Jurnaba
Jurnaba
No Result
View All Result
Jurnaba
Home Cecurhatan

Ini Cara Pemerintah Hindia Belanda Menghadapi Kemiskinan Endemik di Bojonegoro

Dicky Eko Prasetio by Dicky Eko Prasetio
13/09/2020
in Cecurhatan
Ini Cara Pemerintah Hindia Belanda Menghadapi Kemiskinan Endemik di Bojonegoro
Bagikan ke FacebookBagikan ke TwitterBagikan Ke WA

Kemiskinan di Bojonegoro memang sudah ada sejak zaman kolonial. Bahkan, Pemerintah Hindia Belanda yang notabene penjajah, pernah menghadapinya secara ciamik. Tampaknya Pemkab Bojonegoro saat ini harus belajar dari penjajah deh. 

Bojonegoro mengalami fenomena kemiskinan endemik dalam kurun waktu 1900 hingga 1942. Hal menarik yang perlu ditilik adalah bagaimana respon dan orientasi kebijakan Pemerintah Hindia Belanda terhadap kemiskinan endemik yang terjadi di Bojonegoro.

Sebagaimana diulas oleh C.L.M. Panders dalam buku Bojonegoro 1900 – 1942:  Story of Endemic Poverty in North East Java- Indonesia diuraikan beberapa kebijakan Pemerintah Hindia Belanda dalam menghadapi kemiskinan endemik yang terjadi di Bojonegoro.

Salah satu landasan dari kebijakan Pemerintah Hindia Belanda yang bertujuan untuk memberantas kemiskinan endemik di Bojonegoro adalah adanya prinsip politik etis. Politik etis (etische politiek) adalah politik balas budi Pemerintah Hindia Belanda atas eksploitasi besar-besaran terhadap Hindia Belanda (Indonesia saat ini) yang telah membuat ekonomi Belanda menjadi stabil dan kas-kas perekonomian Belanda menjadi terpenuhi.

Pemerintah Hindia Belanda merasa memiliki ‘hutang kehormatan’ atau een eereschuld terhadap masyarakat bumiputera. Oleh karena itu, dari prinsip politik etis tersebut terdapat tiga orientasi kebijakan Pemerintah Hindia Belanda sebagaimana yang dikemukakan Conrad Theodor “Coen” van Deventer (yang kemudian terkenal dengan trilogi atau trias van Deventer) yang meliputi: irigasi, imigrasi, dan edukasi.

Kebijakan politik etis juga dilaksanakan di Bojonegoro, terlebih lagi dengan kondisi Bojonegoro yang pada tahun 1900 hingga 1942 mengalami kemiskinan endemik.

Dari aspek irigasi, pada tahun 1900 Kabupaten Bojonegoro masih mengalami kekurangan perairan dari penyaluran air Sungai Bengawan Solo kepada ladang-ladang masyarakat. Pada tahun 1900 tersebut hanya sekitar 12% dari 79.000 bau (1 bau= 0,7 hektar) lahan yang mendapat irigasi secara cukup.

Selain itu, ancaman kekeringan pada musim kemarau juga masih ‘mengintai’ masyarakat Bojonegoro. Salah satu upaya Pemerintah Hindia Belanda dalam menghadapi kekeringan di Bojonegoro adalah dengan adanya rencana skema Solo Valley yang mulai dicanangkan pada tahun 1893.

Skema Solo Valley merupakan sebuah proyek besar yang diharapkan dapat menghentikan westgat, yaitu jalur laut yang penting untuk menuju ke Pelabuhan Surabaya. Skema Solo Valley tersebut berencana untuk membangun bendungan di dekat Desa Ngablak (sekitar 14 Km barat Kota Bojonegoro) yang diharapkan dapat dimanfaatkan untuk irigasi bagi para petani sekitar.

Namun, lokasi pembangunan tersebut akhirnya dipindah sejauh 80 Km di timur Kota Bojonegoro yang diharapkan dapat memberikan irigasi secara maksimal bagi petani di Distrik Pelem dan Distrik Baureno.

Sehingga wilayah lain di Bojonegoro (baik wilayah barat maupun selatan) tidak mendapatkan manfaat dari skema Solo Valley ini. Selain itu, Pemerintah Hindia Belanda melalui Surat Pemerintah tanggal 8 Oktober 1902 No. 36 dengan anggaran sebesar 12.000 Gulden melakukan pengerukan dan perbaikan atas Waduk Tlogo Haji, Waduk Kudur, Waduk Pasinan, Waduk Blongsong, Waduk Karangdinojo, dan Waduk Mataunan.

Pada tahun 1905, Bupati Bojonegoro juga menginisiasi pembangunan tiga waduk baru yang berlokasi di dekat Desa Penganten untuk menyedot air Sungai Penganten, di Desa Balongsumber dengan menggunakan mata air Pirang, dan di Desa Plesungan dengan menggunakan mata air Ngunut.

Beberapa proyek pembangunan waduk tersebut nyatanya tidak semuanya selesai dan kalaupun selesai terkadang waduk tidak dimanfaatkan secara optimal sehingga pada tahun 1923 ketika musim hujan berkepanjangan serta diikuti dengan musim kemarau yang juga berkepanjangan menyebabkan 41.694 bau (1 bau= 0,7 hektar) lahan padi masyarakat mengalami gagal panen.

Karena itu, Residen Hildering menyatakan bahwa keadaan masyarakat Bojonegoro saat itu yang mengalami gagal panen hanya bisa diselesaikan apabila skema Solo Valley dilanjutkan dengan menambah pembangunan beberapa waduk diantaranya: Waduk Kerjo, Waduk Pacal, Waduk Cawak, Waduk Korgan, Waduk Tidu, dan Waduk Kedungtawang.

Salah satu waduk yang akhirnya berhasil direalisasikan oleh Pemerintah Hindia Belanda adalah Waduk Pacal yang mulai dilaksanakan pembangunannya pada 30 Agustus 1927 dengan estimasi biaya sekitar 1,2 Juta Gulden (37.000 Gulden disediakan oleh Pemerintah Hindia Belanda dalam bentuk bahan bangunan seperti kayu, dan lain sebagainya).

Waduk Pacal direncanakan memiliki volume sebesar 40 juta meter kubik yang dibangun di Sungai Pacal di sebelah selatan Desa Tretes (Sub-Distrik Sugihwaras) dan akan mengaliri lebih dari 20.000 bau sawah di Distrik Pelem dan Bojonegoro.

Di bidang pendidikan, adanya politik etis juga berdampak pada pembangunan sekolah di Bojonegoro. Pada awal abad ke 20, jumlah sekolah di Bojonegoro masih terbatas yaitu di Kota Bojonegoro saja hanya terdapat satu Eerste Klasse School (sekolah bumiputera angka satu yang hanya diperuntukkan bagi masyarakat kelas atas) dan Tweede Klasse School (sekolah bumiputera angka dua yang merupakan sekolah swasta yang non-subsidi pemerintah).

Selain itu, di Distrik Padangan dan Pelem masing-masing telah berdiri Tweede Klasse School. Perkembangan jumlah sekolah di Bojonegoro mengalami kenaikan pada tahun 1920 yang mana saat itu di Kabupaten Bojonegoro terdapat 140 sekolah desa di seluruh Bojonegoro. Peningkatan jumlah sekolah juga terjadi pada tahun 1930 di Kabupaten Bojonegoro terdapat 18 Tweede Klasse School, 182 sekolah desa, dan 2 sekolah desa khusus perempuan dengan jumlah murid mencapai 2.968 yang 176 diantaranya adalah perempuan.

Perkembangan jumlah sekolah juga meningkat pada tahun 1932 yang mana terdapat 192 unit sekolah desa, 6 Tweede Klasse School dan 9 sekolah khusus perempuan.

Selain di bidang pendidikan, bidang pertanian dan peternakan juga menjadi pusat perhatian Pemerintah Hindia Belanda saat itu. Di bidang pertanian misalnya, pada tahun 1916 wilayah Bojonegoro menjadi program riset 16 eksperimen pupuk (nitrogen-phosporic acid) yang membuahkan kenaikan hasil panen sebesar 15,37 Gulden per bau pada tahun 1916.

Selain itu, pada tahun 1919 sudah berdiri 21 sekolah desalandbouwschool yaitu sekolah pertanian desa yang diharapkan dapat mencetak pengawas atau demonstrator pertanian di desa-desa.

Sedangkan industri tembakau di Bojonegoro mulai berkembang pada tahun 1928 ketika Java Tabaksblad Maatschappij sebuah anak perusahaan British-American Tobacco (BAT) mulai mencoba menanam tanaman tembakau jenis Virginia di Bojonegoro. 14 hektar tanah disewa oleh BAT di daerah Malo dan di Desa Kedungadem untuk ditanami tembakau jenis Virginia.

Di bidang peternakan pada tahun 1891 Pemerintah Hindia Belanda melakukan eksperimen untuk meningkatkan kualitas sapi lokal dengan mengirim sapi jantan Bengal ke Bojonegoro. Pada tahun 1904, sapi jantan dari Bengal tersebut telah beranak-pinak menjadi 270 ekor dengan harga pasaran lima kali lipat lebih mahal dari sapi lokal.

Kebijakan ‘penyilangan’ sapi lokal dan sapi Bengal ini tetap dipertahankan pada tahun 1909, 1911, dan 1913. Bahkan, pada tahun 1913 telah berkembang menjadi 4.642 ekor sapi.

Berbagai ‘potret’ kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda sejatinya bertujuan untuk mengurangi jumlah masyarakat miskin di Bojonegoro termasuk memberikan berbagai upaya yang produktif bagi pemberdayaan masyarakat.

Memang perlu diakui jika penjajahan Belanda tetaplah bersifat memeras dan menindas masyarakat, namun di lain sisi semenjak adanya politik etis, Pemerintah Hindia Belanda mulai melaksanakan kebijakan yang berorientasi perekonomian yang lebih baik bagi masyarakat.

Tags: Kemiskinan BojonegoroKolonialisme

BERITA MENARIK LAINNYA

Stop! Perempuan Bukan Objek Kekerasan
Cecurhatan

Stop! Perempuan Bukan Objek Kekerasan

16/05/2022
Bukan Tutorial Move On Bagi Yang Patah
Cecurhatan

Bukan Tutorial Move On Bagi Yang Patah

15/05/2022
Cegah Pungli dan Gratifikasi, Bapenda Bojonegoro mulai Terapkan Cashless
Cecurhatan

Cegah Pungli dan Gratifikasi, Bapenda Bojonegoro mulai Terapkan Cashless

14/05/2022

REKOMENDASI

Hiperrealitas Norma dalam Film KKN Desa Penari

Hiperrealitas Norma dalam Film KKN Desa Penari

17/05/2022
Stop! Perempuan Bukan Objek Kekerasan

Stop! Perempuan Bukan Objek Kekerasan

16/05/2022
Bukan Tutorial Move On Bagi Yang Patah

Bukan Tutorial Move On Bagi Yang Patah

15/05/2022
MotoGP Mandalika dan Dampak Positif Bagi Perekonomian NTB

MotoGP Mandalika dan Dampak Positif Bagi Perekonomian NTB

14/05/2022
Cegah Pungli dan Gratifikasi, Bapenda Bojonegoro mulai Terapkan Cashless

Cegah Pungli dan Gratifikasi, Bapenda Bojonegoro mulai Terapkan Cashless

14/05/2022
Serba Serbi Akhir Ramadhan Hingga Awal Lebaran

Serba Serbi Akhir Ramadhan Hingga Awal Lebaran

13/05/2022

Tentang Jurnaba - Kontak - Squad - Aturan Privasi - Kirim Konten
© Jurnaba.co All Rights Reserved

No Result
View All Result
  • HOME
  • PERISTIWA
  • KULTURA
  • DESTINASI
  • FIGUR
  • CECURHATAN
  • ALTERTAINMENT
  • FIKSI AKHIR PEKAN
  • SAINSKLOPEDIA
  • TENTANG
  • KONTAK

© Jurnaba.co All Rights Reserved