Suku Kalang masyhur bagian dari khazanah Tlatah Njipangan. Berikut jejak empiris Suku Kalang dalam literatur asing.
Sejak dulu, terdapat suku di antara suku Jawa, yang sama dalam hal bahasa, tetapi membedakan diri dalam melakukan upacara pernikahan, kelahiran dan kematian. Suku itu disebut suku Kalang, Pinggir dan Gajahmati.
Beberapa penjelasan tentang suku-suku itu, ditemukan dalam catatan Raffles dalam buku ‘History of Java’. Disebut tentang asal-usul suku Kalang, tetapi itupun sedikit dan jauh dari kata memuaskan.
Suku Kalang ternyata masih banyak menyebar di Jawa, khususnya wilayah Bojonegoro dan Blora. Pada masa perpecahan kerajaan Mataram, atau era Perjanjian Pagiyanti. Kasunanan dan Kasultanan sama-sama mendapat 3000 cacah dari suku Kalang.
Dalam Angger Nawala-Pradata, aturan pemerintahan kerajaan Mataram, yang kemudian disebut Wetboek, atau Buku Teles menurut kalangan masyarakat umum Jawa, menyinggung tentang keberadaan suku-suku itu.
Dibawah Paku Buwana II, yang mengeluarkan Angger Nawala Pradata Kasunanan Surakarta, setidaknya suku Kalang, Pinggir dan Gajahmati disebutkan di dalam pasal 24.
Terjemahan Pasal 24 :
“Bagi kalangan masyarakatku, Kalang, Pinggir dan Gajahmati, akan ada tempat untuk mereka bermukim (gone omah-omah), dan akan aku tunjuk untuk mereka, Lurah dan Bekel. Dan akan menjadi urusan di kalangan mereka sendiri tentang ber-suami-istri. Untuk orang Kalang lebih kuat turun dari pihak laki-laki dan untuk orang Pinggir dan Gajahmati dari pihak perempuan”.
Gone omah-omah; dimana mereka akan tinggal secara permanen. Karena suku ini terbiasa hidup tersebar dan mengembara. Suku Kalang, Pinggir dan Gajahmati dulunya suku terasing yang merupakan keturunan orang-orang kasta rendah atau budak yang memiliki hak sipil lebih rendah dari suku Jawa lainnya. Tetapi perbedaan ini berangsur menghilang, dan orang-orang dari suku ini telah bergabung dengan penduduk lainnya, dan karakter mereka tidak lagi kuat.
Kata Kalang (sebagaimana kata jawa: Kambeng) berarti orang yang dicegah, dihalangi atau ditahan. Tetapi suku Kalang tidak dibawah Penewu (pejabat resmi kerajaan), sehingga mereka tunduk pada pemimpin kelompok yang lebih kecil, profesi mereka pun menjadi sangat sederhana.
Bentuk penghinaan kepada suku Kalang mungkin timbul untuk membedakan, yang dikarang menjadi cerita tutur tentang tradisi suku ini, sehingga seolah-olah mereka merupakan keturunan Djoko Pangalasan, yang memiliki ayah Sukmo Ngamboro yang menyamar menjadi anjing hutan berwarna merah. Dapat dibayangkan betapa kikuk mereka, setelah suku ini lama mengembara dan tinggal di hutan, mereka lalu diajak datang ke kota-kota Mataram oleh Sultan Agung (1636).
Pemimpin yang ditunjuk untuk suku Kalang (Lurah, Bekel) di kota Mataram, harus membuat daftar kematian dan kelahiran dari suku ini. Juga para orang Pinggir, meskipun tidak sama dengan Kalang, tetapi tidak jauh dari anggapan masyarakat tentang Kalang. Nama Pinggir berarti juga tepi, sudut, ujung, sehingga sesuai jika dianggap mereka berasal dari Blambangan, ujung timur pulau Jawa.
Dari Blambangan orang Pinggir dibawa oleh Sultan Agung (1646) ketika sang Sultan menaklukkan wilayah itu. Mereka kemudian dipindah ke kota Mataram. Sedangkan di Mataram, orang-orang suku ini kebanyakan diambil dan dijadikan selir, pengasuh atau juga dayang. Beberapa tawanan dari wilayah timur Jawa yang dibawa oleh Sultan Agung diberi nama Gajahmati, yang mendapat pantauan khusus dari Sultan, tetapi nama yang terakhir telah diubah.
Para pria memiliki mata pencaharian yang sederhana, seperti pekerja pandai besi, pembuat tali, pembuat pelana kuda. Suku ini kemudian mendapat perlindungan dari Raja Kartasura dan menjadikan wilayah Kartasura sebagai tempat tinggal mereka.
Buku Bacaan :
Javaansche Wetten (1844)