Tulisan Yogi amat khas para penulis dalam lingkar Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Insomniah wa Jurnabiyah. Biar nggak penasaran, saya melakukan interview khusus dengan lelaki gondrong misterius itu.
Selama musim pandemi ini, Yogi Alur mungkin menjadi nama paling sering nongol di web Jurnaba. Saya juga sempat heran melihatnya. Untuk urusan menulis, dia amat Aninis, maksudnya, Anin banget alias produktif.
Ya, seperti yang kita ketahui, penulis muda paling produktif di Bojonegoro saat ini — sepengetahuan dan sepengakuan saya — adalah Pimred Jurnaba, Anin alias Mahfudin Akbar. Sosok yang bisa menulis apa saja, dalam tempo sesingkat-singkatnya.
Yogi Alur, jelas belum menyamai maqam Anin dalam hal kecepatan. Tapi, produktivitas dan kelihaian dan kreativitasnya memeram apa saja menjadi tulisan, amat patut diacungi salam tiga jari metal.
Yogi sejenis pemuda yang tangkas. Ditantang nulis tulisan jenis apa aja, berani. Tak hanya berani, tapi benar-benar ditulis. Tema apapun bisa dia tulis, kecuali kisah percintaannya yang amat tragis, tentu saja.
Saya belum mengenal Yogi. Tapi serupa ciri orang hebat pada umumnya, Yogi mengaku sudah mengenal saya jauh-jauh hari. Dan ini, bagi saya, bukan soal basa-basi. Ini soal getar episentrum dan jalur frekuensi.
Lelaki yang dari samping mirip Bruno Mars, dari depan mirip masa muda W.S. Rendra, dan dari dekat mirip pedangdut senior Caca Handika ini memang cukup berani dan tangguh dalam menulis.
Bahkan, salah satu tulisannya langsung mendapat respon keras dari Sidkin Ali. Kritik brutal terhadap tulisan Yogi itu menandakan jika tulisan Yogi Alur memang cenderung menyentil. Selain menyentil juga berani.
Ya, Yogi tergolong penulis berani. Di Jurnaba, selain kerap mengirim jenis tulisan berbeda-beda, dia juga sudah berani nggojlok saya di awal-awal dia menulis. Padahal, jelas itu laku keramat yang butuh tirakat untuk melakukannya.
Tercatat, hanya Farid dan Intan yang pernah nggojlok saya dalam tulisan-tulisan mereka. Itupun, dilakukan setelah melewati fase taaruf, tasamuh, taawun, tadlamun dan tarahum, yang tak sebentar.
Sedang Yogi, entah dengan kesembronoan Don Quixote De La Mancha atau keberanian Monkey D Luffy, justru berani nggojlok saya, bahkan sejak awal kali mengirim tulisan. Sebuah keberanian khas bajak laut yang tak takut masuk angin kala berlayar di lautan.
Tapi, terlepas dari itu semua, saya memang cukup mengagumi cara Yogi menulis. Tulisan-tulisan Yogi amat jurnabis dan khas gaya para penulis dalam lingkar Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Insomniah wa Jurnabiyah — tulisan yang sederhana tapi elegan.
Karena itu, saat Yogi ingin membaiat diri menjadi Jurnabiyin generasi muda, saya tak berani menolaknya. Lha gimana mau nolak, keberanian dan kenekatan Yogi dalam menulis sudah masuk dalam sikap Jurnabiyin itu sendiri, Je.
Karena saya belum begitu mengenal Yogi. Sekaligus agar pembaca tak mengira bahwa Yogi Alur hanya sebuah mitos, saya melakukan interview dengannya melalui chat WA. Sebab, kami tak saling bertemu karena banyak warung kopi tutup patuh aturan phisycal distancing.
Berikut hasil interview bersama Yogi Alur yang sempat saya rekap dan bikin tulisan.
Assalamualaikum, semoga rahmat Allah tercurah kepadamu. Selamat dinihari, Yogi Alur?
Waalaikumsalam, Mas. Semoga rahmat Allah tercurah pada sampean juga. Salam takzim dan selamat dinihari, Mas Riz. Hehe
Kalau boleh tahu, apa kamu benar-benar berstatus mahasiswa?
Duh, belum-belum kok sudah berat mas pertanyaannya. Ini terlalu filosofis dan saya butuh waktu untuk menjawabnya. Ada pertanyaan lain dulu nggak, Mas? Sekalian saya mikir dulu buat njawab pertanyaan sensitif yang satu itu.
Oke-oke, kamu sedang apa ini?
Sesungguhnya saya tak biasa menjawab pertanyaan berbasis present continuous seperti itu sih, Mas. Sebab, apa yang sedang saya lakukan kadang tak menemukan definisi.
Lho, maksudnya?
Apa yang sedang saya lakukan, apakah benar-benar sedang saya lakukan atau tidak, kadang saya tak berani menghukuminya. Jangan-jangan ini semua hanya ilusi semu yang tak sedang benar-benar terjadi.
Duh. Berat sekali jawabanmu. Bisa diringankan sedikit nggak?
Iya, Mas. Saya sedang melamun.
Oalah. Jadi, interview ini mengganggu proses melamunmu?
Nggak juga sih, Mas. Saya kadang butuh distraksi untuk bisa keluar dari kesibukan melamun ini. Kalau tidak ada distraksi dari faktor eksternal, saya suka mblanjur ketiduran hehe
Menurutmu, melamun itu penting ya?
Penting banget, Mas. Melamun itu semacam tekukan lutut sebelum melompat. Tarikan anak panah sebelum diluncurkan. Tarikan nafas sebelum dihembus. Apasih istilahnya. Semacam pemicu gerak pegas. Jadi sebelum melakukan luncuran, harus ada ruang tumpu lebih dulu. Nah, itulah lamunan.
Padahal melamun itu identik kegiatan kontra produktif lho?
Kata siapa? Melamun yang kontra produktif itu melamun yang tak punya hasil jelas. Lamunan dimaknai sebagai tujuan. Itu keliru. Soalnya melamun kan proses. Ia harus punya tujuan. Punya hasil yang jelas. Punya wujud berupa prasasti lamunan. Gitu.
Ohya, tulisanmu banyak bertema pengalaman perjalanan. Beneran ya kamu suka keluyuran?
Nah, gini dong, Mas. Pertanyaan yang masuk. Saya suka sekali perjalanan, Mas. Lha bagaimana mau nggak suka, lha wong hidup ini kan proses perjalanan itu sendiri kan, Mas. Perjalanan usia, perjalanan kedewasaan dan perjalanan cin.. eh
Saking sukanya perjalanan sampai belum punya tempat berlabuh ya?
Jancik. Kok bisaa aja sih mas sampean menggiring ke urusan yang amat memilukan. Tapi berlabuh itu niscaya kok mas. Yang penting dilewati dulu fase perjalanannya. Yang penting move on dulu. Nanti pasti ketemu sama pelabuhan yang tepat.
Lho lho, ini maksudnya gimana?
Wkwkwk nggak mas. Nggak. Asemog. Kepancing aku. Maksud saya tadi, tiap perjalanan pasti bakal menemui titik berhenti. Titik kembali.
Tampaknya kamu suka sekali perjalanan, apa sih alasannya?
Saya memegang pesan Imam Syafi’i tentang fadilah merantau, Mas. Sampean pasti juga tahu lah pasti. Iya, yang “Orang berilmu dan beradab, tidak diam beristirahat di kampung halaman. Tinggalkan negerimu dan hiduplah di negeri orang.” Syair itu saya pegang hingga hari ini. Hehe
Dan kamu pernah kesasar di sejumlah negara yang tak kau kenali. Itu ceritanya gimana?
Ya nyasar aja sih, Mas. Maksudnya saya kan sedang pengen jalan-jalan, dan kesasar itu biasa aja. Sebab dalam ketersasaran, ada ilmu yang saya dapatkan. Ya kayak lirik lagu: percuma saja berlayar, kalau kau takut gelombang. Jadi ya menurutku kesasar itu biasa aja sih.
Ohya, nama pena kamu kan Yogi Alur nih, maksudnya Alur itu apa sih?
Alur itu, akronim dari frasa pembukaan Asmaul Husna: Allahu Rahman Allahu Rohim. Allahur. Allahur. Alur. Cuma, serupa halnya Jurnaba yang suka mengawamkan istilah, kalau ditanya orang, saya akan jawab Alur itu ya karena saya suka mengalur-alur dan berkelana seperti udara. Itu tadi karena sampean yang tanya, jadi saya jawab begitu. Wqwq
Kamu sering patah hati di
tiap tempat yang pernah kamu kunjungi, karena itu masih jomblo hingga saat ini. Benar gitu ya?
Wah… Wah… Gak bener ini, siapa yang bilang, Mas? Itu ngarang banget. Itu ngarang sekali itu. Gak benar itu, Mas.
Lha yang benar gimana lho?
Bentar-bentar. Gimana kalau aku njawab pertanyaan pertama tadi gimana. Soal aku masih kuliah atau tidak. Yaiyalah aku masih kuliah lah, Mas. Kuliah kan juga bagian dari perjalanan hidup. Jadi aku kuliah sebagai proses perjalanan ilmu.
Okedeh. Kamu masih kuliah. Terus, yang patah hati itu gimana?
Santai, Mas. Itu pasti yang cerita nggak tahu kisah aslinya pasti. Jadi ya nggak valid dan cenderung hoax dan mengada-ada. Dan itu tidak patut dipercaya dong.
Terus, kisah aslinya gimana?
Bentar, Mas. Ini udah azan Subuh. Aku tinggal dulu ya. Kan aku harus jamaah, Mas. Nyari 27 derajat. Nanti aku hubungi lagi.
Corona lho. Masak mau berkerumun? Jawab dulu lah, itu kisahnya gimana kok.
Sek, Mas. Njawabnya sulit mas. Aku harus ngobrak-obrak kenangan lagi nanti. Aku baru move on, Je. Iku nanti ngerusak tatanan ati sing wes pengen lali karo cahe, Mas. Ajur, Mas. Pertanyaan yang ini njawabe lain kali ya, Mas. Okee