

Dalam konteks komunikasi, Bahasa Njipangan sangat berbeda dengan Mataraman atau Suroboyoan. Ada Kata Dasar, Kata Sifat, dan Akhiran Kata (sufiks) yang lahir dan tumbuh original dari wilayah Njipangan. Kata Dasar, Kata Sifat, dan Akhiran Kata ini sangat identik identitas Sufisme Jawi khas Njipangan.

Untuk Kata Dasar, kita bisa ambil contoh:
Kelan (memasak), Damoni (meniup), Lebi (tutup), Jungkat (sisir), Layakman (pantesan), Nggladrah (ceroboh), Semlende (bersandar), Njungok (duduk), Genyo (kenapa?), Mek’opo (ngapain?), Matoh (keren), Gawok (kagum), dan masih banyak lagi lainnya.

Untuk Kata Sifat “Modot” contohnya: enak (wuuuenak), adem (wuuuadem), seger (suuuweger), lesu (lauuuwesuu), wareg (wuuareg), ayu (wuuuayu), ganteng (nggiiianteng), sedep (suuuwedep), sangar (suuuwangar), ireng (wuuireng), putih (pauuutih).

Sementara untuk Kata Akhiran, contohnya: Omahem (rumahmu), bukunem (bukumu), hapenem (hapemu), mahkotanem (mahkotamu), cintanem (cintamu), gayanem (gayamu), wilayahem (wilayahmu); iyo leh (iya dong) mboyak leh (terserah dong), karek aku leh (terserah saya dong), piye leh (gimana sih?), dan masih banyak lagi lainnya.

Secara antropologis, laku hidup dan tradisi punya pengaruh besar pada pembentukan kata dan bahasa sebuah rumpun komunitas. Masyarakat Njipangan sejak lama terkenal Sufi Jawi yang mampu mengolaborasi budaya Persia dan Jawa.

Kata Sifat “Modot” hingga  Sufiks “Leh” dan “Em”, adalah produk budaya Tlatah Njipangan. Budaya ini tak bisa dipisah dari tradisi Sufisme Njipangan yang dibangun Mbah Jumadil Kubro pada periode 1350 M (abad 14 M) di Tlatah Jipang.

Sufisme Njipangan merupakan proses akomodir dan filtrasi kepercayaan Hindu-Budha kedalam ajaran Islam secara damai. Melalui Sufisme Njipangan, Mbah Jumadil Kubro menancapkan tongkat dakwah di pusat peradaban Hindu-Budha, suaka para Brahmana. Ini alasan Gus Dur menyebutnya “prototype toleransi” Nusantara.

Kata Akhiran “Leh” terbentuk dari sedimentasi tasawuf “Lam” dan “Ha”. Dua huruf keramat pembentuk sifat Lillah (karena Allah) dan sikap Lileh (tawakal). Sedangkan Kata Akhiran “Em” terbentuk dari keramat huruf “Mim”. Dalam ranah tasawuf, huruf “Mim” punya semiotika spesial. Ia simbol ketundukan manusia menuju maqom “Muqorobbin”.

Sementara dalam paradigma tasawuf, kata sifat “Modot” merupakan konsep Tahadduts Bin Ni’mah: upaya menceritakan nikmat pemberian Allah kepada orang lain secara amat jelas dan gamblang. Kata sifat “Modot” ini bermuara pada firman Allah: “Wa amma bini’mati Rabbika Fahaddits”.

Kata sifat “Modot” hingga Sufiks “Leh” dan “Em”, adalah cara Para Wali Njipangan mengajak masyarakat untuk bersyahadat (bersaksi) atas kebesaran Allah, tanpa disadari. Dakwah menggunakan “Lughah” adalah cara ampuh memperkenalkan islam di tengah budaya Hindu-Budha yang waktu itu masih sangat kuat.

Secara sosio-kultur-religius, Masyarakat Njipangan ahli membumikan perkara langit sebagai perihal sosial. Ini terdeteksi sejak Mbah Jumadil Kubro membangun inkubasi Sufisme Jawi di wilayah Gunung Jali Tebon pada abad 14 M. Di tempat inilah, tradisi Siwa dan Budha Jawa di-akomodir ke dalam Sufisme Islam secara halus.

Kata “Buwoh” juga identik Sufisme Jawi Njipangan. Dalam paradigma lughah, ia terbangun dari rangka Bismillah – Hu Allah. Yang kemudian ber-metamorfosis menjadi frasa Bi-Hu-Allah. “Bihullah”. “Bullah”. Kelak, dalam Bahasa Njipangan, dikenal dengan istilah “Buwoh”. Sebuah kata yang berarti memberi karena Allah.

Kata “Kojah” dan “Buwoh” ini, mungkin sudah tersebar ke berbagai daerah. Ini sekaligus jadi bukti persebaran sanad keilmuan sejumlah Tarekat Muktabarah yang memang pernah berpusat di Tlatah Njipangan. Khususnya pada era Fiddarinur sebagai pusat pendidikan islam periode 1800 M.

Tags: Bahasa NjipanganMakin Tahu Indonesia
Previous Post

Nagari Jipang, Bumi Para Brahmana

Next Post

Jejak Empiris Suku Kalang

BERITA MENARIK LAINNYA

Feng Ying, Naskah Monolog Yang Dihidupkan Akataraksa
JURNAKULTURA

Feng Ying, Naskah Monolog Yang Dihidupkan Akataraksa

04/10/2025
Sotasrungga, Perbukitan Para Begawan
JURNAKULTURA

Sotasrungga, Perbukitan Para Begawan

03/09/2025
Wirid Wit, Tradisi Ekosufisme Padangan
JURNAKULTURA

Wirid Wit, Tradisi Ekosufisme Padangan

25/08/2025

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Anyar Nabs

Mereka yang Tak Menunggu Komando

Mereka yang Tak Menunggu Komando

31/10/2025
Pastikan Kebermanfaatan, Bupati Wahono Sidak Program Gayatri

Pastikan Kebermanfaatan, Bupati Wahono Sidak Program Gayatri

30/10/2025
Dua Resep Mencintai Diri Sendiri

Dua Resep Mencintai Diri Sendiri

29/10/2025
Peringati Hari Sumpah Pemuda, Abdulloh Umar: Momentum Bergerak dan Bersatu

Peringati Hari Sumpah Pemuda, Abdulloh Umar: Momentum Bergerak dan Bersatu

28/10/2025
  • Home
  • Tentang
  • Aturan Privasi
  • Kirim Konten
  • Kontak
No Result
View All Result
  • PERISTIWA
  • JURNAKULTURA
  • DESTINASI
  • FIGUR
  • CECURHATAN
  • MANUSKRIP
  • FIKSI AKHIR PEKAN
  • SAINSKLOPEDIA
  • JURNAKOLOGI
  • SUSTAINERGI
  • JURNABA PENERBIT

© Jurnaba.co All Rights Reserved

error: