Saya selalu ingat pesan Pak Yai, jangan pernah menasehati atau memarahi orang lain di depan banyak orang. Sebab meski nasehat itu bagus, jika memicu jatuhnya harga diri, pasti berdampak buruk.
Di sebuah sudut kampung kami, pada tahun 2001 – 2004, masyhur sebagai tempat berjudi. Banyak para penjudi datang ke tempat tersebut untuk melampiaskan hobi.
Suatu hari, Pak Yai berkunjung ke tempat itu. Anehnya, Pak Yai hanya memakai sendal jepit, celana training, dan kaus seporot. Beliau duduk-duduk di tempat itu, sesekali turon-turon (tidur-tiduran) santai, seolah ingin ikut berjudi.
Tak banyak yang dilakukan Pak Yai. Beliau hanya duduk-duduk sambil sesekali melolos rokok, lalu melihat keadaan di kanan dan kiri. Beliau tak berbicara. Bahkan tak ada suara yang keluar dari mulutnya.
Teman-teman dan saya — yang kebetulan lewat dan mengetahui kejadian itu– waktu itu merasa janggal. Ngapain Pak Yai ke tempat tersebut. Pakai celana training dan kaus seporot lagi. Jelas itu nggak masuk akal. Terlebih, beliau sosok Kiai setengah Wali yang amat kharismatik di desa kami.
Tapi, beberapa dari para penjudi itu, diam-diam ngacir pergi. Mereka yang sudah asyik berjudi, langsung saja ngeloyor pergi. Sementara yang mau ikut gabung, balik kanan dan tak kembali lagi.
Sejak saat itu, tempat yang semula riuh giat berjudi, jadi makin sepi. Dan tak pernah ada judi lagi di tempat itu hingga kini.
Dulu saya dan kawan-kawan mengira, itu jelas berkat karomah seorang Kiai. Keistimewaan orang pilihan yang mampu membetot rasa takdim orang lain, bahkan tanpa berbicara atau menggerakkan mulut.
Tapi kelak, bertahun-tahun kemudian, saya baru menyadari satu hal amat penting. Bahwa apa yang dilakukan Pak Yai adalah laku ilmiah. Sejenis metode diplomasi tingkat tinggi. Metode komunikasi dengan level tak bersuara. Sejenis perpindahan tanpa gerakan.
** **
Ingatan itu melintas begitu saja, ketika kemarin saya melihat gerombolan orang bersorban yang berteriak-teriak di depan para penjudi. Tapi bukannya para penjudi itu bubar, mereka malah melakukan perlawanan.
Dan, ya, karena kalah jumlah, gerombolan bersurban itu justru lari tunggang langgang. Tak jadi hero tapi jadi pecundang.
Saya merenung. Dulu, Pak Yai tak perlu berteriak-teriak untuk menghentikan tradisi judi di kampung kami. Sementara gerombolan ini, harus berteriak-teriak, itu pun berbuah pahit.
Apa karena gerombolan ini tak punya karomah layaknya Pak Yai ya? Ini ada benarnya. Dan memang benar. Tapi saya ingin mengulik secara ilmiah. Biar tetap bisa diterima banyak kalangan. Baik yang pro wasilah, maupun yang tidak pro wasilah dan karomah.
Begini, gerombolan bersorban itu tak mau menanggalkan egoisme. Mereka justru mempertebal eksistensi diri sehingga berbenturan dengan subjek lain secara kasar. Sehingga berdampak perlawanan. Dan gesekan frontal.
Atau dalam istilah lain. Memarahi atau membentak orang di depan orang lain, jelas berbuah buruk. Sebab, meski dalam kondisi salah, orang yang dibentak, secara psikologis akan melawan. Sebab harga dirinya dipermalukan. Sehingga meski niatnya baik, pasti hasilnya buruk. Dan itu yang kerap terjadi akhir-akhir ini.
Berbeda dengan Pak Yai. Demi memberitahu orang lain tentang sebuah kebenaran, Pak Yai justru menanggalkan eksistensi diri, bahkan baju dan pakaian kemuliaan. Beliau menanggalkan itu semua demi melebur. Sehingga tanpa bersuara pun, dampaknya sangat besar.
Saya selalu ingat pesan Pak Yai. Jangan pernah menasehati atau memarahi orang lain di depan banyak orang. Sebab meski nasehat itu bagus, jika memicu jatuhnya harga diri orang lain, pasti berdampak buruk.