Kota Malang. Jam dinding menunjuk pukul 14.00 wib. Aku bersiap-siap menuju terminal bus Arjosari. Mengejar keberangkatan bus Dali Prima jurusan Malang – Bojonegoro.
Aku tak begitu menyadari keadaan Kota Malang yang begitu ramai sesak. Jalur yang saya tempuh menuju terminal, merupakan jalan-jalan kecil sebagai jalur alternatif menuju terminal.
Jalan-jalan kecil yang tiap sudutnya mengabarkan masa lalu. Tak ada yang tak terekam, bahkan sekadar tembok dapur berjelaga hitam di sebuah rumah orang yang tak kukenal pun, seperti membacakan dongeng masa lalu. Dan sialnya, aku pun mendengarkan dongeng itu.
Begitu sampai di terminal Arjosari, barulah aku menyadari. Ratusan mahasiswa berjubel memadati terminal. Tidak sebanding dengan bus yang berlalu-lalang di terminal tersebut.
Kala itu, waktu menunjuk pukul 14.35. Saya bertanya pada petugas Dishub yang berada di terminal terkait keberangkatan bus Dali Prima.
“Sudah berangkat mas sekitar 10 menit yang lalu. Kalau mau ke Wilangon naik Tentrem aja,” kata petugas tersebut.
Pukul 15.15 wib, aku mendapati kedatangan bus Tentrem menuju Wilangon. Bus langsung diserbu para perantau sebelum masuk terminal. Termasuk aku.
Kabar baik, aku mendapat tempat duduk. Meski tempat duduk penuh, kenek dan kondektur terus memasukkan penumpang hingga penuh. Betapa kebutuhan hidup memicu orang kuat duduk bersesak-sesakan.
Sebagian penumpang harus legawa berdiri penuh sesak. Yang terpenting, mendapat bus untuk berangkat ke tujuan. Bus tidak perlu nge-time untuk menunggu jadwal keberangkatan. Setelah penuh sesak dan berjejal, bus langsung berangkat.
Biasanya perjalanan Malang Surabaya ditempuh sekitar 2 hingga 2,5 jam. Namun, perjalanan ini begitu berbeda. Ruang bus yang begitu sesak dan penuh, sama kondisinya dengan yang ada di jalan raya.
Jalur beraspal tersebut penuh dengan kendaraan. Keadaan memaksa bus untuk merangkak, bukan berjalan. Seperti kaki yang kesemutan. Maunya cepat, tapi justru melambat.
Pukul 19.10 wib aku baru sampai di terminal Oso Wilangon, Surabaya. Ternyata, kondisinya lebih “mengerikan” dibanding terminal Arjosari, Malang. Mahasiswa begitu ramai memadati terminal.
Seperti semut yang sedang mengerumuni gula. Tidak hanya mahasiswa, para pekerja pun urun ramai untuk pulang ke kampung halaman.
Setelah melewatkan beberapa bus, akhirnya aku mendapat bus Dali Jaya menuju Bojonegoro. Bus penuh sesak berisi penumpang. Serupa dada yang sesak akibat tak punya pasangan.
Bus berangkat pukul 19.45 wib. Di tengah perjalanan, bus masih saja menaikkan penumpang. Padahal, bus sudah terisi penuh. Orang memang tak pernah merasa cukup. Satu cinta memang tak pernah cukup, bngst! aku ingat sesuatu.
“Cukup ae, Pak. Dadi kolak kabeh iki sing nang jero,” kata seorang penumpang disambut tawa penumpang lain.
Seorang ibu, sambil memangku anaknya, duduk di sebelah kiriku. Kebetulan, aku duduk di seat kanan samping jendela kaca. Ibu itu mencoba megajakku ngobrol.
“Turun di mana, mas?”
“Bojonegoro, Bu. Ibu di mana?”
“Lamongan mas, Pucuk. Rasanya seperti lebaran mas. Macet di mana-mana, ruame banget pokoknya.”
Ibu itu bercerita bahwa dia kehabisan angkot menuju terminal. Dia mengaku berjalan hampir 1 km untuk sampai ke terminal Wilangon. Hidup memang kerap memaksa kita menempuh jalan panjang melelahkan.
Sepintas, siluet ibu dan anak yang berada di sebelah itu, mengingatkan aku akan sesuatu. Sesuatu yang tak perlu aku ingat, tapi justru membombardir kepala untuk diingat-ingat terus.
Bus yang kutumpangi sampai Kota Gresik. Memasuki kota, terdapat macet yang begitu panjang. Pergerakan bus yang hampir mirip odong-odong, membikin saya mengantuk.
Ibu itu bersiap untuk turun yang otomatis membikinku terbangun. Di Lamongan, perjalanan sudah mulai lancar. Bus memacu kecepatan yang bisa membuat jantung berdetak kencang.
Sebagian penumpang turun di jembatan pantura arah Semarang. sebagian lagi turun di Pasar Babat. Suasana bus jadi agak tenang. Namun, masih ada sekitar 7 penumpang yang berdiri.
Supir bus kembali tancap gas melanjutkan perjalanan. Akhirnya, pukul 22.20 wib bus sampai di terminal bus Rajekwesi Bojonegoro. Dito pun menjemputku. Sebelum sampai rumah, aku mengajak Dito mampir ngopi.
Aku merasa perjalanan Malang-Bojonegoro ini begitu dahsyat. Sedahsyat proses melupa yang tak juga lupa. Selama tujuh tahun, baru kali ini aku mendapati pengalaman perjalanan yang memicu kekhawatiran tidak sampai tujuan.
Namun, selama tujuh tahun ngebis Malang – Bojonegoro pula, dada masih menabung perasaan yang sama. Perasaan memiliki dan kehilangan yang benar-benar membabi-buta. Rasa kehilangan yang tak bergeming oleh kemacetan jalan raya.