Percaya atau tidak, seringkali acara besar di Bojonegoro selalu gagal dihadiri Presiden Republik Indonesia sejak era Soekarno.
Proyek vital nasional yang menyumbang APBN terbesar setelah pajak, ada di Bojonegoro. Lapangan minyak bumi Blok Cepu yang menyumbang hampir sepertiga produksi minyak nasional terletak di Bojonegoro. Tapi tidak sekalipun Presiden mau meresmikannya secara langsung. Baik itu era Susilo Bambang Yudhoyono, maupun era Joko Widodo alias Pak Jokowi.
Saat Blok Cepu melakukan peletakan batu pertama, hanya Menteri ESDM yang datang, Pak Jero Wacik. Saat peresmian Lapangan Banyu Urip, cuma Menko Perekonomian yang hadir, Pak Choirul Tandjung. Pak SBY hanya tiba di Bandara Juanda dan secara virtual meresmikan dari bandara. Selepas itu balik kanan lagi.
Mungkin hanya Presiden Soekarno dan yang punya kesaktian seperti beliau yang berani masuk Bojonegoro. Bung Karno datang, tapi setelah itu tumbang. Lalu siapa yang punya kesaktian seperti beliau? Belum tahu.
Bisa jadi Jokowi. Bisa juga presiden setelahnya. Tapi yang jelas, Pak Jokowi pernah lewat area Bojonegoro. Saat beliau mau ke Cepu, lewat darat melalui jalur Padangan. Juga beritanya mampir di Kasiman. Pada 7 Maret 2015 itu, Jokowi mampir di tempat pembibitan jati, tanpa mengundang Pemkab Bojonegoro.
Lewat saja belum diakui sebagai singgah. Karena kebanyakan warga Bojonegoro yakin, jika ada Presiden RI singgah di Bojonegoro, maka konsekuensinya bakal lengser.
Entah mitos atau bukan. Tapi keyakinan masyarakat semakin kuat saat melihat berbagai kegiatan besar seperti di atas selalu minus presiden. Padahal milestone penting dalam ekonomi Indonesia.
Belum ada yang memverifikasi mitos ini. Tapi mitos biarlah menjadi mitos. Agar semakin yakin, bahwa Bojonegoro begitu sakralnya. Bahwa Bojonegoro begitu saktinya. Bahwa Bojonegoro punya Angling Dharma sakti mandraguna. Bahwa Arya Penangsang kalah karena menyeberang ke tanah Bojonegoro.
Semakin sering mitos dikaitkan dengan hal-hal di luar nalar, maka semakin kuat melekat dalam benak. Tentu ini kita ambil positifnya saja. Presiden tidak pernah mau masuk Bojonegoro karena begitu sakralnya tanah kita. Tanah leluhur yang sudah ditirakati, didungani, dibancaki, dan dijaga bergenerasi-generasi.
Wong Jonegoro patut bangga, bukan karena sakralnya. Bukan pula karena mitosnya. Tapi bangga karena kemajuan ekonominya, budayanya, dan orang-orang yang sukses mewarnai kebanggaan Indonesia. Misalnya, atlet-atlet Bojonegoro yang meraih juara di tingkat internasional, juara MTQ tingkat nasional, dan pelajar yang meraih medali olimpiade sains. Bahkan orang Bojonegoro masuk istana menjadi Menteri Sekretaris Negara. Ya kan??
Meskipun bukan murni dorongan dari Pemerintah Kabupaten Bojonegoro. Bukan didikan murni Bojonegoro. Juga sudah tidak lagi tinggal lagi di Bojonegoro. Tapi mereka tetap berdarah Bojonegoro.
Sejatinya kebanggaan itu memberi motivasi positif. Setidaknya, kelak akan ada presiden dari Bojonegoro. Haqul yaqin, jika itu terjadi, mitos presiden nggak berani ke Bojonegoro itu pecah. Mosok nggak berani pulang kampung. Wqwq
Tapi kapan itu akan terjadi? Entahlah. Kita nantikan saja presiden singgah di Bojonegoro. Sebentar lagi. ~