Petani muda di manapun kamu berada, bertani adalah kunci. Ini waktunya mengolah alam dengan intensitas tenaga kerja semampunya. Menanam dengan riang dan memanen dengan gembira.
Melihat pepadian yang membentang hijau hingga kejauhan, daunnya melambai-lambai membentuk gelombang dihembus angin, itu lebih menyehatkan dan mungkin menyegarkan untuk produktif dan energik.Dibanding menatap pabrik yang penuh asap, dilengkapi lalu lalang truk muatan yang menebar debu jalanan, tentu saja mata akan kelilipan dan bersin-bersin.
Lantas sejenak teringat pesan bapak, sewaktu kecil aku sering diajak tandang ke sawah rasanya senang sekali. “Jadi apapun kamu besok, tetap kudu punya sawah, karena bertani itu untuk makan sendiri dan orang banyak” katanya kala itu, dan sepertinya dewasa ini bisa memantik ke banyak persoalan, berikut.
Ada hantu yang berkeliaran di penjuru dunia, hantu krisis pangan.
Kira-kira begitu kalau saya memparafrasekan woro-woro Food and Agriculture Organization (FAO) — organisasi pangan PBB yang dilansir Katadata.id, akan potensi krisis pangan akibat dari pandemi Covid 19, yang mengguncang rantai pasok bahan pangan.
Semenjak kebijakan neolib Revolusi Hijau-nya Orba, kita telah kehilangan diversifikasi pangan selain beras, seperti sagu yang menjadi makanan orang Papua saban hari, juga nasi tiwul turut lenyap dari meja makan kita.
Sedang negeri sesubur Indonesia yang beras sebagai makanan pokoknya, ternyata masih ngimpor dari Vietnam dan Thailand setiap tahun. Sebanyak 2,25 juta ton pada 2018 dan sempat menurun 0,44 juta ton pada 2019 (Badan Pusat Statistik/BPS).
Sehingga detik ini kita sesungguhnya lagi otw krisis pangan, karena Vietnam lagi menstop ekspor berasnya untuk memasok kebutuhan pangan dalam negeri dan Thailand sendiri melonjakkan harganya hingga 100 persen.
Dalam film Negara, Wabah, dan Krisis Pangan (2020) besutan Watchdoc Documentary, mengurai sengkarut soal ini. Ternyata yang subur bukan padinya tapi kebun sawitnya yang menghampar seluas 16 juta hektar, daripada lahan baku sawah yang cuma 7,4 juta hektar saja.
Di samping tambang batubara yang hanguskan beras hampir dua juta ton pertahun, seiring dengan merosotnya luasan lahan sawah dan jumlah rumah tangga petani, serta meningkatnya konflik agraria.
Ironi kawasan lumbung pangan
Meskipun begitu, kaum tani hari ini menjelma bak sosok pahlawan di tengah gejolak krisis pangan. Dalam rangka mencegah kelangkaan beras, selain pemerintah menyiapkan alternatifnya berupa sagu dan mencetak sawah baru di lahan gambut.
Dua kebijakan yang sama-sama polemis, pemerintah juga mewanti-wanti para kepala daerah untuk menjaga pasokan bahan pokok. Artinya kaum tani menjadi juru selamat satu-satunya sekarang.
Seperti yang diwartakan jurnaba.co, Pemprov Jawa Timur mengandalkan enam kabupaten untuk pemenuhan kebutuhan pangan. Satu di antaranya adalah Kabupaten Bojonegoro, yang sejak baheula didapuk sebagai kawasan lumbung pangan.
Dari 7,4 juta hektar lahan baku sawah nasional, sekitar 78.487 hektarnya berasal dari Bojonegoro, adalah lahan yang begitu luas menurut Dinas Pertanian setempat, dan sudah mampu kontribusi untuk memasok pangan di tingkat provinsi dan nasional.
Tetapi peran sentral ini bersamaan dengan susutnya kaum tani (depeasantization) dalam dua dekade ke depan. Merujuk data BPS Bojonegoro (2018), rumah tangga petani dengan usia 45-54 tahun sebanyak 76.933 orang, menyusut hingga 17.226 rumah tangga petani yang berusia 25-34 tahun. Jika disandingkan berarti empat banding satu (4 : 1) antara generasi tua dengan generasi muda.
Sementara banyak dari anak muda, barangkali termasuk penulis, menjadi pengangguran meski tak mengakuinya dengan sok-sok menyibukkan diri. Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja Bojonegoro (2019) mendata, kita-kita yang nganggur ini terakumulasi sampai 23.895 orang dan rata-rata berpendidikan, diantaranya 72 persen dari lulusan SLTA dan 11 persen dari lulusan kampus.
Membaca peluang, terlebih tantangannya
Bertani adalah kunci. Mengolah alam dengan intensitas tenaga kerja semampunya, menanam dengan riang dan memanen dengan gembira. Tetapi kita tentu kudu punya akses atas tanah, terutama orang tua kita yang punya sawah jangan sekali di sia-siakan.
Memang problem di zaman kompetisi seperti ini, kita dipaksa untuk menghalalkan kepemilikan privat atas tanah, padahal itu makhluk ciptaan Tuhan dan tidak bisa direproduksi oleh manusia. Maka jangan harap bertani kalau tak bertanah, selain menjadi buruh tani.
Membeli tanah barangkali sekedar cita-cita bagi buruh tani, upahnya hanya cukup buat hidup sehari-hari dan melunasi hutang yang menumpuk. Sedang petani yang sawahnya hektar-hektaran mendapat surplus dari keringat buruh-buruh yang pekerjakan, sehingga bisa membeli tanah lagi atau dibuat nyalon kepala desa. Mirisnya, tanah kas desa yang begitu luas biasanya justru dilelang tahunan, sehingga yang kompetisi mendapatkannya ya para pemilik kapital tadi.
Belum lagi soal keseimbangan dalam seni bertani ala Chayanovian (Van Der Ploeg, 2019) seperti antara produksi dan reproduksi yang mudah digoyah pasar. Di mana biaya produksi yang melangit tapi hasil panenan dihargai murah, tanpa adanya kontrol dari pemerintah terlebih Pemkab sendiri.
Produksi memperlukan biaya input pertanian yang mahal, mulai membeli bibit varietas unggul, pupuk kimia dan organik, hingga obat-obatan pestisida. Manakala musim panen tiba pada penghabisan bulan ketiga, para petani akan menebaskan padinya kepada tengkulak yang meski di bawah harga pasaran, karena memang tidak ada pilihan lain lagi.
Sehingga kadangkali bagi petani lahan sempit atau sedang, tidak cukup buat Reproduksi, berupa: memenuhi kebutuhan sehari-hari dan biaya usaha tani ke depan. Itupun kalau panennya maksimal, tapi ketika sudah terserang hama apalagi dilanda banjir maka segalanya tinggal bayang-bayang saja.
Satu hal yang tak kalah menantang bagi petani muda adalah mental, terutama yang lulusan kampus, harus punya mental sekuat baja. Seperti halnya sewaktu aku menenteng pacul lewat pematang sawah, sontak Haji Jumain meneriaki dari tengah sawah “iso tora kok nyekel pacul bereng.” diiringi dengan tawa ejekan. Padahal aku bukan mau nyangkul, cuma menaruhnya di gubuk terus pulang lagi. Sekian.