MU dan Liverpool diam-diam berkonspirasi menghibur masyarakat di tengah sumpeknya menghadapi Pandemi. Fans Liverpool harus berterimakasih pada Fans MU untuk urusan ini.
Kemenangan Liverpool atas Premiere League disambut keharuan sekaligus kelucuan. Di Twitter, misalnya, #Fans MU justru jadi trending. Tentu saja ini wqwq sekaligus keren sekali. Lha gimana nggak keren, wong yang juara Liverpool tapi yang trending justru Fans MU.
Perseteruan MU vs Liverpool memang bukan sekadar rivalitas derby, tapi semacam perseteruan abadi yang tak berbatas teritori. Perseteruan yang, oleh Jurgen Klopp disebut sebagai: ibu dari semua laga sepakbola.
Chelsea yang menang
Man City yang kalah
Liverpool yang juara
Fans MU yang kejang-kejang — @abdullabss1
Akun atas nama @donzol malah lebih lucu: Fans MU yang mau ngucapin selamat ke Liverpool udah kayak suasana sosmed pas mau natal. Ada yang santai ngucapin, ada yang ngucapin seadanya, ada yg kekeh kalo itu haram ~
Perselisihan MU dan Liverpool tak hanya urusan lapangan hijau. Tapi juga urusan primordial masing-masing kota. Bahkan, gegeran itu dimulai sejak sebelum perang dunia kedua bermula.
Polemik pembangunan Kanal Bridgewater pada abad ke-19 menciptakan jurang pemisah antara buruh pabrik Manchester dan buruh pelabuhan Liverpool. Pada titik ini, sepakbola memainkan perannya.
Pasca perang dunia satu dan dua usai, sepakbola kembali mendapat panggung sebagai penyembuh luka bagi umat Inggris Raya. Rivalitas MU dan Liverpool pun kembali meruncing. Khususnya di era Matt Busby (MU) dan Bill Shankly (Liverpool) — dua sosok manajer legendaris di kedua tim.
Uniknya; serupa agama, keyakinan beserta uborampe kubu-kubuan lainnya, rivalitas MU vs Liverpool merembet ke Indonesia, bangsa yang ramah dan konsumtif terhadap apapun yang dari luar bangsanya.
Di Indonesia, fans MU dan Liverpool tergolong sebagai fans diehard. Fans yang amat keukeuh dan fanatik pada klub mereka. Keyakinan pada klub serupa ideologi: gold, gospel dan glory.
Fans MU dan Liverpool adalah fans ideologis. Fans yang amat ultra fanatis mendekati Fasis. Ibarat partai, adalah partai ideologis macam PDIP atau PKS yang tak hanya harus menang dalam segala hal, tapi juga dalam segala hal harus menang.
Tapi, di situlah fans Liverpool harus berterima kasih pada fans MU. Sebab tak ada klub yang amat semangat memantik persaingan motivasional melawan Liverpool, selain MU. Istilah ekstrimnya, siapapun boleh juara asal bukan Liverpool, begitupun sebaliknya.
Tanpa MU, Liverpool tak akan pernah menjadi klub penyabar seperti yang dikenal seperti saat ini. Tanpa MU, kemenangan Liverpool akan cepat dilupakan dan tak akan menjadi trending di Twitter dengan tagar #Fans MU.
Diam-diam, MU dan Liverpool mungkin terlibat konspirasi. Dan fans Liverpool harus berterima kasih soal ini. Sebab layaknya apapun di dunia ini; ada yang menang ada yang… Dihina.
Tahun ini, Liverpool berperan sebagai pemenang dan MU berperan sebagai penerima hinaan.