Sekali lagi, yang perlu digarisbawahi, dan sialnya amat tidak menyenangkan sekali, eksistensi sebuah klub dan prestasinya tak bisa lepas dari politik (kebijakan) pemerintah.
Ya………kembali lagi di Stadion Letjen Sudirman, kali ini Iswandi Dai menggocek bola menari-nari indah di lapangan, bola diumpan kepada Densus 88 (Moh.Irfan), track ball ke arah mulut gawang……wo..berhasil dipatahkan lawan, bola melambung di udara, Samsul Arif menyambar bola daaannn golll………………tendangan bicycle kick yang indah dari Samsul Arif berhasil merobek gawang lawan.
Apakah Nabsky masih ingat dengan suara itu? Yap suara dari radio yang menyiarkan sebuah pertandingan tim berjuluk The Giant Killer ketika berlaga. Lantas, di mana sekarang suara gemuruh stadion? Dan di mana Persibo menyembunyikan nafsu killer-nya?
Saban kita memiliki kisah tersendiri tentang The Gian Killer, Persibo Bojonegoro. Tim kebanggaan rakyat Bojonegoro yang pernah beringas pada masa lalu. Kali ini, saya ingin coba mengulang kenangan tentang Persibo.
Saat membahas daerah, memiliki identitas masing-masing. Madrid (Spanyol) ada Real Madrid, Amsterdam (Belanda) ada AJAX, Manchester (Inggris) ada MU, Milan (Italia) ada dua klub raksasa Eropa yaitu AC Milan dan Inter.
Surabaya punya tim kebanggaan Persebaya yang telah memiliki sejarah panjang di persepakbolaan Indonesia dengan pendukung setianya: Bonek.
Jaya Pura ada Persipura. Malang ada tim kebanggaan kera Ngalam, AREMA. Bandung punya Persib dengan pendukung setianya, Viking. Jakarta punya Persija dengan The Jack. Lantas bagaimana dengan Bojonegoro?
Rakyat Bojonegoro memendam kerinduan pada identitas kota berupa sepakbola, apalagi kalau bukan Persibo. Tim yang pernah jadi juara Piala Indonesia dan Divisi Utama.
Saya gemar meyaksikan Persibo. Apalagi ketika jalan terjal dan panjang menuju tangga juara Divisi Utama. Dan Momen Final mendebarkan ketika melawan Delta Putra Sidoarjo (DELTRAS) di Stadion Gelora Delta.
Walau hanya menyaksikan dari layar kaca bersama keluarga, momen mendebarkan itu begitu terasa, sama halnya ketika menyaksikan Timnas Indonesia berlaga.
Dalam laga final yang mendebarkan itu, akhrinya Persibo keluar menjadi juara dan tentunya rakyat Bojonegoro dari berbagai kalangan merasa bangga dan haru campur menjadi satu.
Ketika berlaga di Divisi Utama dan Copa Indonesia, saya begitu antusias kala Persibo berlaga. Jarak dari rumah dengan stadion yang dekat, membuat langkah kaki begitu ringan melihat tim kebangaan berlaga.
Riuh ramai stadion, bakol lumpia, kaos dan syal Persibo, tahu Lek Mbing, penjual air mineral, calo tiket, dan elemen-elemen lain mewarnai ketika Persibo berlaga.
Apabila kita menghubungkan sepakbola dengan menghidupkan nilai-nilai ekonomi kerakyatan, di situlah titik temunya. Di mana setiap Persibo berlaga, ada orang-orang yang mengais rupiah untuk berjihad memenuhi nafkah keluarga.
Setelah Persibo berlaga, paginya tidak lupa membeli koran dan melihat ulasan pertandingan, top skor sementara, peringkat Persibo, jadwal pertandingan selanjutnya, dan hal-hal lain tentangnya.
Begitupun dengan dinamika jatuh dan bangun Persibo . Yang sialnya, tidak lepas dari pengaruh politik (kebijakan) yang diambil pemerintah kabupaten.
Di laga Divisi Utama, atmosfer sepakbola di Bojonegoro begitu hidup. Teringat ketika laga Divisi Utama, para tim tamu menginap di hotel yang ada di depan RSUD Bojonegoro lama (Jl. Dr. Wahidin). Jadwal pertandingan pun terpampang di beberapa sudut kota. Salah satunya di perempatan dekat SDN Kepatihan.
Kenangan lain, tentang Varney Pas Boakay, C.Awono, dan Abel C. Teringat ketika mereka sedang jogging di gisik sungai Bengawan Solo. Kawan-kawan antusias dan senang melihat punggawa tim kebanggaan Bojonegoro itu. Saat latihan di stadion, sejumlah kawan ada yang menyempatkan foto dengan beberapa pemain seusai latihan.
Ketika membahas sepakbola, juga tidak bisa lepas dari selebrasi. Kalau Nova Arianto (anak pelatih Persibo, Sartono Anwar) dengan gaya khasnya suster ngesot. Kalau di Persibo ada Varney Pas Boakay dengan selebrasi khasnya, juga Samsul Arif yang terkadang menjulurkan lidah seusai mencetak gol.
Copa Indonesia, kompetisi yang mempertemukan tim-tim kecil dengan tim yang memiliki nama besar. Persibo yang terhitung tim kecil mampu membuat kejutan dengan menumbangkan tim-tim besar, julukan The Giant Killer pun disemat pada tim berjuluk Laskar Angling Dharma itu.
Ketika bertemu dengan tim besar pada laga home, Stadion Letjen Soedirman (SLS) penontonnya membludak. Misalnya, saat melawan Pelita Jaya (Karawang).
Saat melawan tim Macan Putih Kediri (Persik) yang kala itu masih diperkuat Christian Gonzales, penonton Bojonegoro juga membeludak. Dari sana, nafsu pembunuh Persibo begitu kentara. Namun kini, di manakah nafsu pembunuh yang dimiliki Persibo?
Nafsu pembunuh yang tinggi, mampu menumbangkan tim-tim besar dan beberapa prestasi diraih seperti juara Divisi Utama dan Piala Indonesia.
Laga dengan Persebaya, juga memiliki karakteristik. Biasanya sebelum pertandingan berlangsung sebelum Lagu Fair Play berkumandang, perwakilan supporter dari Persibo dan Persebaya membuat semacam deklarasi tentang persahabatan dua suporter.
Selain itu, apabila ada musibah atau bencana, tak lupa menggalang dana dari beragam cara; misalnya menggalang dana dari penonton di stadion, menyisihkan sebagian uang hasil penjualan tiket pertandingan untuk uang sumbangan, dan cara-cara lain yang sah.
Dari sanalah, di dalam sepak bola terdapat nilai-nilai kemanusiaan.
Sekarang, rakyat Bojonegoro rindu riuh ramai stadion, bakul lumpia, dan hal-hal lain ketika tim kebanggan berlaga. Rakyat tentunya berharap Persibo bisa mengukir sejarah dan mewarnai dinamika sepak bola; baik di kancah regional, nasional, atau Internasional.
Sekali lagi, yang perlu digarisbawahi, dan sialnya amat tidak menyenangkan sekali, eksistensi sebuah klub dan prestasinya tak bisa lepas dari politik (kebijakan) pemerintah.
Tinggal bagaimana pemerintah daerah membangun persepak bolaan di Bojonegoro agar lebih baik ke depannya dan muncul tunas-tunas baru yang akan mengharumkan Bojonegoro dalam kancah nasional maupun Internasional.
Lekas sembuh Persiboku.