Ditelan arus kejamnya zaman. Tak ada lagi arum jeram di kali, petak umpet di malam hari dan mendengar cerita di ujung kepergian matahari.
Langit tengah terang oleh bulan. Membentuk purnama dengan riang gembira. Seperti tengah bercengkerama dengan temannya, bintang gemintang.
Seorang gadis sepuluh tahun keluar rumah dengan sumringah. Batari. Ya, namanya Batari, yang dalam Bahasa Jawa Kuno berarti bidadari.
Rambutnya dikepang dua sebahu. Menambah kecantikannya sebagai gadis desa.
Hal yang sama dilakukan teman-temannya. Berlarian. Saling menjemput. Lantas melakukan ritual hom pim pah dan bermain petak umpet dengan khusyuk.
“Hom pim pah alaihum gambreng!!!” Ucap lima anak itu kompak.
Patgata yang mengulurkan punggung tangan menjadi penjaga. Dengan cepat dia menyandarkan kepala di pohon asem Mbah Painah dan terpejam.
“Siji, loro, telu,” teriaknya semangat.
Batari, Ambar, Arjanta dan Nagata dengan cepat berlari. Bersembunyi. Di bawah terangnya purnama malam hari.
Api ublik menari-nari diterpa angin sepoi-sepoi. Para orang tua bercengkerama sesama tetangga. Bukankah amat tenteram suasana desa mereka? Tidak ada TV. Hanya radio tua. Tidak ada lampu. Hanya ublik saja. Tidak ada android. Hanya petak umpet semata.
Tapi lihatlah, mereka tertawa. Terbahak-bahak. Bahagia.
** **
Mentari menyapa di ufuk bagaian timur. Tersenyum ramah menghangatkan tubuh. Para petani mulai pergi ke tempat dinas masing-masing. Dengan seragam baju bolong dan celana pendek compang-camping.
Tak lupa mahkota kebasaran, capil dipakai dengan penuh wibawa. Dengan arit di tangan kanan. Beberapa dengan cangkul sebagai senjata perang. Satu dua membawa pupuk organik untuk memberi makan padi.
“Monggo, Pak,” sapa salah satu dari mereka.
Yang disapa menyahut. Terus seperti itu bila bertemu hingga di persawahan.
Batari yang hari ini libur sekolah, dengan gembira mengekor ibunya menuju sawah milik mereka. Bernyanyi lagu gundul-gundul pacul dengan riang gembira.
“Nduk, jika kamu sudah dewasa jangan lupa rawat warisan nenek moyang kita. Sawah, wayang, sinden, gamelan dan lain-lain. Kamu itu pewaris bangsa. Aset negara,” tutur Ibu Batari di sela-sela menanam bibit padi.
Atau dalam Jawa dikenal dengan tandur. Batari hanya mengucap iya sambil terus bermain dengan keong sawah.
Surya berjalan jauh hingga berada tepat di tengah-tengah langit. Menandakan para petani untuk pulang. Istirahat dan shalat dhuhur.
Batari dengan bahagia membawa satu keong sawah pulang. Masih sama seperti berangkat tadi, dia mengekor ibunya. Mereka melewati jalan pintas.
Sungai kecil bening mereka lewati. Tanpa jembatan atau alat penghubung lainnya. Dilepasnya keong itu dari genggaman.
Biasanya sungai ini dijadikan wisata arum jeram oleh anak laki-laki. Dijadikan tempat cuci baju oleh ibu-ibu.
“Selamat tinggal. Baik-baik saja ya,” ujar Batari.
“Sebentar Nduk, ibu mau nyari udang kecil dulu untuk lauk kita,” kata Ibu Batari untuk menunda pulang terlebih dahulu.
Untuk kesekian kali, dia selalu gembira dengan segala rutinitasnya. Dua telapak tangannya disatukan seperti ingin mengambil air. Didekatkan di pinggir-pinggir kali. Dan tak lama udang kecil-kecil itu tertangkap.
Daun jati diambil Ibu Batari dari pohonnya untuk dijadikan bungkus udang kecil-kecil. Hanya butuh waktu sepuluh menit pekerjaan mereka usai.
** **
Rawi(matahari) mulai beranjak dari persinggahan. Menuju ufuk bagian barat. Hampir tak terlihat.
Menyisakan warna mega merah dan orange senja. Anak-anak berlarian pulang dari surau usai mengaji iqro’.
Patgata, Ambar, Arjanta dan Nagata berjalan bersama menuju rumah Batari. Di sana telah duduk Batari dan kakeknya, Bahadur.
“Assalamu’alaikum, Kek, Batari,” sapa mereka kompak.
Batari dan kakeknya menjawab tak kalah kompak. Ibu Batari keluar dengan kendi di tangan kiri dan sepiring singkong rebus di tangan kanan.
Semua berkumpul di bangku rotan panjang. Bersiap-siap mendengarkan kisah wayang atau sejarah kemerdekaan dari Kakek Bahadur.
“Zaman penjajahan dulu, anak-anak dipaksa bekerja. Termasuk kakek ini. Tidak boleh bersekolah. Makan pun susah. Dulu nasi basi kakek makan. Lauknya sambel mentah sama bakaran ikan asin.” Kakek Bahadur mulai bercerita.
“Masih mending kalau ketemu nasi, biasanya cuma makan singkong. Masih mending ada singkong, biasanya tidak makan. Suara tembakan ada di mana-mana.”
Dengan antusias mereka mendengarkan.
“Suara sepatunya orang Belanda bisa terdengar dari jarak satu kilo meter. Prok prok prok, seperti itu. Jika sudah mendengar, kami segera lari ke Ngampon, dusun kecil di Desa Jati. Bersembunyi di ruangan bawah tanah yang dibuat para orang tua saat malam tiba.”
Langit semakin berwarna merah orange. Dan cerita Kakek Bahadur semakin memikat. Sesekali mereka mengambil singkong rebus dan tetap khusyuk mendengarkan.
“Besok jika kalian sudah dewasa, jangan sampai negara kita dijajah lagi. Jangan sampai ada program rodi, kerja paksa. Jangan sampai banyak bangkai berceceran karena kelaparan. Jangan sampai warisan nenek moyang kita dirampas begitu saja.”
“Kalian harus belajar dengan tekun. Tidak boleh melupakan sejarah. Harus pandai menjaga warisan nenek moyang. Baik budaya maupun harta. Jangan serahkan Indonesia begitu saja. Negara harus diperjuangkan. Merdeka!”
“Merdeka!” Sahut mereka berlima penuh semangat yang membara.
“Le, Arjanta, namamu itu apik. Artinya selalu riang, gembira. Kamu harus tetap sumringah dan menjaga bangsa ini agar tetap tertawa. Tetap bahagia merdeka.”
“Nagata, namamu juga bagus. Artinya bermasa depan. Kamu mempunyai masa depan yang bagus. Maka dari itu kamu juga harus bisa membuat masa depan bangsa ini bagus. Sebagus masa depanmu.”
“Nduk Ambar, namamu juga luar biasa artinya. Berbau semerbak. Kupu-kupu dan kumbang suka menghinggap di badanmu. Sama halnya dengan Indonesia, banyak bangsa yang ingin hinggap. Menggambil madu-madu negara kita. Oleh karena itu kamu harus selalu waspada.”
“Cung, Patgata. Namamu itu berarti pelindung. Kamu harus melindungi kebenaran. Menangkis kejahatan. Menjaga siapa saja yang benar untuk menegakkan keadilan. Kamu harua menjaga negara kita ini. Mempertahankan kemerdakaannya.”
“Dan kamu Batari, nama kamu itu berarti bidadari. Bidadari itu tidak hanya cantik paras tapi juga hati dan perilaku. Kelak kamu akan melahirkan pewaris bangsa. Penerus masa depan. Yang akan kamu ajari sejarah-sejarah nenek moyang.”
Tiba-tiba angin bertiup kencang. Badai datang tanpa uluk salam. Kini semua itu hanya tinggal kenang.
Ditelan arus kejamnya zaman. Tak ada lagi arum jeram di kali, petak umpet di malam hari dan mendengar cerita di ujung kepergian matahari.
Semua telah pergi. Digantikan mainan teknologi masa kini. Batari tak lelah menceritakan sejarah yang telah terbang pada putra putrinya. Agar kelak nanti mereka juga akan bercerita pada anak cucunya, bahwa masa itu begitu indah. Penuh tawa dan bahagia.