Sonder membaca sonder melihat, kita bisa tahu banyak hal hanya dengan berada di toilet.
Jika dulu Eka Kurniawan pernah menuliskan cerita pendek berjudul Corat-Coret di Toilet, mungkin dewasa ini budaya mencoret-coret tembok toilet sudah tidak banyak dilakukan karena lebih banyak yang menyampaikan uneg-unegnya lewat tulisan di sosial media seperti twitter dan WhatsApp story.
Tapi, apa toilet kemudian menjadi sepi? Tentu tidak. Sejak kita semakin beralih memisahkan segalanya berdasarkan jenis kelamin, seperti toilet pria dan wanita, tempat wudhu laki-laki dan perempuan, sampai yang terakhir adalah parkir laki-laki dan perempuan (entah apa maksudnya?), tentu ini memberikan satu keleluasaan tersendiri.
Saya sebagai perempuan tentu lebih merasa aman pergi ke toilet sendiri. Ya, iyalah, masa mau ramai-ramai. Di sisi lain, toilet khusus perempuan ini ternyata memberikan satu privilege tersendiri bagi sebagian besar kaumnya (saya rasa laki-laki pun demikian).
Sebagai orang yang rutin sekali mengunjungi toilet di kantor, saya bisa menyebut diri saya ekspert di bidang pertoiletan. Setidaknya, sebagai pengamat. Toilet kerap kali menjadi wadah rumpi paling menyenangkan.
Mulai gosip tentang rekan kerja yang baru jadian hingga keluh-kesah masalah pekerjaan dan rumah tangga. Semua tumpah-ruah di sini, di toilet yang paling dipercaya.
Jika pagi tadi saya mendengar kekaguman pengunjung akan kran kamar mandi yang menggunakan teknologi sensor, maka siang ini saya sudah mendengar orangtua yang saling membanggakan pencapaian anak-anaknya.
Konon anak-anak mereka telah diterima di universitas-universitas ternama di Indonesia. Selamat ya, Buk. Sebetulnya saya juga ingin mengucapkan selamat secara langsung, tapi tidak saya lakukan karena takut menjadi ketidaklancangan yang akan dipergunjingkan di toilet selanjutnya. Hehe
Cuma itu saja? Oh jelas tidak, Ferguso. Berbagai aib sudah saya dengarkan di sini tanpa mengetahui wajah-wajah yang mempergunjingkan dan nama-nama yang dipergunjingkan.
Sebagai pengunjung yang sedikitnya 5 kali dalam sehari melakukan ritual suci di kamar mandi, saya bisa dikatakan sebagai pendengar terbaik. Tentu saja urutannya setelah petugas kebersihan dan juga dinding-dinding kamar mandi.
Saya yakin, jika dinding-dinding toilet ini bisa menjadi saksi di akhirat nanti, dia akan lelah sekali memberikan saksi bagi satu per satu orang. Sungguh, tanggung jawab yang amat berat.
Selain tidak mampu turut berkeluh kesah dan hanya mampu merekam, dinding toilet juga dibebani tugas untuk menjadi saksi atas dosa-dosa pergunjingan yang dilakukan banyak orang.
Mungkin nanti, psikolog perlu melakukan satu eksperimen dengan membuat ruang konseling yang mirip seperti toilet. Bukan lagi seperti ruang BK di sekolah yang lebih mirip seperti ruang investigasi penyelidik. Mungkin dengan begitu pasien akan lebih nyaman dalam menumpahkan segala uneg-unegnya.
Saya menulis ini saat sedang berada di hehe ~