Membuat korban tutup mulut tidak membuat pelecehan seksual itu hilang dari muka bumi. Ia layaknya kotoran-kotoran yang kita taburi pasir, yang bukan hanya membuat baunya tetap tercium tapi juga membuat pasir di atasnya menjadi najis, yang sewaktu-waktu bisa saja mengenai kita atau orang-orang terdekat kita.
Beberapa orang tidak memiliki kepercayaan diri ketika berbicara secara langsung. Beberapa juga tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk mengendalikan diri (termasuk emosinya) ketika harus secara langsung berkata, dan untuk itu, beberapa orang, termasuk saya, memilih untuk menulis. Jadi, saya tuliskan ini. Saya bahkan tidak pernah menyangka harus menuliskan ini karena mengalaminya secara langsung.
Untuk teman-temanku, laki-laki maupun perempuan yang sampai hari ini masih menganggap bahwa membicarakan pelecehan seksual yang dialami adalah suatu aib, tolong baca ini.Tanpa bermaksud untuk menggurui, dan tanpa sedikit pun rasa benci saya secara pribadi.
Saya tuliskan ini karena ada yang harus kita lawan bersama-sama, yaitu rasa takut menghadapi kebenaran. Bahwa tugas kita semua di sini adalah terus berusaha untuk menjadi manusia yang lebih baik. Dengan cara apa? Yakni dengan cara berusaha untuk menjadi adil, bukan hanya dalam perbuatan bahkan sedari pikiran.
Saya menyesal bahwa siang ini saya harus mendengar suatu argumen menyakitkan, yakni bahwa perempuan yang mengalami pelecehan seksual tidak seharusnya mengumbar ‘aib’nya. Aib yang dimaksud di sini adalah cerita mengenai pelecehan seksual yang didapat, termasuk membongkar identitas korban.
Teman-temanku, yang perlu sekali kita luruskan pertama adalah makna aib. Dalam KBBI yang bisa kalian download di gadget, aib diartikan sebagai malu.
Bisa juga diartikan sebagai cela; noda; salah; keliru. Saya tanyakan kembali, apakah yang salah dari korban yang mendapatkan pelecehan seksual sehingga ia harus merasa malu? Apakah pelecehan seksual itu terjadi adalah kesalahannya? Apakah kalian akan menyalahkan pakaian yang dikenakan? Apakah kalian akan menyalahkan sikap yang diberikan korban? Apakah kalian akan menyalahkan hal-hal lain dalam diri korban?
Baru-baru ini, beredar video mengenai murid di salah satu sekolah menengan atas di Sulawesi Utara yang dilecehkan oleh lima orang temannya di lingkungan sekolah, di jam sekolah, dengan menggunakan seragam sekolah. Atau, boleh kita menggali ingatan-ingatan kita tentang anak-anak di bawah umur (yang tak jarang masih SD, TK, atau bahkan balita) yang diperkosa oleh orang-orang terdekatnya.
Saya tanyakan kembali apakah itu adalah kesalahan mereka? Apakah adil untuk membebankan kata ‘aib’ pada mereka yang bahkan tidak mengerti kejadian apakah yang telah menimpa dirinya?
Kenapa saya membawa kasus-kasus itu? karena pelecehan seksual tidak mengenal tempat, tidak mengenal umur, tidak mengenai pakaian.
Dengan itu semua, rasanya tidak pantas bagi kita untuk menyuruh korban merasa malu. Tidak pantas untuk kita mengatakan bahwa pelecehan seksual yang terjadi padanya adalah aib baginya.
Justru mereka harus berani bicara. Justru kita semua, yang menginginkan anak-anak kita – generasi mendatang – tumbuh dengan rasa aman terutama dari predator seksual, harus mendukung mereka untuk melaporkan kejahatan tersebut.
Kita harus mendukung mereka untuk mengungkap identitas pelaku, dan memberikan hukuman setimpal pada pelaku. Hanya dengan itu hukum (yang meskipun terdapat banyak hal yang harus diperbaiki) dapat menjerat pelaku.
“Bagaimana dengan istri pelaku? Apa kamu tidak kasihan? Bagaimana ia harus hidup kalau tulang punggung keluarganya dipenjara?”
Teman-temanku, bukankah itu yang harusnya kita tanyakan pada pelaku. “Apakah kamu tidak kasihan kepada korban yang akan mengalami trauma psikisnya? Apakah kamu tidak kasihan kepada anak dan istrimu bukan hanya karena kehilangan tulang punggung keluarga, tapi juga menderita sakit hati karena suami/bapaknya telah berlaku bejat?”
Membuat korban tutup mulut tidak membuat pelecehan seksual itu hilang dari muka bumi. Ia layaknya kotoran-kotoran yang kita taburi pasir, yang bukan hanya membuat baunya tetap tercium tapi juga membuat pasir di atasnya menjadi najis, yang sewaktu-waktu bisa saja mengenai kita atau orang-orang terdekat kita.
Apa solusinya? Singkirkan, bilas dengan air, jika itu saja tak cukup membersihkan atau menghilangkan baunya, maka tambahkan sabun. Dengan logika yang sama, kita bisa membersihkan lingkungan kita dari predator seksual yang serupa kotoran itu.
Pertama kita harus hadapi kenyataan bahwa, “iya, benar. Telah terjadi pelecehan seksual di sini.” Baru kemudian kita bisa mengambil langkah untuk menyikapinya. “Oke, aku harus mendampingi korban untuk memperoleh keadilan karena pelaku itu harus dihukum atas kejahatannya. Dan karena itu pernah terjadi, maka aku harus berlaku waspada.”
Menyuruh korban diam hanya akan memberi ruang bagi predator seksual untuk melakukan aksi yang sama kepada orang yang berbeda.
Menyuruh korban diam hanya akan membuat orang lain beranggapan bahwa “melecehkan orang lain adalah tindakan yang aman, dan itu tidak masalah untuk dilakukan”. Apakah itu yang kita harapkan? Tentu tidak, kan?
Untuk itu muncul gerakan #SpeakUp dan #MeToo, yang jika kalian menelusur di jejaring sosial Instagram, maka akan ada kurang lebih 723K dan 2.3M unggahan dengan menyertakan hastag tersebut. Semua gerakan itu untuk menciptakan ruang dan lingkungan yang lebih aman. Agar perempuan dan laki-laki merasa aman berada di luar dan di dalam rumah.
“Apakah tidak cukup bahwa pelaku itu diberi hukuman? Apakah harus diungkap pula identitasnya?”
Bagi saya perlu. Terutama jika hukuman yang diterima hanya berupa pemecatan atau pemutusan hubungan kerja.
Pelaku bukan hanya bisa mendapatkan pekerjaan lain di lingkungan baru, tapi kejahatan yang dilakukan bisa saja diulangi di tempat dan kepada korban yang berbeda.
Untuk itu, bagi saya, khalayak harus tahu identitasnya. Agar menjadi langkah waspada bagi kita semua bahwa “aku tidak boleh lengah ketika berhadapan dengan orang ini. Aku tidak boleh mempercayakan adikku atau anakku atau orang-orang terdekatku berada di sekitar orang ini.”
Sebelum kita memikirkan perasaan kita (terlepas hubungan apapun yang kita miliki dengan tersangka), perasaan pelaku, atau orang-orang yang tersangkut dengan pelaku, hal yang paling utama adalah memikirkan perasaan korban.
Bagaimana keadaan psikisnya? Apakah ia mengalami trauma? Dan apa yang bisa kita lakukan untuk membuatnya merasa lebih baik? Jika tidak ada satu pun yang bisa kita lakukan, sebaiknya jangan bicara apapun tentang itu atau bahkan tentang korban. Jangan sekali pun. Karena hanya dalam kondisi itu diam kita menjadi lebih baik.
Mari saya tunjukkan, apa yang dirasakan oleh korban.
Sebagai orang yang juga pernah mendapatkan pelecehan seksual di kendaraan umum, bahkan ketika saya sudah mengenakan pakaian panjang dan longgar lapis 3, dan celana ¾ yang longgar pula. Apakah yang saya rasakan? Tentu saja jijik dan marah. Bagaimana orang bisa melakukan tindakan buruk pada saya?
Bagaimana orang bisa melakukan hal yang rendahan itu pada saya? Saya merasa benar-benar direndahkan ketika pelaku menggesek-gesekkan kelaminnya pada pundak saya di atas bus yang padat. Bagaimana bisa saya yang selalu berusaha menjaga diri saya baik-baik, menjaga kehormatan saya, menjaga tubuh saya sebaik-baiknya, diperlakukan seperti itu?
Apa yang telah saya lakukan hingga orang bisa berbuat seperti itu pada saya? Saya sadar bahwa pertanyaan itu tidak seharusnya saya ajukan pada diri saya, karena bagaimana pun, hal buruk itu dilakukan oleh pelaku, bukan saya.
Meski begitu, tidak ada perasaan yang lebih buruk dari tidak bisa membela dan melindungi diri kita sendiri. Itu mengapa jika kalian melihat tas ransel saya, maka kalian akan menemukan 3 jarum pentul tersemat pada bagian atas yang mudah diraih. Agar ketika kejadian serupa terulang, saya bisa mengambil jarum itu dan meletakkannya di sela-sela jari untuk melukai kelamin atau tangan pelaku.
Efek dari pelecehan seksual itu bukan hanya pada waktu ia dilecehkan, tapi trauma jangka panjang yang bisa membuat pandangannya soal laki-laki/perempuan berubah. Ia bisa tumbuh dengan memandang laki-laki atau perempuan itu sebagai makhluk mengerikan, makhluk berbahaya. Ia bisa tumbuh dengan menganggap bahwa hubungan intim itu begitu buruk dan mengerikan.
Ia bisa saja tumbuh dengan anggapan-anggapan menyeramkan tentang dunia yang berputar di sekelilingnya. Dan kejadian ini bukan hanya memungkinkan dialami oleh perempuan, tapi juga laki-laki.
Kenapa tidak banyak kasus terhadap laki-laki yang dilaporkan? Karena banyak dari laki-laki pun tertekan oleh anggapan-anggapan yang beredar di masyarakat. Padahal siapapun bisa saja menjadi korban atau pelaku.
Ketika hukum di negara ini masih sangat tidak berpihak pada korban, ketika aparat penegak hukum masih banyak yang berperspektif tersangka, saya rasa, berani bersuara adalah langkah yang sangat mungkin dilakukan untuk memberikan kontrol sosial.
Sementara kawan-kawan lain masih memperjuangkan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, yang bisa kita lakukan untuk menjadi adil adalah mengubah cara pandang kita terhadap korban.