Ada pertemuan ada perpisahan. Ada kedatangan ada juga kepulangan. Hidup, kadang berlumur kebahagiaan. Kadang berurai air mata.
Bang Yogi, Bang Ghifar, Iqbal my buddy dan teman lainya sudah saya anggap seperti keluarga sendiri.
Ketika saya masih berada dalam penjara suci, mereka yang mengajarkan banyak hal yang tidak bisa di ungkapkan dengan kata-kata.
Tiba acara graduasi. Bergema dengan meriah walaupun yang menyaksikan hanya puluhan orang saja.
Setelah acara graduasi, banyak siswa yang menangis tersedu-sedu. Karena harus berpisah.
Dalam perpisahan tersebut, tak heran bila skenario itu sudah ada dan telah ditakdirkan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.
Jarum jam terus berputar, dan mereka terus menangis, menangisi siapa saja yang ingin melangkahkan kaki untuk pulang.
Sedangkan saya, masih bingung mengapa saya hanya bersedih namun tidak bisa meneteskan air mata, ada apa dengan saya?
Walaupun banyak sekali teman yang berpamitan satu persatu, hingga akhirnya aku yang berpamitan dengan teman-teman Jambi dan para staf tentunya.
Tentu tidak akan pernah saya lupakan, walau saban hari menyuruh kami angkat sendok.
Tepat pukul 21.00 WIB, saya berangkat ke bandara dengan rekan yayasan P4S yang bernama Syelvany Safitri.
Ketika di perjalanan saya muntah-muntah. Itu bukan karena saya lemah tetapi karena saya sedang menikmati perjalanan pulang menuju kampung halaman.
“Oh, nikmatnya”, sanubari berkata. Mabuk perjalanan ini membuat saya sadar bahwa apa yang dimuntahkan tidak bisa di telan kembali begitu juga halnya perpisahan.
Tiba di bandara Halim Perdana Kusuma yang berada di Jakarta Timur sekitar pukul 00.00 WIB.
Dan saya bertanya kepada petugas bandara dan menanyakan dimana musalanya, Bang?
Setelah sampai di musala, saya langsung bergegas ke toilet. Dan nampak kawanku sedang mengantuk berat. Maka saya menyuruhnya untuk tidur dengan selimut.
Sarung baru pemberian Bang Dul saya gunakan untuk memberi kehangatan pada kawanku.
Karena saya kasihan melihat kawanku tidurnya tak nyenyak begitu pula dengkurnya tidak seirama.
Kemudian saya berusaha untuk tetap terjaga. Saya menjaga dia sekaligus barang-barang kami agar tidak hilang.
Malam berlalu, dan saya masih dalam gigitan nyamuk yang iseng menggangguku saat saya sedang membuat rangkaian kata-kata ini.
Dan ketika itu pula, saya meneteskan air mata saat melihat foto profil WA Bung Dul atau Bang Yogi, rindu menyelimuti kesedihanku.
Begitu pula kepada Kak Ghifar yang tak pernah bosan dalam membimbingku dan mengajariku apa arti tauhid.
Begitu pula Iqbal my buddy, selalu teringat dengannya ketika saya sedang melihat kisah-kisahnya yang diunggah di sosial media.
“Ohhh…kawan, saya rindu kalian”.
Jakarta, September 2021
Suharno adalah laki-laki berdarah Jawa yang suka berkelana. Lahir, tumbuh, dan berkembang dalam dekapan alam Borneo bagian tengah.