Sebagai manusia bisa berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain adalah kenikmatan. Lebih nikmat lagi kalau ada upaya untuk menuliskan.
Semilir angin malam masuk area warkop Giras Rajekwesi Bojonegoro. Lalu-lalang orang-orang, kendaraan, dan kisah-kisah yang mengepul bersama secangkir kopi menjadi keindahan.
Warkop yang berada di Jalan Rajekwesi. Tanah tempat berdirinya warkop merekam peristiwa masa lalu. Karena nama “Rajekwesi” merupakan rentetan nama sebelum “Bojonegoro” ada.
Tempat bersatunya berbagai kalangan. Ada orang-orang bermodal atau kelas kapitalis lokal, warga negara yang jelata, dan berbagai jenis manusia lainnya.
Ada yang gembira ketika musik dangdut dari pengeras suara menggema di bawah atap warkop giras. Namun ada juga yang kurang suka dengan musik dangdut.
Penggemar musik dangdut, klasik, jazz, rock, reggae, dan berbagai aliran musik bisa bersatu di bawah lindungan atap warkop giras.
Sesekali laju kendaraan berat mampu membuat getaran kecil hingga membuat cangkir kopi bergetar.
Daun-daun di pinggir jalan menari-nari dengan riang. Suara “kriet..kriet..kriet” dari kendaraan besar, merangsak masuk ke telinga pengunjung warkop giras.
Spanduk yang berada di depan warung juga sesekali berkibar. Warna merah dan kuning di warkop giras, memberi kesan ceria. Karena merah bisa bermakna berani dan kuning bermakna kejayaan, keceriaan, dan lain-lain.
Rumah laba-laba, serawang, dan plastik untuk menjebak serangga, menambah unik suasana. Hal tersebut memberi kesan bahwa warkop giras, bangunan yang tidak lagi muda.
Lima buah meja kayu, menjadi saksi bisu. Meja kayu merekam kisah-kisah penikmat kopi, es teh, dan berabagi jenis minuman lain dan makanan yang ditawarkan warkop giras.
Apabila ada gelas yang sudah tidak ada empunya, pegiat rupiah warkop giras akan dengan sigap mengambil gelas dan membersihkan meja.
Warkop giras rajekwesi, berdiri di atas tanah yang menyimpan histori. Tempat menanti, menunggu, menulis, bercerita, mendengar lagu, istirahat sejenak, berdiskusi, melihat siaran sepak bola di layar televisi, dan tempat mensyukuri nikmat.
Bersyukur karena masih diberi kesempatan ngopi. Masih bisa melihat langit-langit warkop berwarna putih yang catnya mulai mengelupas disertai dengan warna kecoklatan.
Berbagai raut muka, gelagat, dan omongan, telah menjadi mural yang tidak nampak di tembok warkop. Sesekali juga ada kucing yang melintas, kucing ingin menyapa pegiat warung kopi dengan berbagai maksud dan upaya.
Azan isya, subuh, luhur, asar, dan magrib, juga terdengar dari warkop giras. Karena giras rajekwesi tidak jauh dari tempat ibadah. Sesekali juga ada siaran orang mati, menjadi pengingat bahwa setelah hidup ada mati. Setelah ngopi, jangan lupa pergi, eh……..tapi bayar dulu, Nabs.
Itulah secercah kisah yang terlahir di bawah lindungan atap warkop giras rajekwesi. Semoga, Nabsky yang pernah berkunjung atau sedang menginjakkan kaki di warkop giras juga giras jiwa dan raganya.
Selamat memaknai hari raya kecil ‘Jum’at’ dan jangan lupa, tuangkan kopimu ke lepek, awas panas! Ojo kesusu yo ojo kesuwen nek ngopi seng penak sedengan. Ngopilah sesekali, ngopilah yang berarti.