Bergunjing jadi skill khusus spesies manusia melawan kepunahan. Sebab dalam bergunjing, ada sari makanan yang mampu dikonsumsi.
Seorang bapak dan anak lelakinya pergi dalam sebuah perjalanan. Sang bapak meminta anaknya untuk menaiki kuda, sementara dia jalan kaki di sebelahnya. Di perjalanan, orang-orang heran melihat mereka berdua.
“Lihatlah pemuda sehat itu, dia nggak sopan. Masak bapaknya disuruh jalan, sementara dia naik kuda”.
Sepasca melintasi kerumunan orang di pinggir jalan tadi, anak muda itu merasa malu. Dan langsung meminta bapaknya yang menaiki kuda. Sementara dirinya, berjalan di sebelahnya. Beberapa saat kemudian, mereka kembali bertemu orang di pinggir jalan lagi.
“Lihatlah, anak muda kasihan. Masak dia jalan kaki, sementara bapaknya naik kuda.”
Setelah mereka melintasi orang-orang di pinggir jalan itu dan sampai di sebuah jalanan sepi, bapak dari pemuda itu berkata: cara terbaik agar tak dikatai orang adalah kita berdua tak ada yang naik kuda. Yuk kita berdua jalan kaki. Sehingga tak jadi rasan-rasan orang di pinggir jalan.
Mereka berdua pun melanjutkan perjalanan dengan tanpa naik kuda. Tapi berjalan di masing-masing sisi kuda milik mereka. Sementara kuda milik mereka di tengah-tengah layaknya kolega yang berjalan santai menuju tempat rapat.
Beberapa saat kemudian, mereka berjumpa dengan segerombolan penunggang kuda yang lain. Beberapa penunggang kuda itu berkata: “Lihatlah dua orang bodoh itu, keduanya berjalan di bawah terik matahari tanpa menunggang kuda. Betapa bodoh mereka berdua.”
Mengalami rentetan kejadian itu, sang bapak pun memeluk anak lelakinya sambil berkata: “Lihatlah, Nak. Itu menunjukan betapa sulitnya menghindar dari omongan dan rasan-rasan orang lain.”
Kisah di atas, merupakan saduran dan adaptasi atas cerita legendaris berjudul The Criticism of Men dalam cerita sufi Nasruddin Hodja — sebundel kumpulan kisah yang sudah dikaji di bermacam belahan bumi.
Dalam kisah itu, kita bisa tahu bahwa omongan orang atau omongan tetangga atau bergunjing beserta pernak-pernik perghibahan-nya, sudah ada sejak jauh sebelum kita terdampar di era majelis ghibah online yang maha berisik ini.
Dan bergunjing, disadari atau tidak, menjadi keistimewaan spesies primata dari golongan mamalia yang dilengkapi otak berkemampuan tinggi yang kerap kita sebut sebagai Homo sapiens atau manusia ini.
Manusia bisa jadi spesies yang kuat melawan bermacam tekanan alam dan survive melawan kepunahan, disebab kecenderungan mereka yang suka bergunjing. Sebab kita tahu, mammoth dan gajah purba tak punya kemampuan itu, sehingga punah.
Manusia tak akan bisa punah selama mereka masih bisa memproduksi gossip dan pergunjingan. Mempergunjingkan orang lain mampu membuat seseorang merasa puas dengan hidup. Dan punya semangat melihat hari esok.
Lha bagaimana mau punah, bergunjing membuat manusia punya semangat untuk selalu hidup dan selalu melihat keburukan orang lain. Semangat melihat keburukan orang lain jadi mesin diesel yang mampu menjauhkan manusia dari kepunahan.
Semangat melihat keburukan tak dimiliki spesies hewan purba macam mammoth, dinosaurus, gajah purba, kerbau purba dan purba-purba lainnya sehingga mereka cepat punah. Manusia amat cerdas. Dan tahu itu.
Sialnya, bergunjing juga punya kelas-kelas. Ada yang bisanya bergunjing keburukan belaka. Atau bergunjing kebaikan belaka. Atau seimbang antara bergunjing baik dan bergunjing buruk.
Mereka yang standar kemampuannya hanya bergunjing buruk belaka, itu bukan karena bakat. Tapi karena memang makhluk hidup yang mengonsumsi pergunjingan. Sebab dalam bergunjing, ada sari sari makanan yang mampu dikonsumsi.
Karena itu, ada yang dengan bergunjing, bisa kenyang meski tak maem dua hari dua malam. Jadi jangan heran jika ada orang yang mencari maem dengan cara mempergunjingkan orang lain. Itu sudah ada sejak zaman Nasruddin Hodja masih hidup.
Jika kemampuan bergunjing membedakan manusia dengan hewan purba; secara psikologis, isi dan kualitas pergunjingan bisa membedakan jenis antara manusia satu dengan lainnya.
“Persepsimu mengenai orang lain sangat mengungkapkan kepribadianmu.” ucap psikolog Wake Forest University, North Carolina, Profesor Dustin Wood.
Ucapan Dustin Wood, tentu cuap-cuap yang sudah sering didengar di bermacam majelis nasehat dan bisa diucap siapapun. Bedanya, sebelum mengucap, Wood melakukan penelitian terlebih dahulu.
Penelitian termuat dalam Journal of Personality and Social Psychology itu, menjelaskan bahwa persepsi negatif mengenai orang lain, mungkin menandakan beberapa gangguan kepribadian.
Dustin Wood bersam para peneliti menemukan hubungan sangat kuat antara menilai secara positif dengan perilaku bersemangat, bahagia, baik hati, ramah, dan stabil secara emosi.
Peneliti menemukan bahwa cara seseorang menilai orang lain sama saja dengan menceritakan kesehatan mental diri mereka sendiri, dengan menggambarkan orang yang mereka bicarakan.
Karena itu, seberapa positif seseorang melihat orang lain menunjukkan seberapa puas kita dengan kehidupan kita, dan seberapa banyak kita disukai oleh orang lain.
Terlepas melihat penelitian di atas atau tidak, menggunjing orang lain memang sudah jadi ornamen hidup manusia. Layaknya rumah, ada ornamen bagus dan ada pula yang buruk seperti kulkas rusak ataupun rumah laba-laba.
Dan kita, subjek yang kebetulan diberi kewenangan prerogatif menggunakan mulut dan jari tangan, bisa memilih sendiri; mau jadi ornamen rumah kehidupan yang bagus atau buruk.