Nagari Jipang merupakan cikal bakal wilayah Blora, Bojonegoro, dan Tuban Selatan.
Sekitar 500 tahun sebelum Arya Penangsang (1505 – 1554 M) lahir kedunia. Dan sekitar 700 tahun sebelum Belanda dan kroninya membuat dongeng Babad (Arya Penangsang vs Joko Tingkir), Nagari Jipang sudah masyhur sebagai imperium besar. Ini terbukti ilmiah dan empiris berbasis data literatur dan prasasti.
Melalui Prasasti Maribong (1248 M), Raja Wishnuwardana (Kerajaan Singashari) menetapkan Nagari Jipang sebagai tanah perdikan sima-swatantra. Tanah yang haram ditarik pajak. Wishnuwardana menganggap Nagari Jipang sebagai Bumi Brahmana, tanah yang dimuliakan sejak lama. Bahkan sejak zaman leluhur Wishnuwardana sendiri.
Pada era Majapahit (1358 M), Nagari Jipang sangat dihormati. Ini terbukti secara ilmiah. Dari semua negara vasal Majapahit, Nagari Jipang sangat diistimewakan. Terbukti secara empiris, semua vasal Majapahit dipimpin Bhre (Bhattara/Pejabat). Tapi tidak untuk Nagari Jipang. Sebab, Nagari Jipang adalah Tanah Brahmana.
Dari semua vasal Majapahit, semua dipimpin Bhre (Bathara), sebagai simbol kehadiran Majapahit. Mulai Bhre Lasem, Bhre Daha Kediri, Bhre Wengker Madiun, Bhre Matahun, Bhre Jenggala, Bhre Tumapel. Tapi tidak untuk Nagari Jipang. Nagari Jipang tak bisa dipimpin Bhre karena Tanah Para Brahmana.
Bhattara representasi Pejabat Majapahit. Sementara Brahmana representasi Pandita (Hindu), Bikshu (Budha), dan Ulama (Islam). Status sosial Brahmana di atas Bhre (Bathara/Pejabat). Karena itu, Nagari Jipang hanya bisa dipimpin Brahmana. Baik itu Brahmana Hindu, Brahmana Budha, maupun Brahmana Islam.
Maka bukan sebuah kebetulan ketika pada 1334-1364, Sayyid Jamaluddin (Mbah Jimatdil Kubro) cukup sukses menancapkan tongkat dakwah di Nagari Jipang. Ini karena beliau datang sebagai seorang Brahmana Islam (sufi). Sebab, pedagang ataupun saudagar hanya berstatus Sudra. Dan Sudra haram berbicara agama.