BJ Habibie sosok pemimpin yang pemikir dan konseptor yang pernah dimiliki Indonesia. Gagasan-gagasannya tak hanya bermanfaat bagi kelompok tertentu, tapi bagi banyak orang di dunia.
Salah satu tokoh Indonesia juga sebagai presiden ke-tiga Republik Indonesia (RI) yang memberikan pengaruh ke dunia (khususnya dirgantara), bak mata air yang terus mengalir. Walau telah tiada secara fisik, namun pemikiran dan karyanya akan tetap abadi sepanjang masa.
Sumpahku!
Terlentang !!!
Dajtuh ! Perih ! Kesal !
Ibu Pertiwi
Engkau pegangan
Dalam perdjalanan
Danji pusaka dan sakti
Tanah tumpah darahku
Makmur dan sutji !!!
………………………
………………………
………………………
Hancur badan
Tetap berdjalan
Djiwa besar dan sutji
Membawa aku, ……… padamu !!!
Puisi yang berjudul “Sumpahku” karya Mr.Crack/B.J. Habibie begitu fenomenal. Karya yang dibuat ketika berada di Aachen (West Germany) pada 12 Juli 1960 tersebut mengandung beragam pesan salah satunya tentang kecintaan Eyang Habibie kepada Indonesia.
Dalam film Rudy Habibie (Habibie Ainun 2) ketika Rudy (panggilan masa muda Eyang Habibie) menggoreskan pena untuk membuat karya tersebut begitu dramatis. Rasa perih, kesal, sakit, dan sebagainya bercampur menjadi satu dalam puisi yang indah itu.
Prof. DR (HC). Ing. Dr. Sc. Mult. H. Bacharuddin Jusuf Habibie, FREng atau akrab disapa Eyang Habibie, lahir di Parepare (Sulawesi Selatan) pada tanggal 25 Juni 1936. Belahan Jiwa Hasri Ainun Besari (Ainun) lahir dari pasangan Alwi Abdul Jalil Habibie dan Tuti Marini Puspowardojo. Papi dan maminya melakukan perkawinan dua suku yang berbeda, mami dari Jawa dan papi dari Makassar (Parepare).
Ketika kecil, Rudy yang merupakan panggilan lain Eyang Habibie mendapat didikan dari kedua orang tuanya, baik dari hal spiritual maupun intelektual. Juga mengaji di sebuah surau bersama kawan-kawannya.
Rasa ingin tahu yang besar, sudah terlihat dalam diri Rudy dari kecil. Juga sempat mengalami sulit bicara ketika masa anak-anak. Rudy gemar membaca, dan jarang bermain ke luar rumah bersama kawan-kawannya.
Tidak jarang, sesekali saudara laki-laki maupun perempuan Rudy mengajaknya untuk bermain keluar rumah. Begitupun dengan mami, sesekali juga memaksa Rudy untuk bermain ke luar rumah. Namun ketika bermain di luar, tak jarang Rudy kembali lagi pulang ke rumah untuk membaca atau bermain dengan meccano.
Nilai-nilai leadership tumbuh dan berkembang dalam diri Rudy, hal tersebut terlihat ketika momen terakhir papi memimpin shalat bersama keluarga. Ketika sedang menunaikan shalat, pada posisi sujud papinya tidak bangun-bangun. Berselang agak lama, kemudian Rudy menggoyang-goyangkan kaki papinya.
Ternyata tubuh papinya dari posisi sujud roboh begitu saja, dengan diiringi kesedihan dan tanda tanya, Rudy langsung mengganti posisi papinya menjadi imam shalat. Setelah ibadah usai, tangis haru dan hujan air mata mewarnai kepergian papinya.
Ketika kecil, Rudy takut dengan pesawat tempur. Mengingat waktu itu terjadi penjajahan di tanah air. Dan sebuah pesawat tempur menjatuhkan bom di Parepare, dari situlah stigma negatif Rudy terhadap pesawat (tempur) muncul.
Namun papinya mencoba untuk meluruskan dengan memberikan penjelasan, bahwa pesawat itu bermanfaat juga bagi orang. Papinya memberikan gambaran dengan pesawat bisa mengantarkan orang-orang untuk terbang dan melintasi samudera untuk menuju suatu tempat.
Dari penjelasan tersebut, pandangan Rudy terhadap pesawat berubah serta bercita-cita untuk membuat pesawat. Selain itu, papinya juga berpesan kepada Rudy untuk bermanfaat bagi sesama bak mata air yang terus mengalir.
Semangat belajar yang tinggi dibarengi dengan do’a, dukungan keluarga, dan sebagainya membuat impian Rudy untuk membuat pesawat tercapai dengan belajar di Fakultas Teknik yang ada di Universitas Indonesia Bandung yang sekarang bernama Institut Teknologi Bandung (ITB) pada tahun 1954.
Menempuh studi dengan singkat karena kepandaian Rudy di atas rata-rata dan telah memahami serta mengerti materi yang diajarkan. Selanjutnya menempuh studi di RWTH Aachen, Jerman Barat pada 1955-1965. Menerima gelar diploma insiyur pada 1960 dan gelar doktor insiyur pada 1965 dengan predikat summa cumlaude.
Masa-masa berjuang dan bertahan dalam menjalani kehidupan, begitu kentara ketika Rudy berada di Jerman Barat. Kiriman uang yang terlambat datang, masalah kesehatan, organisasi, dan lain-lain menambah semangat Rudy dalam meraih cita-cita dan membangun Indonesia kedepannya. Di Jerman, Rudy aktif di Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Aachen.
Rudy juga pernah jatuh cinta dengan gadis non Indonesia yaitu Ilona ketika kuliah di Jerman. Namun karena beberapa alasan, kisah cinta mereka berakhir begitu saja.
Ketika menghadapi persoalan, tidak lupa Rudy membinta bantuan kawannya, salah satunya Lim Keng Kie. Keng Kie merupakan senior Rudy ketika berada di Universitas Indonesia Bandung, dan satu kampus lagi di RWTH Aachen.
Ketika berbicara tentang Eyang Habibie, tidak bisa lepas dari romansa dengan Ainun. Kisah cinta mereka abadi dan menjadikan inspirasi insan yang lain. Kesetiaan Ainun terbukti ketika diajak Rudy untuk mengarungi samudera kehidupan di Jerman.
Jatuh dan bangun tentu mewarnai dinamika rumah tangga mereka. Kasih dan sayang antar dua insan tersebut akan abadi sepanjang masa, dan pemikiran keduanya akan senantiasa hidup walau zaman silih berganti.
Beragam penghargaan level nasional hingga internasional telah diterima Eyang Habibie. Untuk membaca lebih jauh dan dalam tentang biografi Eyang Habibie bisa membaca buku karya Gina S. Noer dengan judul Rudy, atau bisa melalui film seperti Habibie Ainun 1-3. Semoga perjalanan hidup Eyang Habibie menjadi inspirasi bagi anak-anak di berbagai penjuru bumi wa bil khusus di Indonesia.